KPPU Tawarkan Insentif untuk ‘Pembongkar’ Kasus Kartel
Utama

KPPU Tawarkan Insentif untuk ‘Pembongkar’ Kasus Kartel

Program leniency seharusnya diterapkan jika memang kasus kartel marak terjadi sehingga mengancam perekonomian nasional.

CR-10
Bacaan 2 Menit
Berantas kartel, KPPU terapkan leniency. Foto: sgp
Berantas kartel, KPPU terapkan leniency. Foto: sgp

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tampaknya benar-benar serius ingin memberantas praktik kartel. Keseriusan itu tergambar dalam Peraturan Komisi (Perkom) No 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksana Kartel yang di dalamnya mengatur tentang leniency.

 

Diatur dalam Bab V Perkom No 4 Tahun 2010, leniency adalah program pengurangan denda bagi perusahaan atau individu yang mau mengakui atau bekerja sama kepada aparat penegak hukum untuk membongkar praktik kartel.

 

Ditemui di gedung KPPU, Kamis (12/8), Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Muhammad Syuhadak menjelaskan leniency adalah salah satu metode yang digunakan untuk mengungkapkan adanya praktik kartel. Karena terbilang baru, menurut Syuhadak, program ini perlu disosialisasikan oleh KPPU.

 

Namun begitu, penerapan leniency dalam penanganan suatu perkara kartel akan sangat tergantung pada kebijakan majelis komisi terkait. “Jadi, itu semua nanti tergantung kepada komisi yang menangani perkara,” tandas Syuhadak.

 

Program leniency sudah tertuang dalam sebuah Perkom, namun uniknya, internal KPPU menyiratkan keraguan mengenai bagaimana program ini nanti diterapkan. Kepala Bagian Penanganan Pranata Hukum KPPU Arnold Sihombing mengingatkan KPPU agar berhati-hati dalam menerapkan leniency.

 

Salah satu yang patut dicermati KPPU, kata Arnold, leniency tidak memiliki payung hukum. Keberadaan Perkom, menurutnya, hanya bersifat pedoman bagi KPPU. Makanya, majelis komisi harus ekstra hati-hati menerapkan leniency agar independensi majelis tetap terjaga. “Kita sangat sensitif untuk memberikan leniency, karena payung hukumnya tidak ada,” ujarnya.

 

Dihubungi hukumonline, Sabtu (14/8), Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Prof Ningrum Anastasya Sirait mengatakan KPPU harus yakin atas kebijakan yang mereka keluarkan sendiri. Penerapannya pun, lanjut Ningrum, harus konsisten. “Kalau mereka tidak yakin, bagaimana dengan pelaku usaha. Sekarang ini semua orang mencari kepastian hukum,” tandasnya.

 

Soal payung hukum, Ningrum mengatakan keberadaan Perkom memang berangkat dari penafsiran KPPU terhadap Pasal 35 UU No 5 Tahun 1999. Salah satu substansi pasal itu memang memberikan kewenangan kepada KPPU untuk menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan UU No 5 Tahun 1999.

 

Namun, apakah Perkom bersifat mengikat? Ningrum mencoba menelaah berdasarkan UU No 10 Tahun 2004. Di satu sisi, tidak ada ketentuan dalam undang-undang tersebut yang mengakui Perkom sebagai sumber hukum.

 

Namun, merujuk pada Pasal 7 ayat (4), Ningrum mengatakan di luar hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku, terdapat pula jenis peraturan perundang-undangan lain yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang undangan yang lebih tinggi. “Termasuk peraturan komisi,” imbuhnya.

 

Selain itu, menurut Ningrum, hingga saat ini, KPPU telah banyak menerbitkan Perkom yang mengikat pihak lain selain KPPU. Sebagai contoh, Perkom No 1 Tahun 2010 tentang Pedoman Beracara di KPPU. Semua orang yang berperkara di KPPU menggunakan peraturan ini dan lama-lama menjadi mengikat.

 

Mengomentari program leniency, Ningrum berpendapat seyogyanya program ini diterapkan jika memang kasus kartel marak terjadi sehingga mengancam perekonomian nasional. Sementara, kasus kartel yang pernah ditangani KPPU jumlahnya belum signifikan. Beberapa di antaranya adalah kartel garam, kartel minyak goreng, dan maskapai penerbangan. “Dengan kata lain, jika kartel tersebut ancaman serius, maka diberikanlah program ini,” tandas Ningrum.

 

Tags: