Polemik soal kepengurusan organisasi advokat di Indonesia seolah tak pernah kehabisan stok cerita. Siapa sangka gugatan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang dipimpin Fauzie Yusuf Hasibuan melawan Juniver Girsang justru mendapat putusan tidak dapat diterima atau Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) dari Majelis Hakim. Menyikapi putusan tersebut, 23 advokat yang menamakan diri Tim Advokasi Amicus melakukan mengajukan dokumen Amicus Curiae (Sahabat Peradilan) Jumat (5/10) lalu.
Mereka mendorong Pengadilan Tinggi DKI Jakarta meralat putusan PN Jakarta Pusat. Pengadilan Tinggi diminta bersedia memeriksa perkara gugatan Peradi di tingkat banding dengan sejumlah dalih argumentasi. Peradi yang dipimpin Fauzie Yusuf Hasibuan memang telah mengajukan upaya banding atas putusan NO itu.
Majelis Hakim PN Jakarta Pusat telah memutus sengketa kepengurusan organisasi advokat sebagai bukan kewenangan pengadilan untuk memutuskan. Intinya, peradilan nampak enggan ikut campur menengahi polemik yang berkaitan internal organisasi advokat.
Isi putusan Majelis Hakim PN Jakarta Pusat ini juga nampak sejalan dengan sikap Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali saat menerbitkan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 073/KMA/HK.01/IX/2015 (Surat KMA 073) pada akhir September 2015 silam. Berdalih dengan fakta bahwa Peradi telah terpecah dengan masing-masing pihak menyatakan sebagai pengurus yang sah, Hatta Ali memerintahkan Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia untuk menerima pengambilan sumpah advokat dari organisasi advokat apa saja.
Alih-alih mendorong penyelesaian sengketa, Ketua Mahkamah Agung menyatakan akan terus mengakui eksistensi semua organisasi advokat dalam hal pengambilan sumpah. Hatta Ali melempar “bola panas” ke parlemen karena menyatakan pilihan sikap Mahkamah Agung akan terus demikian sampai ada Undang-undang Advokat yang baru.
Baca:
- Majelis Bicara Mahkamah Advokat Kala Putuskan Gugatan Peradi
- Majelis Anggap Kedua Kubu Peradi Tidak Sah
Ika Arini Batubara, juru bicara Tim Advokasi Amicus mengatakan kepada hukumonline bahwa pihaknya merasa perlu mengajukan opini dalam bentuk Amicus Curiae karena peluang yang diberikan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi: “Hakim, dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”