Kritik Jokowi, Visi Indonesia Sejatinya Menegakkan Konstitusi dan HAM
Berita

Kritik Jokowi, Visi Indonesia Sejatinya Menegakkan Konstitusi dan HAM

Berharap pemerintahan ke depan memastikan tegaknya negara hukum Indonesia yang menjadikan konstitusi dan HAM sebagai pedoman utama menjalankan pemerintahan yang demokratis. Penegakkan hukum, HAM, pemberantasan korupsi, serta keadilan sosial dan ekologis harus menjadi prioritas pemerintah.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi. Foto: RES
Ilustrasi. Foto: RES

Pidato calon presiden terpilih Joko Widodo bertajuk “Visi Indonesia”, belum lama ini di Sentul, Bogor, menuai kritik dari berbagai kalangan terutama organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang hukum, HAM, dan lingkungan hidup. YLBHI/LBH, misalnya, menilai pidato itu merupakan proyeksi atau gambaran arah pembangunan Indonesia periode 5 tahun mendatang. Tapi sayangnya, substansi pidato itu menimbulkan kekhawatiran karena luput menyinggung kontitusi sebagai landasan hukum dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

“Pidato ‘Visi Indonesia’ itu tidak menyinggung masalah penegakkan hukum, HAM, pemberantasan korupsi, keadilan sosial, dan ekologis yang diamanahkan konstitusi,” ujar Direktur YLBHI Asfinawati dalam keterangannya, Rabu (17/7/2019). Baca Juga: Pidato Visi Jokowi Dinilai Abaikan Pentingnya Hukum dan HAM

 

Bagi  Asfinawati, konstitusi harus dijadikan pedoman utama/dasar penyelenggaraan pemerintahan. Sebab, YLBHI/LBH khawatir penegakan hukum dan HAM, pemberantasan korupsi, serta keadilan ekologi tidak menjadi agenda prioritas pemerintahan periode 2019-2024. Pidato yang disampaikan petahana itu ditujukan untuk keuntungan investor dan kelompok tertentu.

 

“Pembangunan hanya diarahkan untuk infrastruktur, tapi melupakan ‘pembangunan’ manusia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujarnya.

 

YLBHI/LBH melihat pidato itu mengarahkan pendidikan untuk pembangunan ekonomi yang lebih produktif, berdaya saing, sehingga menekankan pentingnya vokasi (pendidikan khusus). Model pendidikan seperti ini cenderung berorientasi pada pasar dan bersifat kapitalistik, melupakan pendidikan kewarganegaraan untuk mendorong masyarakat yang toleran dan demokratis.

 

Menurutnya, arah reformasi birokrasi yang ditujukan untuk memudahkan investasi tidak tepat, tetapi seharusnya diarahkan membenahi layanan publik seperti hak atas kesehatan, pendidikan, dan keadilan sosial. Pembangunan ekonomi termasuk ekonomi rakyat diarahkan pada industri yang mencerabut hak rakyat untuk mendapat kesejahteraan.

 

“Hal ini sesat pikir yang terus berulang yaitumenciptakan lapangan pekerjaan dengan mengundang investasi akan menciptakan kesejahteraan rakyat’,” kritiknya.

 

YLBHI/LBH juga menilai pemerintahan ke depan potensial berwatak represif. Hal ini ditunjukkan dengan memangkas peraturan perizinan yang menghambat investasi tanpa mempertimbangkan perlindungan hak warga negara dan lingkungan hidup. Parahnya, pidato itu melarang atau alergi terhadap investasi dengan ancaman represif. “Yang menghambat investasi, harus dipangkas atau ‘dihajar’ jika diperlukan,” begitu YLBHI/LBH mengutip pidato Presiden Jokowi.

 

Pemanfaatan APBN berorentasi pada kemanfaatan ekonomi seperti infrastruktur, tapi melupakan aspek keadilan sosial, ekologi, dan budaya. Karena itu, YLBHI/LBH menyatakan Visi Indonesia yang disampaikan Presiden Jokowi itu tidak mengarah pada visi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pancasila dan UUD RI 1945.

 

Pemerintah yang menekankan pembangunan fisik seperti infrastruktur bukanlah cara pikir baru. Ini cara pikir lama (usang), pola pikir developmentalism ini dianut rezim orde baru yang berujung ketimpangan ekonomi dan masalah keadilan sosial. Rakyat Indonesia berhak mendapat yang lebih baik dari sekedar dibentuk menjadi adaptif, produktif, kompetitif, dan bergantung pada investasi. Pembangunan seharusnya mengarah pada pembentukan nilai-nilai keadilan, penghormatan terhadap HAM, warga yang kritis dan berdaya serta menghargai keberagaman.

 

Selanjutnya, YLBHI/LBH berharap pemerintahan ke depan memastikan tegaknya negara hukum Indonesia yang menjadikan konstitusi dan HAM sebagai pedoman utama dalam menjalankan pemerintahan yang demokratis. Penegakan hukum, HAM, pemberantasan korupsi, serta keadilan sosial dan ekologis harus menjadi prioritas pemerintah.

 

Langkah mundur

Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati menilai pidato itu menunjukan langkah mundur Presiden Jokowi. Isi pidato itu tidak sejalan dengan komitmen politik yang tertuang dalam nawacita. Alih-alih memperjuangkan pemenuhan hak rakyat, pidato itu malah menunjukan keberpihakan pada kepentingan bisnis dan investasi.

 

“Narasi yang diucap Jokowi, khususnya pada tahapan keempat lebih tepat disebut sebagai visi mundur untuk mewujudkan keadilan sosial ekologis dan semangat melahirkan ‘negara hadir’ sebagai otoritas yang memberi perlindungan sekaligus pelayan kesejahteraan dan keselamatan bagi rakyatnya,” ujar perempuan yang disapa Yaya itu.

 

Yaya melihat kebijakan pemerintahan Jokowi selama ini bertentangan dengan janji politiknya. Memberi karpet merah kepada investasi untuk membuka lapangan kerja guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan menggunakan konsep trickle down effect merupakan cara usang yang layak ditinggalkan. Rakyat layaknya sebagai subyek yang mampu mengelola kekayaan alamnya (sendiri) melalui kebijakan yang memberi perlindungan terhadap wilayah kelola rakyat.

 

Semangat reformasi birokrasi dalam rangka mempercepat perizinan, menurut Yaya bertentangan dengan penyelesaian konflik agraria dan SDA. Sejumlah rancangan regulasi juga mengabaikan lingkungan hidup dan rakyat, seperti RUU Pertanahan, RUU Perkelapasawitan, Proyek Strategis Nasional (PSN), dan Perpres RTRW. Ironisnya, regulasi yang melindungi rakyat dan lingkungan hidup tak kunjung tuntas seperti RUU Masyarakat Adat dan RUU Air.

 

Yaya melihat dalam pidato awal Presiden Jokowi menyinggung perkembangan global kemudian dijadikan acuan untuk pencapaian Visi Indonesia. Hal ini menunjukan tidak ada pemahaman yang utuh terhadap persoalan yang dihadapi di tingkat global. Isu perubahan iklim yang mengancam penduduk dunia seharusnya menjadi prioritas seperti yang dilakukan pemimpin negara lain.

 

Pernyataan terkait investasi yang disampaikan Presiden Jokowi, bagi Yaya bertentangan dengan komitmen politik nawacita untuk mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan, dimana pembangunan ekonomi harus memperhatikan daya dukung lingkungan agar pembangunan berkelanjutan. Juga bertentangan dengan komitmen yang menyebut dampak perubahan iklim menjadi masalah global dan Indonesia harus ambil bagian dari upaya mitigasi terhadap dampak perubahan iklim.

 

Ancaman yang disampaikan Presiden Jokowi terhadap siapa saja yang menghambat investasi dikhawatirkan akan meningkatkan kerentanan terhadap masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup, SDA, dan agraria. “Selama ini para pejuang lingkungan hidup/agraria kerap distigmatisasi sebagai kelompok yang menghambat investasi dan pembangunan,” tegas Yaya.

 

Walhi mendesak Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024 untuk serius menangani masalah yang berkaitan dengan keselamatan hidup rakyat. Serta konsisten menjalankan nawacita untuk memastikan keberlanjutan lingkungan hidup dan menjalankan pembangunan yang berkeadilan sosial dan ekologis.

Tags:

Berita Terkait