KPPU Tidak Temukan Adanya Kartel Masker
Berita

KPPU Tidak Temukan Adanya Kartel Masker

Permintaan yang tinggi membuat stok masker menipis bahkan kosong. Hal ini berimbas pada harga masker.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Foto: RES
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Foto: RES

Sejak wabah virus Corona mulai merebak di Tiongkok, masyarakat di berbagai belahan dunia mulai meningkatkan kesiagaan untuk mencegah penularan. Salah satu produk yang laris dan banyak dicari dipasaran adalah masker. Masker biasa digunakan untuk mencegah debu atau virus atau bakteri terhirup langsung oleh manusia.

 

Di Indonesia, kebutuhan masker mengalami peningkatkan yang signifikan pasca pemberitaan penyebaran virus Corona. Akibat dari meningkatnya kebutuhan masker, harga masker pun melesat tajam. Misalnya saja di kota Purwekerto. Harga masker tembus di angka Rp250 ribu per kotak untuk jenis masker biasa yang sebelumnya dijual seharga Rp40 ribu, sementara untuk jenis masker N95 dijual Rp600 ribu per kotak.

 

Adanya kenaikan harga masker ini membuat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan penelitian. Komisioner KPPU Guntur Syahputra mengatakan bahwa KPPU sudah melakukan penelitian terkait harga masker yang melibatkan enam kantor wilayah KPPU di Medan, Lampung, Bandung, Surabaya, Balikpapan, dan Makassar.

 

Hasilnya, KPPU tidak menemukan adanya kartel atau pelanggaran lainnya sesuai UU No. 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Naiknya harga masker diyakini karena adanya kekosongan stok masker.

 

“Berdasarkan hasil penelitian tidak ditemukan adanya pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli, baik kartel atau pelanggaran seluruh pasal. Tapi kami yakini ada beberapa wilayah yang mengalami kekosongan stok,” kata Guntur dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (3/3).

 

Dalam proses penelitian, Guntur menegaskan jika pihaknya sudah memanggil pelaku usaha masker. Dari hasil penelitian itu, pelaku usaha tidak terbukti melakukan kenaikan harga dengan sengaja. Kenaikan harga terjadi karena permintaan yang tinggi sementara ketersediaan stok terbatas atau kosong.

 

“Memang tidak bisa dipungkiri bahwa di pasar ada harga masker cukup tinggi dan meresahkan. Kami anggap sampai sekarang kenaikan harga terjadi karena ada peningkatan permintaan dan suplai tidak bisa meningkat,” tambahnya.

 

Namun demikian Guntur menyampaikan bahwa perkara ini belum ditutup. Ia mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk melaporkan ke KPPU jika mempunya bukti adanya pelanggaran terhadap UU Anti Monopoli terkait harga masker.

 

Di samping itu, Guntur juga mengingatkan agar masyarakat tidak panik terkait virus Corona. Ia menilai tingginya permintaan bukan hanya disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan, tetapi situasi panik membuat masyarakat membeli masker melebihi skala konsumsi.

 

“Kita harap konsumen bertindak cerdas. Pastinya suplai tidak bisa meningkat dalam waktu singkat. Harap masyarakat tidak panik dalam transaksi karena hal itu kian mempersulit keadaan,” tegasnya.

 

Direktur KPPU Zulfirmansyah menyampaikan bahwa pihaknya menemukan adanya kenaikan harga masker pada awal Februari. Namun sayangnya peningkatan permintaan tidak diiringi peningkatan suplai.

 

Guna mencari sebab atas kenaikan harga masker, Firman mengaku pihaknya sudah melakukan pertemuan dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk melakukan konsolidasi data. Dan hasil penelitian di seluruh kantor wilayah Jabodetabek menunjukkan adanya kekurangan stok.

 

“Kapasitas produksi produsen tidak sama. Kami sudah undang kemendag, kemenkes, kemenperin, konsolidasi data. Undang dua importir, produsen dan distributor,” katanya.

 

Adapun dari rantai distribusi, KPPU menyebut belum menemukan pelaku usaha besar yang melakukan pelanggaran UU Anti Monopoli. “Di rantai distribusi, belum temukan pelaku usaha besar lakukan pelanggaran. Ada 28 produsen masker binaan Kemenkes. Harus penuhi standar yang baik. Distributor dalam negeri 50 perusahaan. Produksi dalam negeri ada 28 distributor, impor ada 22 distributor. Dalam kondisi normal kita juga impor tapi tidak banyak,” pungkasnya.

 

(Baca: BPKN Soroti Pelanggaran Hak Konsumen Akibat Virus Corona)

 

Sebelumnya, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) memperingatkan pelaku usaha untuk tidak memanfaatkan kekhawatiran atau kepanikan warga atas ancaman penyebaran virus corona. Jangan sampai peritiswa di beberapa negara terjadi di Indonesia, yakni sulitnya mendapatkan masker di pusat-pusat perdagangan.

 

Menggunakan masker, sesuai saran Kementerian Kesehatan, merupakan salah satu cara mencegah penyebaran virus corona antar manusia, terutama ketika batuk dan pilek. Meskipun Pemerintah Indonesia mengklaim belum ada warga yang terinfeksi positif virus mematikan itu, gejala kelangkaan masker mulai terpantau BPKN. Hasil pantauan BPKN sudah ada kelangkaan masker. Meskipun di beberapa apotik dan toko alat kesehatan tersedia, harganya mengalami kenaikan drastis.

 

Dalam konteks itulah BPKN mengingatkan pelaku usaha untuk memperhatikan Pasal 107 UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Pasal ini berisi ancaman sanksi pidana penjara maksimal 5 tahun, dan/atau pidana denda maksimal Rp50 miliar bagi pelaku usaha yang melanggar larangan menyimpan barang kebutuhan pokok atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, atau hambatan lalu lintas perdagangan barang.

 

Tags:

Berita Terkait