KPPU Koordinasi dengan BPOM Terkait Revisi Peraturan BPOM 31/2018
Terbaru

KPPU Koordinasi dengan BPOM Terkait Revisi Peraturan BPOM 31/2018

Ada potensi persaingan usaha tidak sehat dalam revisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan yang hanya fokus untuk pelabelan BPA terhadap kemasan galon berbahan Polikarbonat (PC).

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Foto: RES
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Foto: RES

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tengah melakukan pembahasan revisi Peraturan BPOM No 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Revisi difokuskan terhadap pelabelan bahan kimia Bisfenol A (BPA) pada galon guna ulang beredar di masyarakat.

Kebijakan ini turut menjadi sorotan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Direktur Kebijakan Persaingan KPPU, Marcellina Nuring Ardyarini, menilai revisi perautan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait labelisasi galon berpotensi merusak persaingan usaha.

"Ada potensi persaingan usaha tidak sehat dalam revisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan yang hanya fokus untuk pelabelan BPA terhadap kemasan galon berbahan Polikarbonat (PC)," katanya dilansir dari Antara.

Ia mengatakan wacana perubahan telah muncul ke publik sehingga pihaknya akan mulai berkoordinasi dengan BPOM untuk melihat bagaimana perkembangan dari rencana perubahan ini. Hal itu sejalan dengan salah satu tugas dari KPPU berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 35 huruf “e” adalah memberikan saran dan pertimbangan atas kebijakan pemerintah yang mengarah pada persaingan usaha tidak sehat.

Baca Juga:

Selain berkoordinasi dengan BPOM, KPPU juga akan melakukan analisa lanjutan dengan meminta pendapat dari para pakar atau ahli, sehingga hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan. Pelaku usaha juga akan diundang jika memang nantinya diperlukan untuk memetakan mengenai struktur industri dan bagaimana persaingan di industri tersebut.

Pihaknya juga akan melihat pengaturan BPA ini di negara-negara lain untuk dijadikan dasar sebagai bahan-bahan kami dalam melakukan analisis untuk kemudian menentukan bagaimana sisi persaingannya. Ia mengatakan bahwa daftar pemeriksaan yang dilakukan KPPU terhadap revisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan itu ada empat.

Pertama, untuk mengidentifikasi apakah di dalam revisi peraturan tersebut ada potensi pengaturan oleh pelaku usaha. Kedua, untuk mengidentifikasi apakah ada pengaturan terkait pembatasan pasokan atau jumlah pelaku usaha. Ketiga, untuk mengidentifikasi apakah pengaturan tersebut berpotensi membatasi kemampuan bersaing pelaku usaha. Keempat, mengidentifikasi apakah peraturan yang disusun memfasilitasi penguatan pasar atau posisi dominan dari pelaku usaha tertentu.

Kata Marcellina, banyak pelaku usaha yang terkait seperti yang memproduksi botol dan galon sekali pakai berbahan PET dan galon guna ulang berbahan PC.

Adanya kemungkinan bahwa regulasi BPOM ini dapat merusak iklim persaingan, kata dia dapat disimpulkan nantinya dari identifikasi yang ketiga bahwa ada kemungkinan dengan adanya pelabelan berpengaruh dengan membatasi kemampuan bersaing pelaku usaha tertentu karena terdapat perlakuan diskriminatif yang menyebabkan kemampuan bersaing menjadi lebih rendah dari para pesaing lain.

Namun Pakar Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Mursal Maulana, meminta KPPU untuk tidak terburu-buru dalam menilai rencana Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) membuat peraturan terkait pelabelan BPA pada produk air minum dalam kemasan galon berbahan plastik keras (polikarbonat).

“KPPU baru mengeluarkan hipotesa, tanpa membuat suatu riset saintifik. Jadi, KPPU lebih baik melakukan koordinasi internal lebih dulu sebelum mengeluarkan pernyataan, sehingga tidak membuat masyarakat bingung,” kata Mursal.

Mursal menegaskan BPOM dan KPPU adalah dua lembaga yang memiliki wewenang di wilayah berbeda. Wilayah wewenang BPOM adalah kesehatan publik yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Di sisi lain, KPPU berwenang di wilayah praktik dan perjanjian bisnis.

“KPPU itu murni melihat B2B (business to business) untuk menjamin tidak adanya praktik persaingan usaha tidak sehat, seperti monopoli dan kartel,” kata Mursal.

Kesehatan publik, menurut Mursal, merupakan isu pelindungan hak asasi manusia. Karenanya, BPOM sesuai amanat konstitusi perlu mengeluarkan kebijakan tersebut. BPOM bertugas untuk memproteksi kesehatan masyarakat yang bersifat mandatory, atau diwajibkan karena amanat konstitusi sebagai perwujudan pemenuhan hak asasi manusia.

Sementara itu, di sisi lain, isu kebijakan kompetisi yang menjadi wilayah kewenangan KPPU lebih mengarah kepada B2B, dan bukan B2C (business to consumer). KPPU di sini bertugas menciptakan lingkungan persaingan usaha yang sehat, agar tidak ada saling sikut di antara pelaku bisnis.

“Isu kesehatan publik dan kebijakan kompetisi memiliki dua objek yang berbeda. Jadi menurut saya, ini persoalan koordinasi di antara lembaga negara. KPPU tidak perlu membuat pernyataan ke media, tapi justru berkoordinasi dengan BPOM dan melakukan kajian bersama,” jelasnya.

Mursal mengakui isu kesehatan publik acapkali bersentuhan dengan isu persaingan usaha, seperti dalam rencana BPOM menerapkan peraturan pelabelan BPA. Namun demikian, dia tetap berpandangan bahwa KPUU baru bisa menggunakan kewenangannya jika lembaga itu menemukan praktik riil persaingan usaha tidak sehat yang terkait dengan peraturan BPOM yang saat ini tengah dibahas ileh BPOM.

Jika pada akhirnya aturan tersebut diterbitkan, pihak-pihak yang berkeberatan dengan substansinya bisa menggugat peraturan BPOM itu ke Mahkamah Agung (MA). dan bukan ke KPPU. Ini karena wilayah kewenangan KPPU berada di wilayah praktik bisnis, dan bukan substansi kebijakan pemerintah.

Mursal menyarankan KPPU sebaiknya wait and see (melihat dan menunggu) dan tidak tergesa-gesa melakukan tindakan. “Ini karena wewenang KPPU dalam konteks ini baru bisa dijalankan ketika nantinya ada efek dari pemberlakuan peraturan itu, apabila ada keluhan bahwa ada indikasi persaingan usaha tidak sehat,” ujarnya.

Sementara itu terkait dengan BPOM, Mursal memandang lembaga itu bisa tetap meneruskan rencananya mengatur pelabelan BPA. “Jika yakin ini murni untuk melindungi kesehatan masyarakat, apalagi sudah melakukan riset saintifik tentang dampak BPA, BPOM bisa tetap menerapkan kebijakan tersebut karena ini amanat Konstitusi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait