KPU: Menerapkan e-Voting Tidak Mudah
Berita

KPU: Menerapkan e-Voting Tidak Mudah

Aspek legal penggunaan e-voting sudah selesai.

ASH
Bacaan 2 Menit
Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay. Foto: RES
Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay. Foto: RES
Penggunaan fasilitas e-voting dalam pelaksanaan pilkada serentak tampaknya tidak semudah membalik telapak tangan. Butuh kajian yang serius mengenai potensi, kelebihan, tantangan, dan implikasinya jika ingin diterapkan.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) berniat membentuk tim kajian. Tetapi indikasi kesulitan menggunakannya sudah dibayangkan. Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay, menilai penggunaan teknologi informasi dalam Pemilu, termasuk Pilkada tidak mudah. Butuh kajian yang lengkap, komprehensif, terstruktur dengan metodologi yang baik sebelum teknologi informasi itu digunakan.

Sebelum ada hasil dari kajian itu, KPU belum dapat memastikan apakah siap atau tidak menyelenggarakan Pilkada dengan menggunakan teknologi informasi dalam tahap pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara. “Harus ada kajian komprehensif,” kata Hadar dalam diskusi di media center KPU di Jakarta, Jumat (07/11).

Para pemangku kepentingan perlu yakin e-voting bisa digunakan dan lebih bermanfaat dibanding metode yang dipakai sekarang. Penyelenggara pemilihan juga harus memastikan ketersediaan sumber daya manusia yang mengoperasikan teknologi informasi itu. Kata Hadar, jangan sampai penggunaan e-voting menimbulkan masalah baru.

Hadar menjelaskan KPU akan mengambil peran untuk menyiapkan penggunaan teknologi informasi dalam Pemilu dan pilkada. Caranya, membentuk tim kajian dengan melibatkan pemangku kepentingan. Setelah tim kajian selesai menjalankan tugas, tak ada jaminan juga e-voting bisa langsung digunakan. Mungkin dilakukan secara bertahap, uji coba di sejumlah daerah, seperti yang dilaksanakan di Filipina.

“Penggunaan teknologi informasi dalam Pemilu memang tidak dapat dihindari. Tapi kita harus kita harus menyiapkan pelaksanaannya dengan baik,” tukas Hadar.

Ahli perbandingan Pemilu, Anastasia S Wibawa, melihat e-voting sering dianggap sebagai solusi mengatasi berbagai persoalan Pemilu. Misalnya, proses rekapitulasi suara lebih cepat, penghitungan akurat dan memudahkan pemilih melaksanakan hak pilihnya. Tetapi ada juga Negara yang berhenti menggunakan seperti Jerman, Belanda, dan Paraguay.

Misalnya, KPU India menyatakan sistem e-voting yang mereka gunakan tidak dapat ditembus atau diretas. Tapi sebuah penelitian menemukan sejumlah kelemahan sistem yang dipakai. Sistem itu dapat dimanipulasi orang yang bisa mengakses alat e-voting dengan cara memasukan sebuah alat. Filipina juga menghadapi masalah karena yang mengendalikan perusahaan penyedia mesin e-voting. KPU Filipina seolah menjadi ‘tukang stempel’ saja. Indonesia perlu memperhatikan pengalaman negara lain.

Komisioner Bawaslu, Nasrullah, melihat masyarakat menilai penyelenggaraan Pemilu selama ini mahal dan diwarnai kecurangan. Indonesia membutuhkan Pemilu yang prosesnya mampu berjalan efisien dan efektif. E-voting dianggap sebagai salah satu solusi. “Kalau e-voting mau digunakan maka harus lebih murah dari segi biayanya ketimbang Pemilu menggunakan mekanisme manual. Jadi harus bisa efektif dan efisien,” usul Nasrullah.

Untuk mencari solusi atas hal tersebut maka penggunaan teknologi informasi (e-voting) dalam Pemilu perlu diuji coba. Ketika diuji coba maka sistem itu dapat diukur apakah efektif dan efisien atau tidak. Uji coba itu menurutnya bisa diterapkan pada Pilkada tahun depan di daerah yang bisa menerapkan e-voting.

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, mengatakan tidak ada persoalan secara legalitas untuk menerapkan teknologi informasi dalam Pemilu, termasuk Pilkada. Bisa mengacu Putusan MK No.147/PUU VII/2009 dan Perppu No.1 Tahun 2014. Tapi teknisnya harus diatur oleh KPU dengan menerbitkan Peraturan KPU. Pemangku kepentingan pun harus dilibatkan dalam pembahasan Peraturan KPU itu.

“Putusan MK No.147/PUU-VII/2009 dan Perppu No. 1 Tahun 2014 itu tidak ada artinya kalau tidak ada peraturan teknis yang diterbitkan KPU,” kata Titi.

Titi mengingatkan, dalam menyiapkan penerapan teknologi informasi dalam Pemilu dan Pilkada, ada prasyarat yang harus dipenuhi penyelenggara Pemilu. Jika syarat yang ditentukan MK dalam Putusan No. 147/PUU-VII/2009 itu tidak terpenuhi maka penggunaan teknologi informasi (e-voting) itu tidak dapat dilakukan.

Persyaratan yang diamanatkan MK diantaranya kesiapan teknologi, pembiayaan, SDM, perangkat lunak dan memenuhi prinsip penyelenggaraan Pemilu. Tak kalah penting, Titi mendorong KPU untuk memulai persiapan penerapan teknologi informasi itu dalam Pemilu. Caranya, dengan mengadakan kajian yang menyeluruh guna mengevaluasi kelayakan teknologi dan aparat penyelenggara Pemilu sesuai kondisi Indonesia terkini.
Tags:

Berita Terkait