Kupas-Tuntas Ketentuan Pidana Korporasi dalam KUHP Baru
Terbaru

Kupas-Tuntas Ketentuan Pidana Korporasi dalam KUHP Baru

Terdapat pengaturan mengenai pertanggungjawaban korporasi serta bentuk pemidanaannya. Padahal, dalam UU KUHP sebelumnya tidak terdapat ketentuan mengenai hal tersebut.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
DPR menyetujui RKUHP sebagai UU dalam pengambilan keputusan tingkat II yang dilakukan DPR dalam Rapat Paripurna ke-11 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023. Foto: RES
DPR menyetujui RKUHP sebagai UU dalam pengambilan keputusan tingkat II yang dilakukan DPR dalam Rapat Paripurna ke-11 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023. Foto: RES

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) sebagai UU pada Selasa (6/12). Luasnya pengaturan dalam UU tersebut berimplikasi terhadap berbagai sektor termasuk dunia bisnis.

Dalam dokumen UU KUHP yang dimiliki Hukumonline, terdapat pengaturan mengenai pertanggungjawaban korporasi serta bentuk pemidanaannya. Padahal, dalam UU KUHP sebelumnya tidak terdapat ketentuan mengenai hal tersebut.

UU KUHP mengatur badan hukum atau korporasi sebagai pihak yang dapat bertanggung jawab dan dipidana. Penjatuhan pidana pokok, pidana tambahan, dan tindakan dikenakan kepada korporasi dan orang-orang yang terlibat dalam korporasi tersebut, baik pengurus yang memiliki kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, hingga pemilik manfaat.

Baca Juga:

“Tindak Pidana oleh Korporasi merupakan Tindak Pidana yang dilakukan oleh pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi Korporasi atau orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi atau bertindak demi kepentingan Korporasi, dalam lingkup usaha atau kegiatan Korporasi tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama,” kutip Pasal 46 UU KUHP.

Lebih lanjut, Tindak Pidana oleh Korporasi dapat dilakukan oleh pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat Korporasi yang berada di luar struktur organisasi, tetapi dapat mengendalikan Korporasi.

Tindak Pidana oleh Korporasi dapat dipertanggungjawabkan, jika termasuk dalam lingkup usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi Korporasi; menguntungkan Korporasi secara melawan hukum; diterima sebagai kebijakan Korporasi; Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana; dan/atau Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana.

Pertanggungjawaban atas Tindak Pidana oleh Korporasi dikenakan terhadap Korporasi, pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat Korporasi.

Dalam pemidanaan terhadap Korporasi wajib dipertimbangkan tingkat kerugian atau dampak yang ditimbulkan; tingkat keterlibatan pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional Korporasi dan/atau peran pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat Korporasi; lamanya Tindak Pidana yang telah dilakukan; frekuensi Tindak Pidana oleh Korporasi; bentuk kesalahan Tindak Pidana; keterlibatan Pejabat; nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat; rekam jejak Korporasi dalam melakukan usaha atau kegiatan;  pengaruh pemidanaan terhadap Korporasi; dan/atau kerja sama Korporasi dalam penanganan Tindak Pidana.

Pasal 188 UU KUHP menyatakan pidana bagi Korporasi terdiri atas pidana pokok; dan pidana tambahan. Pidana pokok sebagaimana dimaksud adalah pidana denda. Sedangkan, pidana tambahan bagi Korporasi sebagaimana dimaksud terdiri atas pembayaran ganti rugi;  perbaikan akibat Tindak Pidana; pelaksanaan kewajiban yang telah dilalaikan;

pemenuhan kewajiban adat; pembiayaan pelatihan kerja; perampasan Barang atau keuntungan yang diperoleh dari Tindak Pidana; pengumuman putusan pengadilan; pencabutan izin tertentu; pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu; penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan Korporasi; pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan usaha Korporasi; dan pembubaran Korporasi.

Pidana tambahan berupa pencabutan izin, penutupan kegiatan korporasi serta pembekuan usaha dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun. Dalam hal Korporasi tidak melaksanakan pidana tambahan pembiayaan pelatihan kerja maka kekayaan atau pendapatan Korporasi dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk memenuhi pidana tambahan yang tidak dipenuhi.

Pidana denda untuk Korporasi dijatuhi paling sedikit kategori IV, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. Dalam hal Tindak Pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, pidana denda paling banyak untuk Korporasi adalah kategori VI; pidana penjara paling lama 7 (tujuh) sampai dengan paling lama 15 (lima belas) tahun, pidana denda paling banyak untuk Korporasi adalah kategori VII; atau pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana denda paling banyak untuk Korporasi adalah kategori VIII.

Pidana denda wajib dibayar dalam jangka waktu tertentu yang dimuat dalam putusan pengadilan. Putusan pengadilan dapat menentukan pembayaran pidana denda dengan cara mengangsur. Jika pidana denda tidak dibayar dalam jangka waktu yang telah ditentukan, kekayaan atau pendapatan Korporasi dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana denda yang tidak dibayar.

Dalam hal kekayaan atau pendapatan Korporasi tidak mencukupi untuk melunasi pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Korporasi dikenai pidana pengganti berupa pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi.

Tindakan yang dapat dikenakan bagi Korporasi pengambilalihan Korporasi; penempatan di bawah pengawasan; dan/atau penempatan Korporasi di bawah pengampuan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana dan tindakan bagi Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 sampai dengan Pasal 123 UU KUHP diatur dengan Peraturan Pemerintah.

UU KUHP juga mengatur mengenai perbarengan tindak pidana korporasi dalam Pasal 125-131. UU tersebut menyatakan suatu perbuatan yang memenuhi lebih dari 1 (satu) ketentuan pidana yang diancam dengan ancaman pidana yang sama hanya dijatuhi 1 (satu) pidana, sedangkan jika ancaman pidananya berbeda dijatuhi pidana pokok yang paling berat.

Suatu perbuatan yang diatur dalam aturan pidana umum dan aturan pidana khusus hanya dijatuhi aturan pidana khusus, kecuali Undang-Undang menentukan lain. Jika terjadi perbarengan beberapa Tindak Pidana yang saling berhubungan sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut dan diancam dengan ancaman pidana yang sama, hanya dijatuhi 1 (satu) pidana. Jika perbarengan Tindak Pidana diancam dengan pidana yang berbeda, hanya dijatuhi pidana pokok yang terberat.

Tags:

Berita Terkait