Kunjungan Hina Jilani dan Nasib Pembela HAM di Indonesia
Berita

Kunjungan Hina Jilani dan Nasib Pembela HAM di Indonesia

Kedatangan Hina Jilani ke Indonesia benar-benar dimanfaatkan para aktivis human rights defender untuk curhat.

CRP/M-3/M-5/Mys
Bacaan 2 Menit
Kunjungan Hina Jilani dan Nasib Pembela HAM di Indonesia
Hukumonline

Begitulah yang tampak pada pertemuan di Goethe Haus Jakarta, sepanjang Kamis (07/6) kemarin. Satu per satu aktivis pembela hak asasi manusia bergantian menyampaikan uneg-uneg mereka. Hina Jilani tampak mendengarkan secara cermat curhat para aktivis tersebut.

 

Hina Jilani, wanita Pakistan yang berprofesi sebagai pengacara, datang ke Indonesia sebagai utusan khusus Sekjen Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk Urusan Situasi Pembela HAM. Ia akan berada di Indonesia selama sepekan. Kedatangan Hina benar-benar dimanfaatkan para aktivis HAM untuk menyampaikan pengalaman mereka selama ini mendampingi dan mengadvokasi masyarakat atau kelompok yang rentan pelanggaran hak asasi. Kunjungan itu cukup berarti karena para pembela HAM belum mendapat perlindungan yang layak dari Pemerintah, kata Wahyu Wagiman, aktivis Elsam.

 

Intimidasi, ancaman, kekerasan fisik hingga menjadikan instrumen hukum untuk melawan adalah tantangan yang banyak dihadapi para aktivis. Di depan Hina Jilani, para aktivis menyebut hambatan dengan sebutan diskriminasi, viktimisasi dan kriminalisasi. Pelakunya bervariasi mulai dari aparat hingga anggota keluarga sang aktivis.

 

Dengarlah apa yang dialami Nurlaila, Guru SMP 56 Melawai yang akhirnya harus duduk di kursi pesakitan karena melawan kebijakan ruislag sekolah itu ke tempat yang lebih jauh, sementara lokasi sekolah akan dijadikan gedung bisnis. Memang, PN Jakarta Selatan menyatakan ia bebas. Tetapi belakangan ia baru tahu, jaksa masih menempuh upaya hukum yang lebih tinggi. Nurlaila bukan hanya harus kehilangan sumber kehidupannya sebagai guru, tetapi juga dikriminalisasi.

 

Baby Jim Aditya, aktivis penderita HIV/AIDS menceritakan bagaimana dia segan hadir dalam perkawinan. Karena kalau saya hadir seakan-akan salah satu dari mempelai adalah penderita (HIV/AIDS). Saya terstigma oleh profesi saya sendiri, ceritanya. Wa Ode Habibah dari KPI Muna, Sulawesi Tenggara bahkan dituduh membakar rumahnya sendiri untuk mencari sensasi. Itu fitnah! Rumah saya dibakar preman dengan kami terkunci di dalam, tandasnya.

 

Kekerasan fisik dan ancaman pembunuhan juga tidak jarang dihadapi oleh orang-orang LSM ini. 150 orang disiksa, 25 ditangkap, 7 dipenjara, 30 aktivis perempuan dilecehkan, 5 kasus penggeledahan paksa, 2 orang hilang, sembur Asiah, anggota Kontras Aceh.

 

Kaki saya dibacok, cerita Lery Mboeik, aktivis PIAR NTT. Wartawan Bernas dibunuh 1996, wartawan Berita Sore hilang 2005, dan wartawan Delta Pos dibunuh 2006, beber Abdul Manan dari AJI. Saya diperkosa, cetus Hartoyo, aktivis hak kaum homoseksual dan transeksual. Aktivis lain mengeluhkan gampangnya aparat menggunakan tuduhan mencemarkan nama baik untuk membungkam para aktivis. Begitulah, satu per satu para aktivis itu curhat.

 

Sembari memuji keberanian para aktivis HAM datang, Hina menandakan bahwa perlindungan terhadap para pembela HAM sebenarnya merupakan keniscayaan. PBB juga sudah mengadopsi sejumalh hak mereka melalui UN Declaration on Human Rights Defender. Deklarasi ini harus diadopsi negara-negara tanpa pengecualian. Jika tidak diadopsi secara legal, minimal secara moral, tandas Hina.

 

Beruntung, mereka bisa curhat kepada utusan khusus PBB. Banyak aktivis yang tak memiliki akses seperti mereka yang mendapatkan perlakuan tak baik saat menjalankan tugas. Hukumonline pernah mencatat bagaimana nasib seorang Abdul Muis P, aktivis yang dikejar-kejar aparat hukum dengan berbagai cara, setelah ia melaporkan dugaan korupsi kepala daerah suatu kabupaten di Sumatera Utara. Semula polisi menjeratnya dengan tuduhan melanggar UU Kearsipan hanya karena ia memiliki salinan hasil audit BPK. Lain waktu ia dituduh mencemarkan nama baik Kepala Kejaksaan Negeri setempat.

 

Pemerintah, seperti disampaikan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, tetap memberi perlindungan terhadap para aktivis. Termasuk mereka yang selama ini sering mengkritik Pemerintah.

 

Ada hubungan timbal balik antara penegakan HAM dengan pelanggaran terhadap hak-hak pembela HAM. Menurut Hina Jilani, semakin tinggi upaya penegakan HAM, semakin tinggi pula potensi ancaman terhadap para pembela HAM. Untuk itu, PBB terus mendorong agar negara-negara anggota memberikan perlindungan yang cukup kepada para aktivis pembela HAM. Harus ada prosedur yang mendukung keamanan dan kredibilitas pembela HAM, komentarnya.

 

Sedikit harapan terbersit dengan lahirnya UU Perlindungan Saksi dan Korban. Masalahnya, kata Emerson, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban belum terealisir karena terbentur pendanaan. Aktivis ICW ini berharap Hina Jilani bisa mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera merealisir LPSK tadi.

 

Sebelum mendengarkan curhat para aktivis, Hina Jilani berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kunjungan saya juga untuk memastikan apakah MK punya peranan sebagai perjuangan penegakan HAM di Indonesia, ujar Jilani.

 

Hina juga ingin mendengar dan melihat langsung penerapan akses terhadap keadilan (access to justice) bagi warga negara yang hak-hak asasinya dilanggar. Ketua Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa kebanyakan perkara yang masuk ke MK berkaitan dengan HAM. Sebelas persen permohonan judicial review yang masuk dikabulkan, jelas Ketua MK Jimly Asshiddiqie.

 

Hina Jilani memang sengaja diutus untuk menghimpun data, laporan dan masukan mengenai situasi pembela HAM. Indonesia bukan negara pertama yang dia kunjungi terkait tugas tersebut. Tahun lalu, Hina sudah menjalankan tugas special representative itu ke Brazil, Nigeria dan Palestina. Laporan-laporan yang disampaikan Hina pun bisa diakses dengan mudah.

 

Satu hal yang patut dicatat, aktivis tak bisa mengandalkan advokasinya dari belakang meja. Ia harus duduk dan berbicara dengan orang-orang yang mereka advokasi dan para pemangku kepentingan. Seperti yang pernah dikatakan Hina Jilani saat diwawancarai Michelle Stephenson, Koordinator Komite Pengacara HAM pada American Bar Association sebagaimana dikutip situs organisasi para advokat Amerika ini (www.abanet.org).

 

Hina berkata: A human rights activist, but I could never be a human rights lawyer sitting at a desk. I have to go to court, that is something that inspires me most. To be able to go to court, to take a lot of cases, whether they're individual cases or collective rights cases-it gives me a lot of satisfaction. Even if I lose, it may not give me satisfaction, but it gives me the sense that I have to fight more. . . . There is a lot of frustration. The kinds of judges and the kind of judicial system that we work with are not the best environment to give you encouragement in the kind of work that we do.

 

Tags: