KPPU Tingkatkan Status Pengawasan Gula Pasir ke Penegakan Hukum
Berita

KPPU Tingkatkan Status Pengawasan Gula Pasir ke Penegakan Hukum

Harga gula rata-rata nasional di pasar tradisional mencapai 44 persen di atas harga acuan penjualan tingkat konsumen, sementara di pasar ritel modern mencapai 24 persen di atas harga acuan.

Mochammad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Gedung KPPU di Jakarta. Foto: RES
Gedung KPPU di Jakarta. Foto: RES

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menemukan kejanggalan dalam harga gula pasir di pasaran. Lembaga tersebut menilai harga gula pasir yang beredar di masyarakat masih tergolong tinggi, meskipun gula impor telah masuk ke pasar. Sebelumnya, persoalan gula pasir berada pada keterlambatan penerbitan Surat Persetujuan Impor (SPI) dan sekarang menjadi ketidaklancaran distribusi produk yang sudah ada di tanah air.

Kondisi ini merupakan persoalan yang melibatkan perilaku pelaku usaha terkait. Karenanya, KPPU meningkatkan status pengawasan gula pasir menjadi proses inisiatif di penegakan hukum. Peningkatan status dari kajian sektoral tersebut dilakukan untuk lebih memfokuskan pengawasan KPPU pada perilaku para produsen dan distributor dalam pemenuhan kebutuhan gula nasional. Hal ini mengingat kemungkinan adanya pengaturan distribusi gula pasir yang diduga mengakibatkan tingginya harga gula pasir, meskipun telah terdapat realisasi impor yang cukup.

Juru Bicara KPPU, Guntur Putra Saragih menyatakan salah satu hal yang mendasari KPPU adalah, fenomena tingginya harga gula di masyarakat. Jika dibandingkan dengan data yang dikeluarkan International Sugar Organization, harga gula nasional dapat mencapai 240-260 persen lebih tinggi dibandingkan harga internasional pada bulan April dan Mei 2020. Adanya disparitas harga gula nasional dan harga gula internasional yang sangat tinggi ini tentunya menciptakan insentif bagi produsen dalam melakukan importasi gula daripada meningkatkan produksi atau menyerap produksi domestik.

Dia menjelaskan kajian di KPPU menilai bahwa jumlah kuota impor gula dalam persetujuan impor seyogyanya cukup, namun karena pengeluaran izin agak terlambat, baru sedikit yang terealisasikan. Sehingga diduga turut berkontribusi atas tingginya harga gula tersebut. Persoalan penerbitan SPI dan realisasi impor telah teratasi dengan terlaksananya realisasi sekitar 400 ribu ton, namun harga di pasaran masih cukup tinggi. Kajian di KPPU menunjukkan bahwa pada periode Mei 2020, harga gula rata-rata nasional di pasar tradisional mencapai 44 persen di atas harga acuan penjualan tingkat konsumen, sementara di pasar ritel modern mencapai 24 persen di atas harga acuan.

Tidak hanya itu, harga lelang gula rata-rata di tahun 2020 berada di kisaran Rp 12.000 per kilogram, tidak jauh dari harga acuan penjualan di tingkat konsumen atau Rp 12.500 per kg. Bahkan sempat terdapat harga lelang yang berada di atas harga acuan. “Menindaklanjuti berbagai fakta hasil temuan kajian tersebut, KPPU memutuskan untuk meningkatkan dan memfokuskan status pengawasannya pada perilaku produsen dan distributor sebagai inisiatif di bawah proses penegakan hukum yang ada,” jelas Guntur, Kamis (14/5).

Dalam masa pandemi Corona Virus Disease 2019 terjadi kelangkaan berbagai bahan pangan pokok di masyarakat. Sebelumnya, KPPU juga menyoroti kenaikan harga bawang putih yang tinggi pada April lalu. KPPU mencatat pada bulan Maret 2020 memiliki disparitas harga antara harga acuan dan harga pasar rata-rata sudah di atas 40%. Di Jakarta sendiri, bawang putih sempat memiliki disparitas lebih dari 70% persen.

KPPU mengapresiasi kebijakan yang diambil oleh Kementerian Pertanian yang menerbitkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) sejak 7 Februari 2020 dengan total 103 ribu ton, dan lahirnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 27 Tahun 2020 tentang Ketentuan Impor Produk Holtikultura pada tanggal 18 Maret 2020 yang merelaksasi prosedur admnistrasi penerbitan izin impor dengan meniadakan persetujuan impor dan laporan surveyor untuk komoditas tersebut.

KPPU menilai, meskipun dalam kondisi pandemi seperti saat ini, ketersediaan pasokan bahan pokok, seperti bawang putih perlu tetap ada di pasar. Karena itu, mengingat kebutuhan bawang putih dalam negeri hampir sepenuhnya dipasok bawang putih impor, maka Pemerintah perlu mendorong dan mengawasi agar importir bawang putih melakukan realisasi impor atas izin yang telah diterimanya. Pemerintah juga perlu menetapkan sanksi yang tegas bagi para importir yang dengan sengaja dan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan melalukan penundaan atas realisasi impor tersebut.

“Kalau perlu Pemerintah dapat mem-blacklist para importir nakal”, tegas Guntur. (Baca: Jalani Amanat Keppres, Polri Batasi Pembelian Bahan Pokok Cegah Panic Buying)

Lebih lanjut Guntur menjelaskan, KPPU akan melakukan penegakan hukum persaingan jika para importir secara bersama-sama melakukan kartel guna menghambat realisasi impor tersebut. Karena dari sisi persaingan usaha, penghambatan realisasi impor secara bersama-sama disamakan dengan upaya menahan pasokan dan mengatur pemasaran suatu barang atau jasa sebagaimana dilarang oleh Undang-undang No. 5/1999.

KPPU sendiri telah meningkatkan pengawasannya atas sektor pangan guna menjaga agar tidak terdapat pelaku usaha yang secara bersama-sama menahan pasokan atau memberikan harga yang sangat tinggi (excessive) di masyarakat. Berdasarkan hasil pengawasan, Guntur mengaku bahwa KPPU telah mengantongi nama-nama importir bawang putih tersebut.

Tags:

Berita Terkait