'Kuliah' Konstitusi untuk Advokat Pengawal Konstitusi
Berita

'Kuliah' Konstitusi untuk Advokat Pengawal Konstitusi

Pemohon menggunakan penjelasan Pasal 22 UUD 1945 sebagai dasar berargumen, padahal pasca amandemen UUD 1945 tidak dikenal lagi adanya penjelasan pasal. Hakim Konstitusi pun terpaksa menjelaskan 'kuliah' dasar ke para advokat konstitusi itu.

Ali
Bacaan 2 Menit
'Kuliah' Konstitusi untuk Advokat Pengawal Konstitusi
Hukumonline

Sekelompok pengacara yang tergabung dalam Perhimpunan Advokat Indonesia Pengawal Konstitusi (PAIP-Konstitusi) sepertinya perlu kembali mengaktualisasikan pengetahuannya terhadap Konstitusi Indonesia. Para advokat itu masih menggunakan argumentasi 'usang' dalam permohonan pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 4 Tahun 2009. Perppu itu menjadi dasar hukum Presiden dalam mengangkat tiga pimpinan sementara KPK untuk mengisi kekosongan. 

 

Ceritanya berawal dari argumentasi para advokat itu mengenai tidak tepatnya langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut para advokat itu, Presiden mengartikan seenaknya definisi 'hal ihwal kegentingan yang memaksa' dalam membuat Perppu itu. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 memang membolehkan presiden mengeluarkan Perppu bila terjadi 'hal ihwal kegentingan yang memaksa'.

 

Namun, dalil pemohon ini sontak mendapat tanggapan dari Ketua Panel Hakim Konstitusi Akil Mochtar. “Ada sedikit yang mengganjal hati saya. Saudara menguraikan Penjelasan Pasal 22 UUD 1945,” ujarnya di ruang sidang MK, Senin (16/11). Akil mengatakan, UUD 1945 pasca amandemen sudah tidak lagi mengenal penjelasan pasal-pasal. “Konstitusi kita sudah berubah sekarang,” tambahnya.

 

Akil menduga para pemohon menggunakan UUD 1945 sebelum amandemen sebagai dasar. “UUD yang mana yang Anda pakai? Apa yang lama sebelum perubahan?” selidiknya. Ia menegaskan UUD 1945 saat ini hanya terdiri dari pembukaan dan batang tubuh.

 

Penjelasan Pasal 22

(Sebelum Amandemen)

 

Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan cepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

 

 

Advokat dari PAIP-Konstitusi, Daniel Tonapa Masiku mengakui memang menggunakan penjelasan Pasal 22. “Ini juga jadi pertimbangan kami. Hasil diskusi dengan pakar, UUD 1945 pasca amandemen memang melenceng dari UUD 1945 yang asli,” elaknya. Karenanya, lanjut Daniel, para pengacara yang tergabung dalam PAIP-Konsitusi tetap menggunakan Penjelasan Pasal 22 ayat (1) itu sebagai dasar permohonannya.

 

Akil kembali menanggapi. Ia mengatakan persoalan ini bukan masalah melenceng atau tidak melenceng. “Pasal 22 itu tidak termasuk yang diamandemen. Bunyi pasalnya tidak berubah,” ujarnya. Ia juga menjelaskan ketentuan Penjelasan pasal-pasal dalam UUD 1945 sebelum amandemen tidak terlalu 'original'. “Penjelasan itu bukan dari hasil rapat BPUPKI. Tapi dikerjakan sendirian oleh Prof M Yamin dalam sehari semalam atas instruksi Soekarno,” jelasnya. 

 

Hakim Konstitusi Harjono menilai pemohon kurang teliti. “Anda terlalu bersemangat, tapi tidak teliti,” ujarnya. Dalil dalam permohonan pun banyak yang salah. Ia bahkan mempertanyakan banyaknya advokat yang tergabung dalam PAIP-Konstitusi tetapi permohonan masih banyak kesalahan. “Jangan-jangan yang membuat (permohonan,-red) cuma satu orang. Tolonglah hargai diri anda sendiri,” ujarnya.

 

Lebih lanjut, Harjono, juga mengkritik balik kritikan pemohon yang menyatakan amandemen UUD 1945 telah melenceng dari aslinya. “MK itu hasil amandemen. Apakah MK juga melenceng? Lalu buat apa Anda ke sini,” sindirnya. Ia meminta pemohon tidak mengeluarkan komentar-komentar yang tidak jelas.

 

Tafsir Kegentingan

Terlepas dari banyaknya kesalahan, permohonan yang diajukan oleh advokat dalam PAIP-Konstitusi ini sebenarnya ingin memperjelas penafsiran 'hal ihwal kegentingan yang memaksa' dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Mereka berpendapat Perppu memang masih dibutuhkan, namun harus dibatasi penggunaanya.

 

Karenanya, dalam salah satu petitum permohonannya, pemohon meminta agar MK memerintahkan pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) untuk membuat UU mengenai tafsir 'hal ihwal kegentingan yang memaksa' itu. “Biar agar ada kepastian hukum. Definisinya harus jelas,” ujar Daniel.

 

Akil menilai MK tak mempunyai kewenangan untuk memerintahkan pembentuk undang-undang. “Nanti bisa marah mereka,” candanya. Namun, Daniel tak mau kalah. Ia mengatakan sudah banyak preseden putusan MK yang memerintahkan pembentuk undang-undang. Salah satunya yang terkenal adalah ‘perintah’ MK agar DPR dan Presiden membentuk UU Pengadilan Tipikor dalam waktu tiga tahun. Bila tidak, Pengadilan Tipikor akan dinyatakan inkonstitusional. 

 

 

Tags:

Berita Terkait