Kuasa Jaksa Mewakili Negara
Utama

Kuasa Jaksa Mewakili Negara

Meski tidak disebut secara tegas dalam UU Kejaksaan, Jaksa Agung adalah wakil negara di muka persidangan.

NNC/Mon/Ali/Sut
Bacaan 2 Menit
Kuasa Jaksa Mewakili Negara
Hukumonline

Masih ingat sidang kasus almarhum Soeharto dalam perkara gugatan terhadap Yayasan Supersemar? Dalam salah satu kesempatan sidang, Jaksa Pengacara Negara dan Kuasa Hukum Soeharto-Supersemar saling cecar soal surat kuasa. Otto Cornelis Kaligis waktu itu mempertanyakan surat Kuasa Tim JPN yang substitusinya dianggap telah  terputus dari pemberi kuasa prinsipal.

 

Ceritanya, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono memberi kuasa pada Jaksa Agung Abdurrahman Saleh untuk memperkarakan Soeharto dan Yayasan Supersemar ke muka pengadilan. Belum sempat diturunkan ke Tim JPN, Abdul Rahman Saleh digantikan oleh Hendarman Supandji. OC mempertanyakan, bagaimana mungkin kuasa dari presiden itu turun ke Tim JPN jika Jaksa Agungnya sudah berlainan orang.

 

Hal ini juga sempat terjadi di sidang gugatan Citizen Lawsuit beberapa waktu lalu. Hakim mempertanyakan kelengkapan surat Kuasa mulai dari Wakil Presiden hingga ke Tim JPN. Substitusi dinilai sudah terputus. Pasalnya, Majelis tidak menemukan Kuasa dari Jaksa Agung pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun). Tapi di persidangan, Tim JPN berangkat menghadap ke pengadilan berbekal surat kuasa dari Jamdatun. Untungnya, majelis hanya meminta JPN melengkapi, dan  pihak penggugat pun mau memaklumi.

 

Mantan hakim agung M Yahya Harahap mengatakan, surat kuasa dari negara yang diberikan pada Jaksa Agung sifatnya ex-officio. Meski pejabat bergantian, kewenangan masih melekat pada jabatannya. Jadi kalaupun Presiden berganti dan Jaksa Agungnya berganti, maka kuasa itu masih melekat pada masing-masing jabatan. Intinya kejaksaan itu adalah pengacara negara. Bukan orangnya, tapi instansinya, ujar Yahya dari seberang sambungan telepon, Kamis (8/5) lalu.

 

Pendapat Yahya ini juga diamini dosen pidana Universitas Indonesia Rudy Satrio Mukantardjo. Bahkan Rudy menyarankan nama Jaksa Agung yang saat itu menjabat tidak perlu dibubuhkan oleh  presiden dalam surat kuasa. Yang perlu disebutkan, ujarnya, cukup orang-orang atau Tim JPN yang langsung menghadap ke Pengadilan mewakili negara—lewat substitusi Kuasa dari Jaksa Agung.

 

Lain lagi menurut Chairul Huda. Pengajar hukum acara pidana di Universitas Muhammadiyah Jakarta itu berpendapat, kuasa pada Jaksa Agung mestinya melekat pada orangnya. Dalam kasus Yayasan Supersemar, memang seharusnya Surat Kuasa dari Presiden ke Jaksa Agung diperbarui. Sebab, ujarnya, dalam Undang-Undang Kejaksaan tidak disebut siapa yang mewakili lembaga Kejaksaan. Kalau di UU PT kan jelas, Perseroan diwakili oleh Direktur Utama, urainya.

 

Dengan demikian, ketika mencabut keputusan presiden yang mengangkat Abdul Rahman Saleh sebagai Jaksa Agung, maka kuasa itu berakhir dengan sendirinya demi hukum. Oleh karena itu, lanjutnya, jika ada perkara yang sempat dikuasakan oleh Presiden pada Jaksa Agung harus segera diperbaharui kuasanya.

 

Rachmad Setiawan, penulis buku Hukum Perwakilan dan Kuasa, Tata Nusa, 2005, menandaskan,   urusan gugat menggugat perdata adalah ranah mengenai harta kekayaan negara. Meski tidak disebut secara tegas dalam UU Kejaksaan,  jika menyangkut persidangan perdata,  kuasa dari presiden pada  jaksa agung mengandung arti bahwa jabatan jaksa agung adalah jabatan mewakili negara dalam urusan persidangan perdata.

 

Sejak zaman kolonial Hindia-Belanda, beber Rachmad, jaksa agung sudah dianggap sebagai jabatan yang  mewakili negara di hadapan pengadilan. Misal pak Abdurrahman Saleh ini diganti dengan pak Hendarman, negaranya kan masih ada. Jadi nggak perlu diganti (surat kuasanya, red), ujarnya dari sambungan telepon.

 

Lalu sejauh apa kewenangan si subsitutor dari jaksa agung yang dianggap wakil negara penerima kuasa dari presiden? Rudi mengatakan, kewenangan yang dimiliki subtitutor sebatas kewenangan yang diberikan oleh pemberi kuasa. Jika melenceng dari itu, bisa saja kuasa itu dicabut.

 

Tjindra Parma, Kepala Biro Hukum Departemen Pekerjaan Umum (PU) juga mengakui hal itu. Meski kuasa yang diberikan dari PU pada Kejaksaan biasanya kuasa sepenuhnya untuk mengurusi berperkara di pengadilan, namun bahan-bahan untuk operasional juga tetap bersumber dari si pemberi kuasa.  Biasanya, dalam menangani perkara, akan dibentuk tim yang unsurnya campuran, termasuk dari departemen-departmen terkait yang memberi kuasa kepada Kejagung.

 

Sebagai instansi yang sering mengamanati Kejaksaan  berperkara di meja hijau, PU selama ini belum pernah mencabut kuasa lantaran Kejaksaan berbuat di luar kewenangan. Dalam praktek, belum ditemukan pencabutan kuasa dari instansi pemerintah  pada Kejaksaan.

 

Hal ini, beber Tjandra, lantaran setiap penanganan perkara di pengadilan selalu melibatkan unsur campuran antara departemen dan Kejaksaan. Kita kerja bersama-sama. Kalau masih bisa koordinasi kita koordinasi, ujarnya. Kalau di luar kota dan  jauh tempatnya misal Kejati di daerah, kita hanya melakukan supervisi saja dari sini.

 

Cukup Surat Perintah

Menyambung hal ini, mantan Direktur Perdata pada Perdata dan TUN Kejaksaan Agung, Yoseph Suardi Sabda mengatakan, penggunaan surat kuasa oleh petugas atau pejabat yang mewakili negara di persidangan, sebenarnya tidak diperlukan. Ia mengatakan, setiap jaksa sebenarnya bisa mewakili negara di persidangan. Jaksa nggak perlu surat kuasa, ujarnya. Dalam buku pelaksaanaan tugas dan administrasi pengadilan juga disebutkan jaksa tidak memerlukan surat kuasa. Cukup surat tugas saja.

 

Menurut Yoseph, meski jaksa sebenarnya hanya cukup mengantongi Surat Tugas kedinasan,  acapkali hal itu menjadi persoalan di pengadilan. Malah salah tulis saja kadang dipersoalkan, cetusnya. Memang dalam prakteknya, pengadilan juga mempertanyakan surat kuasa ini.

 

Soeharto, salah satu hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengatakan, dalam perkara perdata, pengadilan memang harus memastikan ada kuasa yang diberikan kepada masing-masing kuasa hukum. Tim JPN yang menghadap ke muka hakim, pada prinsipnya sama dengan kuasa hukum lainnya. Sehingga dalam prakteknya,  ujar Soeharto, seorang jaksa dalam perkara perdata mewakili negara juga harus dipastikan surat kuasanya.

 

Tags: