Krisis Iklim Makin Nyata, Bank Perlu Hentikan Pendanaan Batubara
Terbaru

Krisis Iklim Makin Nyata, Bank Perlu Hentikan Pendanaan Batubara

Sejumlah bank yang berbasis di luar negeri berkomitmen tidak mendanai sektor batubara setelah 2030 di negara maju dan 2040 di negara lainnya. Periode 2018-2020 bank nasional mengucurkan Rp89 triliun untuk industri batubara di Indonesia.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Krisis iklim menjadi ancaman global yang harus diantisipasi oleh setiap negara tak terkecuali Indonesia. Selain pemerintah dan parlemen, salah satu sektor penting yang bisa berkontribusi untuk mengurangi dampak krisis iklim adalah sektor perbankan. Diketahui pendanaan industri batubara diberikan melalui bank nasional dan internasional.

Karena itu koalisi masyarakat sipil yang fokus pada isu ancaman krisis iklim mendesak bank untuk berhenti mendanai industri batubara. Selama ini batubara dinilai sebagai salah satu sektor yang menyumbang emisi karbon terbesar.

Koordinator aksi ekologi dan emansipasi rakyat Aksi Ekologi Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting, mengatakan tren investasi di sektor energi di ranah internasional mengarah pada energi terbarukan. “Sejumlah bank di luar negeri sudah menerapkan kebijakan untuk tidak mendanai industri batubara setelah tahun 2030 di negara maju dan negara lainnya pada tahun 2040,” katanya dalam diskusi bertema Laporan IPCC dan Bencana Iklim di Indonesia: Sejauh Mana Dampak Krisis Iklim Terhadap Indonesia Sebagai Negara Kepulauan, Selasa (01/03/2022) kemarin.

Sayangnya tren global pendanaan yang dilakukan bank di luar negeri itu belum berjalan di Indonesia. Pius mencatat masih banyak bank nasional yang mengucurkan dana untuk industri batubara. Sedikitnya 6 bank nasional telah mendanai Rp89 triliun pada periode 2018-2020.

Justru pendanaan yang dilakukan bank nasional terhadap energi terbarukan tergolong kecil hanya Rp21,5 triliun. Mengacu data tersebut Pius menyebut porsi investasi bank dalam negeri untuk sektor energi terbarukan sangat kecil dibanding batubara.

Baca:

Kendati demikian Pius mengatakan arah kebijakan terhadap krisis iklim di Indonesia berada dalam jalan yang benar. Tapi pelaksanaannya sangat lambat. Berbagai negara menargetkan batas waktu mitigasi untuk mencegah krisis iklim harus segera dilakukan karena puncak emisi karbon diperkirakan terjadi pada 2030.

Pius mengingatkan konferensi internasional di Glasgow, Skotlandia, mengatakan tingkat kenaikan suhu sebesar 1,2 derajat celcius sudah tidak aman. Angka tersebut melebihi batas kenaikan suhu 1 derajat celcius setelah revolusi industri. “Kita jangan bermain-main dengan waktu, harusnya sejak sekarang harus berkomitmen menghentikan pendanaan untuk batubara karena ancaman krisis iklim semakin nyata,” usulnya.

Kebijakan taksonomi hijau yang diterbitkan OJK menurut Pius sudah cukup baik tapi lajunya kurang cepat. Dia mengingatkan Maret 2020 beberapa bank nasional yang melakukan RUPS. Momentum itu penting bagi bank untuk memutuskan untuk berhenti mendanai industri batubara. Peningkatan produksi batubara yang direncanakan pemerintah juga bisa dilakukan karena ada dukungan pendanaan bank.

Bank harus melihat banyak nasabah mereka yang bisa terkena dampak signifikan krisis iklim seperti petani dan nelayan. Mereka terancam kesulitan untuk menjalankan usahanya karena dampak krisis iklim misalnya risiko banjir, kekeringan, dan gelombang laut yang tinggi.

Tags:

Berita Terkait