KSPI Soroti 3 Isu Perburuhan Ini Selama 2021
Kaleidoskop 2021

KSPI Soroti 3 Isu Perburuhan Ini Selama 2021

Mulai dari polemik UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja; kenaikan upah minimum tahun 2022; dan penanganan Covid-19.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit
Gerakan Buruh Bersama Rakyat membentangkan atribut menolak Omnibus RUU Cipta Kerja saat menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPR, Senin (13/1/2020) lalu. Foto: RES
Gerakan Buruh Bersama Rakyat membentangkan atribut menolak Omnibus RUU Cipta Kerja saat menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPR, Senin (13/1/2020) lalu. Foto: RES

Sepanjang tahun 2021, KSPI mencatat sedikitnya 3 isu terkait perburuhan yang patut mendapat perhatian. Pertama, polemik UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terutama klaster ketenagakerjaan dan peraturan turunannya. Presiden KSPI, Said Iqbal, mengatakan masalah UU No.11 Tahun 2021 mendominasi isu perburuhan selama 2021. Sejak awal kalangan buruh menolak UU No.11 Tahun 2020 karena isinya merugikan buruh.

Selain melakukan demonsrasi menolak UU No.11 Tahun 2020, kalangan buruh bersama elemen masyarakat sipil lainnya mengajukan permohonan pengujian beleid itu ke MK. Hasilnya, MK mengabulkan sebagian gugatan pengujian formil dalam Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 dan menyatakan UU No.11 Tahun 2020 tidak mempunyai kekuatan mengikat selama belum diperbaiki atau inkonstitusional bersyarat.

“Mengingat UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat, maka UU itu dan peraturan pelaksanannya ditangguhkan,” kata Iqbal dalam pers rilis secara daring bertema “Catatan Akhir Tahun 2021 dan Outlook 2022 Terkait Isu Perburuhan”, Jumat (31/12/2021). (Baca Juga: Kilas Balik Polemik UU Cipta Kerja Sepanjang 2020-2021)  

Mengingat MK memberi jangka waktu 2 tahun untuk perbaikan UU No.11 Tahun 2020, Iqbal melihat tahun depan demonstrasi masyarakat sipil menolak beleid tersebut bakal masih ramai. Apalagi 2022 masuk tahun politik, KSPI bersama serikat buruh lainnya akan lantang berkampanye kepada masyarakat untuk tidak memilih partai politik yang mendukung UU No.11 Tahun 2020.

Untuk itu, Outlook 2022 ini akan diramaikan aksi masyarakat sipil menolak UU Cipta Kerja yang akan kembali dibahas pemerintah dan DPR di tahun 2022. “Kami mengingatkan tahun 2022 tahun politik, KSPI dan semua serikat buruh lain akan kampanyekan jangan pilih parpol politik yang mendukung UU Cipta Kerja. Kami melihat tahun depan sebaiknya dengan niat yang kuat pemerintah dan DPR menerbitkan klaster ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja.  

Kedua, penetapan upah mininum di berbagai daerah baik itu upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK). Serikat buruh menolak penetapan upah minimum menggunakan UU No.11 Tahun 2020 dan PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan karena tidak sesuai putusan MK yang menyatakan beleid itu inkonstitusional bersyarat. Semestinya UU No.11 Tahun 2020 dan peraturan turunan yang bersifat strategis dan berdampak luas, seperti klaster ketenagakerjaan ditangguhkan pelaksanannya.

Iqbal mengapresiasi kebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan yang berani merevisi kenaikan UMP tahun 2022 demi keadilan dan kemanusiaan. Ini langkah progresif, berani memihak pada rakyat kecil. Sayangnya belum ada gubernur lain yang berani melakukan hal yang sama. Malah yang terjadi sebaliknya, dimana gubernur tunduk dan mengikuti arahan pemerintah pusat dalam menetapkan upah minimum yakni mengacu UU No.11 Tahun 2020 dan PP No.36 Tahun 2021.

Bahkan, Iqbal mengecam tindakan Gubernur Banten Wahidin Halim yang tidak pernah mau menemui massa buruh yang melakukan demonstrasi menuntut kenaikan upah minimum. Alih-alih mengajak buruh untuk berdialog, Gubernur Banten malah melaporkan buruh yang demonstrasi ke kantor polisi karena masuk ke ruang kerjanya. Alhasil beberapa buruh dijadikan tersangka.

Iqbal berencana melaporkan balik Gubernur Banten karena mengeluarkan pernyataan yang mengimbau pengusaha untuk mengganti buruh yang tidak mau menerima upah minimum yang telah ditetapkan. “Kami minta Gubernur Banten mencabut laporannya ke polisi. Apa kejahatan yang dilakukan buruh yang mau menyampaikan aspirasinya kepada gubernur?” tegas Iqbal.

Menurutnya, perjuangan buruh di Banten menuntut kenaikan upah minimum belum berakhir. Iqbal menyebut tuntutan itu akan terus disuarakan tahun depan sampai Gubernur merevisi UMK sebagaimana yang telah direkomendasi bupati/walikota.

Kekecewaan yang sama juga diutarakan Iqbal terhadap kebijakan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, yang menyatakan tidak akan merevisi upah minimum di wilayahnya. Menurut Iqbal, rencana Gubernur Jawa Barat menetapkan kenaikan upah minimum bagi buruh dengan masa kerja di atas 1 tahun melanggar aturan internasional dan nasional.

Dia mengingatkan konvensi ILO menyebut upah minimum ditujukan untuk buruh dengan masa kerja di bawah 1 tahun. Begitu juga ketentuan yang diatur UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No.11 Tahun 2020. Kenaikan upah untuk buruh dengan masa kerja diatas 1 tahun merupakan hasil perundingan antara buruh dan pengusaha. Rencana Gubernur Jawa Barat itu dinilai mengancam hak berunding buruh.

Ketiga, penanganan pandemi Covid-19. Iqbal mengapresiasi upaya pemerintah menangani pandemi Covid-19 terutama dalam hal pemberian vaksin. Tapi kalangan buruh banyak yang menjadi korban Covid-19 karena harus bekerja di pabrik yang tidak bisa menerapkan mekanisme kerja dari rumah atau work from home (WFH). “Ribuan buruh meninggal karena terpapar Covid-19 di lingkungan kerja,” bebernya.

Sebelumnya, Dosen Departemen Hukum Perdata Spesialis Hukum Ketenagakerjaan, Susilo Andi Darma FH UGM, mengatakan tujuan UU No.11 Tahun 2020 adalah memberikan kemudahan berusaha. Salah satu klaster yang dianggap mempersulit iklim investasi yakni ketenagakerjaan. Sampai saat ini setidaknya telah terbit 4 peraturan pelaksana UU No.11 Tahun 2020 terkait ketenagakerjaan. Sebagaimana putusan MK, beleid ini dan peraturan turunannya inkonstitusional bersyarat, sehingga masih berlaku tapi tidak mengikat sampai dilakukan perbaikan.

“Melalui putusan ini pemerintah diminta mengkaji kembali substansi yang menjadi keberatan masyarakat termasuk klaster ketenagakerjaan,” ujar Susilo.

Dia mengatakan alih-alih membenahi UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No.11 Tahun 2020 justru menambah masalah. Misalnya kesempatan tenaga kerja asing untuk menduduki berbagai jabatan pekerjaan di Indonesia semakin terbuka lebar. Hal itu dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) PP No.34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) dimana semua jabatan yang ada dan tersedia bisa diduduki TKA.

Begitu juga PP No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PKWT-PHK) membuka peluang bagi pengusaha untuk mempekerjakan buruh PKWT secara terus-menerus. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 9 ayat (4) dimana pekerjaan yang diperjanjikan dalam PKWT belum dapat diselesaikan sesuai kesepakatan, maka jangka waktu PKWT dilakukan perpanjangan sampai batas waktu tertentu sampai selesainya pekerjaan.

“Perpanjangan ini tidak ada kepastian sampai kapan, jangka waktunya tidak jelas,” paparnya.

Menurut Susilo, pengaturan tentang alih daya kehilangan makna sebenarnya karena PP No.35 Tahun 2021 membuka alih daya untuk semua jenis pekerjaan. Padahal tidak semua jenis pekerjaan bisa menggunakan mekanisme alih daya, harus ada pembatasan. PHK juga bisa dilakukan secara langsung oleh pengusaha melalui surat pemberitahuan. Berbeda dengan sebelumnya dimana niat pengusaha untuk melakukan PHK harus dibicarakan terlebih dulu kepada pekerja/buruh.

Kebijakan pengupahan sebagaimana diatur dalam PP No.36 Tahun 2021 juga membuat kondisi buruh semakin terpuruk. Acuan yang digunakan untuk menetapkan upah minimum bukan lagi kondisi buruh melalui kebutuhan hidup layak (KHL), tapi kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. “UU No.11 Tahun 2020 tidak berpihak kepada buruh, sehingga hak-hak buruh terdegradasi karena yang diutamakan adalah investasi,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait