KPPU Tangani 4 Perkara Baru Terkait Merger
Berita

KPPU Tangani 4 Perkara Baru Terkait Merger

Hingga Desember 2019, KPPU sudah menangani 16 perkara merger.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Gedung KPPU. Foto: RES
Gedung KPPU. Foto: RES

Di penghujung tahun 2019, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kembali menangani empat perkara dugaan pelanggaran merger terkait keterlambatan notifikasi akuisisi. Menurut Komisioner KPPU, Guntur Saragih, empat perkara ini sudah siap masuk ke tahap persidangan.

 

“Ini (4 perkara merger) belum dinilai, apakah berpotensi melanggar atau tidak. Perkara akan masuk ke persidangan, nanti akan dijadwalkan,” kata Guntur di Kantor KPPU Jakarta, Senin (2/12).

 

Adapun empat perkara tersebut, Pertama, keterlambatan notifikasi akuisisi PT Mitra Barito Gemilang oleh PT Astra Agro Lestari, Tbk. Deputi Penegakan Hukum KPPU, Hadi Susanto mengatakan bahwa tujuan akuisisi oleh PT Astra Agro Lestari adalah terkait pengembangan usaha baru di bidang perkebunan karet. Adapun transaksi akuisisi dilakukan pada 5 Desember 2016 dengan nilai transaksi sebesar Rp16,19 miliar dan proses akuisisi ini sudah terlambat selama 634 hari.

 

Kedua, keterlambatan notifikasi akuisisi PT Terminal Bangsa Mandiri oleh PT FKS Multi Agro, Tbk. Akuisisi dilakukan dengan tujuan utnuk memperluas basis aset guna menunjang dan memperkuat kemampuan logistiknya. Transaksi dilakukan pada 3 Juli 2015 dengan nilai Rp29,7 miliar. Adapun keterlambatan notifikasi adalah 1.006 hari.

 

Ketiga, adanya keterlambatan notifikasi akuisisi PT Kharisma Cipta Dunia Sejati oleh PT FKS Multi Agro, Tbk. Akuisisi bertujuan untuk memperluas basis aset guna menunjang dan memperkuat kemampuan logistik dan dilakukan pada 16 Desember 2015 lalu. Adapun keterlambatan notifikasi tercatat selama 889 hari.

 

Keempat, keterlambatan notifikasi akuisisi PT Pani Bersama Jaya oleh PT Merdeka Coppers Gold. Perusahaan yang bergerak di bidang tambang emas ini melakukan akuisisi untuk pengembangan usaha. Akuisisi dilakukan pada 2 November 2019 lalu dengan nominal sebesar Rp836,4 miliar. Keterlambatan notifikasi adalah 15 hari.

 

Hadi mengatakan sepanjang tahun 2019 KPPU sudah menangani 16 perkara terkait merger atau akuisisi. Sebanyak 12 perkara sudah diputus, sementara 4 perkara di atas sudah akan masuk ke persidangan.

 

“Total ada 16 perkara merger hingga saat ini, 12 sudah diputus. Mayoritas perkara adalah inisiatif dari KPPU, hanya 1 persen yang melapor sendiri ke KPPU,” kata Hadi pada acara yang sama.

 

(Baca: KPPU Akan Rincikan Aturan Baru Akuisisi Aset Pada Perkom 3/2019)

 

Sebelumnya, Komisioner KPPU Kodrat Wibowo mengungkapkan pihaknya tengah menyusun juknis atau pedoman yang lebih rinci sebagai turunan Perkom No.3 Tahun 2019 tentang Penialaian Terhadap Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan Saham Perusahaan Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat.

 

Penyusunan juknis ini berangkat dari banyaknya pertanyaan di kalangan pelaku usaha yang belum terjawab. Mulai dari definisi aset yang begitu luas, relevansi kewenangan interyurisdiksi KPPU terhadap perhitungan aset global, kewajiban kelengkapan dokumen untuk dianggap telah melakukan notifikasi oleh direktorat merger dan akuisisi dengan konsekuensi denda yang begitu besar dan masih banyak lagi.

 

Ketua Indonesian Competition Lawyers Association(ICLA), Asep Ridwan, yang sejak awal mengkritik substansi Perkom 3/2019 tak menafikan begitu ringkasnya muatan Perkom ini, sehingga penting untuk dirinci dalam Juknis. Definisi aset yang begitu luas jelas menimbulkan banyak konsekuensi. Kendati filosofi diaturnya kewajiban notifikasi aset dianggap KPPU begitu penting, tetap bahasa hukum harus jelas mengingat denda keterlambatan yang menjadi risiko pelaku usaha juga tak main-main besarnya.

 

“Perlu dirinci hal-hal teknis termasuk kelengkapan dokumen, masalah aset dan perhitungannya, apakah terbatas pada aset yang berdampak terhadap pasar Indonesia? Itu harus diperjelas. Karena Nothing to do dengan pasar negara lain mengingat kewenangan KPPU adalah pasar Indonesia,” tegasnya.

 

Asep juga menyoroti masalah keterbatasan waktu untuk melengkapi dokumen dalam kaitannya dengan terjemahan dokumen. Butuh waktu untuk melakukan terjemahan atas dokumen-dokumen yang ada khususnya bagi perusahaan yang melibatkan penanaman modal asing. Jangan sampai hanya karena masalah waktu penerjemahan dokumen saja bisa membuat pelaku usaha dianggap terlambat melakukan notifikasi dan dikenakan denda keterlambatan.

 

Tags:

Berita Terkait