Hukum pidana nasional untuk memelihara hukum dan ketertiban dipastikan bakal berhadapan dengan dua tuntutan. Pertama, satu pihak perlu dilindungi lembaga kekuasaan umum yang diikat oleh prosedural formal. Kedua, masyarakat menginginkan dapat bergerak bebas atas nama demokrasi yang dijamin konstitusi.
“Menjadi wajar bila masih ada anggapan atau rasa khawatir masyarakat bakal menjadi new victimologi korban bila pas aitu berlaku,” ujar Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti Azmi Syahputra kepada Hukumonline, Senin (14/11/2022).
Baca Juga:
- Pemerintah Sampaikan Perubahan Pasal dalam RKUHP
- Menkopolhukam: RUU KUHP Disahkan Jadi UU Akhir Tahun
- Dialog Publik Terbuka Terbatas untuk 14 Isu Krusial RKUHP
Menurutnya, terdapat hal yang menjadi titik temu dan jawaban dalam draf RKUHP terkait alasan pembenar dan sifat melawan hukum. Seharusnya tidak bisa dipidana sepanjang perbuatan merupakan ungkapan ekspresi, kritik atau menyampaikan pendapat tuntutan masyarakat (kepentingan publik) yang tidak mengandung sifat melawan hukum.
Apalagi sepanjang menemukan kebijakan atau tindakan kesalahan terhadap kekurangan dari lembaga kekuasaan umum dimaksud. Kritikan atau ungkapan ekspresi yang dilontarkan memuat fakta kebenaran dan tidak bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat tertentu. “Ini bukanlah kategori menuduh sesuatu atau menyerang nama baiknya yang dikualifikasi sebagai delik menghina kekuasaan umum,” kritiknya.
Draf RKUHP per 9 November 2022
Pasal 349
(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.