Kritik dan Pandangan Hukum Pengampunan Korupsi di Bawah Rp 50 Juta
Utama

Kritik dan Pandangan Hukum Pengampunan Korupsi di Bawah Rp 50 Juta

Pernyataan Jaksa Agung agar tindak pidana korupsi dengan nilai di bawah Rp 50 juta diselesaikan dengan cara pengembalian kerugian keuangan negara menuai berbagai pandangan.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Wacana penghapusan atau pengampunan tindak pidana korupsi dengan nilai di bawah Rp 50 juta menimbulkan polemik di masyarakat. Pasalnya, wacana yang disampaikan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin saat Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi III DPR RI dinilai menciderai rasa keadilan di masyarakat. Selain itu, wacana tersebut juga bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia.

Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari, menyampaikan pengampunan korupsi di bawah Rp 50 juta tidak memiliki dasar hukum dan tidak logis. Dia mengatakan dengan pengampunan tersebut maka merugikan masyarakat secara luas dan melegalkan korupsi.

“Logika pencegahan kejahatannya tak masuk akal. Perlawanan terhadap korupsi itu bukan soal jumlah uang yang dicuri saja tapi juga soal akibat yang ditimbulkan. Ada kehidupan sosial dengan budaya korup akibat dari kejahatannya,” jelas Feri kepada Hukumonline, Kamis (3/2).

Dia mengatakan perilaku koruptif pada sistem pemerintahan timbul karena sistem pemerintahan yang buruk. Menurutnya, jika koruptor Rp50-an juta dibiarkan melenggang maka akan timbul budaya korupsi baru. (Baca: Penjelasan Kejaksaan Soal Polemik Korupsi Di Bawah Rp50 Juta)

“Selama cuma Rp 50 juta tidak korupsi maka orang akan bersama-sama korupsi di bawah Rp 50 juta. Sistem pemerintahan dan tata kehidupan sosial kita akan tambah hancur karena ada budaya korupsi baru,” tegasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menegaskan korupsi adalah perilaku tercela terlepas dari berapapun kerugian keuangan negara yang ditimbulkan. "Karena aspek hukum bukan sekadar tentang kerugian negara, namun juga aspek penjeraan dan sebagai pernyataan penghinaan terhadap prilaku yang tercela yang tidak melihat dari berapapun kerugiannya," kata Ghufron dalam keterangannya.

Namun, Ghufron memahami gagasan Jaksa Agung ini karena proses penyelesaian perkara juga memakan biaya yang besar bisa lebih dari Rp50 juta. "Karena proses hukum harus juga mempertimbangkan cost and benefit. Sementara proses hukum kalau kita perhitungan biayanya dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai ke pengadilan banding dan kasasi biayanya tentu lebih besar dari Rp50 juta, sehingga saya memahami gagasan tersebut," katanya.

Tags:

Berita Terkait