Kuasa Hukum Karen Agustiawan Gunakan Konsep Business Judgment Rule dalam Nota Keberatan
Utama

Kuasa Hukum Karen Agustiawan Gunakan Konsep Business Judgment Rule dalam Nota Keberatan

Setidaknya ada tiga hal yang dipermasalahkan kuasa hukum: perbuatan terdakwa adalah aksi korporasi, tidak ada mens rea, dan penghitungan kerugian keuangan negara.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Karen Agustiawan di Pengadilan Tipikor. Foto: RES
Karen Agustiawan di Pengadilan Tipikor. Foto: RES

Mantan Direktur Utama Pertamina, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan, menepis tudingan penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Eks Pelaksana Tugas Direktur Hulu Pertamina itu menyampaikan nota pembelaan yang intinya menepis tuduhan melakukan tindak pidana korupsi dengan cara menguntungkan diri sendiri, orang lain ataupun korporasi sehingga merugikan keuangan negara Rp568,066 miliar. Nota keberatan disampaikan di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (7/2).

Melalui kuasa hukumnya, Soesilo Ariwibowo, Karen menegaskan perbuatannya merupakan aksi korporasi dalam domain hukum perdata. Salah satu wujudnya adalah perbuatan Participating Interest (PI) atas Lapangan atau Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia tahun 2009. Partisipasi Pertamina di sini dilakukan untuk dan atas nama kepentingan korporasi, bukan kepentingan pribadi.

Penasihat hukum juga menyebutkan perbuatan Karen dan direksi Pertamina lainnya merupakan keinginan perseroan untuk meningkatkan cadangan dan produksi minyak mentah yang sejalan dengan Rencana Kegiatan dan Anggaran Perusahaan (RKAP) Tahun 2009. Perseroan harus menjamin kelancaran pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) nasional. Artinya, perbuatan tersebut adalah bisnis murni sebagai pelaksanaan prinsip fiduciary duty jajaran direksi.

"Perbuatan Terdakwa Karen Agustiawan telah mendapatkan volledig acquitet de charge” (pembebasan dan pelunasan sepenuhnya) dari Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST), sehingga tanggung jawab perbuatan itu menurut hukum perseroan telah berpindah kepada pemegang saham perseroan," kata Soesilo mewakili kliennya membacakan eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta.

(Baca juga: Masalah Due Diligence dalam Surat Dakwaan Mantan Dirut Pertamina).

Langkah akuisisi itu juga dianggap sebagai pelaksanaan doktrin atau prinsip Business Judgement Rule (BJR) dalam UU Perseroan Terbatas. Prinsip ini merupakan cermin kemandirian dan diskresi dari direksi perseroan dalam memberikan putusan bisnisnya yang sekaligus merupakan perlindungan bagi direksi dalam menjalankan tugas-tugasnya.

"Pasal 92 dan Pasal 97 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terkait dengan BJR, pada intinya mengatur bahwa direksi tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya hanya karena alasan salah dalam memutuskan (mere error of judgement) atau hanya karena alasan kerugian perseroan, artinya kalaupun direksi perseroan dalam perkara a quo, dianggap terdapat kekeliruan dalam putusan bisnis dan menimbulkan kerugian terhadap perseroan atau bahkan terhadap kerugian negara karena PT Pertamina adalah BUMN maka menurut undang-undang perseroan terbatas yang telah menganut prinsip BJR ini, direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban," terangnya.

(Baca juga: Lindungi Direksi dari Jerat Hukum, Business Judgment Rule Jawabannya).

Tidak ada mens rea

Soesilo juga mempertanyakan tuduhan jaksa tentang niat jahat atau mens rea Karen yang didakwa melakukan korupsi. Menurut tim kuasa hukum terdakwa, Penuntut Umum tidak pernah menguraikan kesalahan-kesalahan yang bersifat kesengajaan atau niat jahat/sikap batin jahat/tercela (dolus malus/mens rea) sebagai motif tindak pidana dalam surat dakwaan.

"Di dalam surat dakwaan, Penuntut Umum misalnya tidak pernah menguraikan adanya tindakan penyuapan baik suap aktif maupun suap pasif, penggelembungan harga maupun adanya persekongkolan baik berupa kolusi atau nepotisme antara Anzon Australia Pty. Limited dan atau ROC Oil Company Limited Australia atau siapapun dengan Terdakwa Karen Agustiawan. Penuntut Umum juga tidak pernah menguraikan keuntungan-keuntungan pribadi yang diperoleh Terdakwa Karen Agustiawan, baik keuntungan ekonomis maupun non ekonomis, dengan adanya dugaan perbuatan tindak pidana korupsi," pungkasnya.

Tanpa adanya uraian tentang kesalahan atau niat jahat/sikap kalbu tercela tersebut, maka sebenarnya jika benar kerugian keuangan negara tersebut telah timbul,  kata Soesilo, maka kliennya dan direksi PT Pertamina (Persero) yang lain tidak dapat didakwa melakukan tindak pidana korupsi. Sebab, Direksi PT Pertamia telah mendapatkan release and discharge dari pemegang saham di dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Pertamina (Persero). Dengan adanya release and discharge atau volledig acquit et de charge” (pembebasan dan pelunasan sepenuhnya) diartikan, bahwa direksi dinyatakan “to clear (a person) of a criminal charge”. Hal ini berarti, dengan mendapatkan vollediq acquit et de charge, maka direksi dibebaskan dari tanggung jawab, tugas atau kewajiban atas kegiatan yang telah dilaksanakan.

"Konsekuensinya, maka Direksi tidak dapat dituntut bertanggung-jawab dalam hal terjadinya kerugian yang diderita perseroan. Pada saat mengambil keputusan, Direksi dianggap telah melakukannya dengan pertimbangan yang matang, iktikad baik dan penuh tanggung jawab," tuturnya.

Unsur kerugian negara

Dalam surat dakwaan penuntut umum beranggapan akibat perbuatan korupsi yang dilakukan Karen bersama sejumlah direksi Pertamina, mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp568,066 miliar. Kalkulasi kerugian didasarkan pada Laporan Perhitungan Keuangan Negara dari Kantor Akuntan Publik (KAP) Drs. Soewarno, Ak. No. 032/LAI/PPD/KAP.SW/XII/2017, tanggal 6 Desember 2017. Nama akuntan tertera dalam surat dakwaan.

Sebelum masuk ranah kewenangan dalam menentukan kerugian keuangan negara, Soesilo mempertanyakan materi laporan yang disampaikan KAP dimaksud. Sebab dalam laporan tersebut tidak pernah menyatakan sebagai laporan perhitungan keuangan negara.

(Baca juga: IAPI Keberatan Sanksi Pidana Bagi Akuntan Publik).

Soesilo berpandangan laporan KAP tersebut merupakan Laporan Akuntan Independen atas Penerapan Prosedur yang Disepakati. Laporan tersebut menyatakan bahwa Perikatan untuk Menerapkan Prosedur yang Disepakati dilaksanakan berdasarkan standar yang ditetapkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI).

"Laporan ini dimaksudkan semata-mata untuk digunakan oleh Kajaksaan Agung Republik Indonesia, dalam rangka memberi bantuan sebagai Saksi Ahli dalam Persidangan dan harus tidak digunakan oleh mereka yang tidak menyepakati prosedur tersebut dan tidak bertanggung jawab atas kecukupan prosedur untuk tujuan mereka," kata Soesilo mengutip paragraf terakhir laporan yang dimaksud.

Selain itu, di dalam surat pengantar dari laporan akuntan tersebut pada paragraf pertama juga disebutkan bahwa laporan KAP dibuat dalam rangka memberikan bantuan sebagai Saksi Ahli kepada Kejaksaan Agung R.I. sesuai Surat Kejaksaan Agung No. B-1983/Fd.1/09/2017 tanggal 20 September 2017.

"Padahal, menurut ketentuan Pasal 120 ayat (1) KUHAP, yang dimaksud Ahli adalah orang yang memberikan pendapat. Jika mengacu pada ketentuan Pasal 120 ayat (1) KUHAP dan laporan yang disampaikan oleh KAP Drs. Soewarno, Ak., Akuntan Publik yang melaksanakan Perikatan Atas Prosedur Yang Disepakati tidak dapat dijadikan Ahli dengan mendasarkan pada Laporan Akuntan Independen atas Penerapan Prosedur Yang Disepakati Nomor : 032/LAI/PPD/KAP.SW/XII/2017, tanggal 6 Desember 2017 karena di dalam pelaksanaan Perikatan Dengan Prosedur Yang Disepakati, Akuntan Publik tersebut tidak dapat memberikan pendapat," pungkasnya.

Kemudian mengenai kewenangan dalam menyatakan kerugian keuangan negara. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU Nomor 15 Tahun 2004), Pasal 2 ayat (2) juncto Pasal 3 ayat (1) disebutkan, bahwa yang melakukan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negera adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

"Di dalam Pasal 3 ayat (2) undang-undang tersebut diatur, bahwa dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan. Pemeriksaan terhadap pengelolaan keuangan negara juga harus menggunakan standar pemeriksaan yang disusum oleh BPK," terangnya.

Selanjutnya di dalam butir 6 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hukum Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan juga diatur bahwa instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memiliki kewenangan konstitusional.

Sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Kantor Akuntan Publik tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara, namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan negara.

Menurut Soesilo, hingga saat ini BPK belum pernah mengeluarkan pernyataan atau men-declare bahwa dalam investasi PT Pertamina (Persero) berupa Participating Interest di Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia Tahun 2009 telah timbul adanya kerugian negara. Selain itu, di dalam investasi yang sama di tahun 2009, BPK telah melakukan pemeriksaan dan telah mengeluarkan laporan pemeriksaannya.

(Baca juga: Penilaian Kerugian Negara Tidak Harus Melalui Audi Berkala BPKP).

"Bahkan di dalam hasil laporannya, BPK menyatakan tidak ada temuan alias tidak menyatakan adanya kerugian keuangan negara di dalam investasi tersebut. Surat dakwaan yang hanya mempertimbangkan laporan dari KAP dan mengesampingkan laporan hasil audit dari BPK merupakan suatu dakwaan yang tidak cermat," ujarnya.

Penuntut umum meminta waktu satu minggu untuk memberi tanggapan atas eksepsi ini. Sidang lanjutan perkara dugaan Korupsi Karen akan kembali digelar pada Kamis (14/2) mendatang.

Karena Agustiawan selaku Direktur Utama PT Pertamina didakwa melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama melakukan investasi Participating Interest (PI) di Blok BMG (Basker Manta Gummy) Australia dengan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yaitu memperkaya Roc Oil Company (ROC, Ltd), sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp568,066 miliar.

Penuntut umum mendakwa Karen melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto  Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Tags:

Berita Terkait