KPPU Diminta Selidiki Praktik Kartel Bawang Putih Jilid II
Berita

KPPU Diminta Selidiki Praktik Kartel Bawang Putih Jilid II

KPPU harus membongkar penyebab terjadinya kenaikan harga bawang putih di awal 2019 dan siapa yang diuntungkan dari keterlambatan penundaan terbitnya RIPH dan SPI.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Gedung KPPU di Jakarta. Foto: RES
Gedung KPPU di Jakarta. Foto: RES

Kisruh bawang putih yang harganya sempat melejit dari Rp80.000 sampai Rp100.000 per kg masih menimbukan pertanyaan yang belum terjawab. Meskipun Kementan dan Kemendag melakukan operasi pasar untuk menekan harga kembali turun di kisaran Rp30.000 sampai Rp40.000 per kg, namun harga tersebut dirasakan masih tidak wajar. Karena harga yang ditetapkan pemerintah bukannya memperhatikan kepentingan masyarakat konsumen, tetapi lebih menyelamatkan importir dari keterpurukan harga sebelumnya.

 

Anggota Dewan Pertimbangan Nasional Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Indonesia Hebat (Almisbat), Syaiful Bahari, menjelaskan dari awal pihaknya sudah menduga kekosongan pasokan dan naiknya harga bawang putih bukan disebabkan anomali pasar atau harga yang tinggi di negara asal bawang putih impor yaitu Cina.

 

“Tapi lebih disebabkan adanya rekayasa pasar dan harga yang dilakukan segelintir importir dengan dukungan kebijakan Kementan dan Kemendag,” tulisnya dalam rilis yang diterima hukumonline, Rabu (15/5).

 

Pertanyaan mengapa RIPH dan SPI ditunda selama empat bulan yang seharusnya Januari 2019 sudah dikeluarkan, sampai saat ini belum terjawab. Mengapa terjadi pembiaran harga bawang putih menjadi semakin liar padahal sejak Februari 2019, Almisbat sudah memperingati akan terjadi kenaikan harga dan sumbernya adalah keterlambatan penerbitan RIPH?

 

“Pada saat RIPH dan SPI diberikan kepada 8 importir sejumlah 115.000 ton, baik Kementan maupun Kemendag bekerjasama dengan para importir untuk menekan harga bawang putih melalui operasi pasar dan menetapkan harga jual bawang putih ke pasar tradisional dan pasar modern,” tulis Syaiful dalam rilis tersebut.

 

Mentan Amran Sulaiman terlebih dahulu membuat kesepakatan bersama dengan para importir yang ditandatangani bersama di atas kontainer pada saat operasi pasar di pasar Kramatjati. Kesepakatan tersebut menetapkan harga bawang putih dijual Rp. 25.000 per kg dalam operasi pasar dan Rp. 30.000 per kg ke pedagang retail.

 

Seperti tidak mau kalah, Kemendag juga membuat kesepakatan bersama dengan Aprindo dan importir untuk menetapkan harga. Harga jual bawang putih sico di tingkat konsumen Rp35.000 per kg dan bawang putih kating Rp40.000 per kg. Harga ini berlaku di seluruh gerai anggota Aprindo. Sementara harga jual bawang putih sico di gudang importir Rp20.000 per kg. Kesepakatan tersebut menetapkan juga Harga Eceran Tertinggi (HET) di retail modern Rp35.000 per kg dan di pasar tradisional Rp32.000 per kg.

 

Menurutnya, penetapan harga sepihak baik oleh Kementan dan Kemendag bersama para importir jelas-jelas telah melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, khususnya Pasal 5 Ayat (1) tentang penetapan harga dan Pasal 11 tentang kartel.

 

Dalam Pasal 5 dijelaskan “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama”.

 

Sedangkan Pasal 11 ditegaskan “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.

 

“Jadi indikasi kartel bawang putih tahun ini mengulangi kembali praktek kartel pada tahun 2013 yang saat itu pemicunya juga RIPHdan SPI dari Kementan dan Kemendag. Jadi ini merupakan kartel bawang putih jilid II,” papar Syaiful dalam rilis.

 

Adanya kartel dan penetapan harga secara sepihak oleh importir dan Kementan maupun Kemendag nyata-nyata telah merugikan masyarakat sebagai konsumen. Operasi pasar yang digelar seolah-olah menunjukkan harga bawang putih sudah turun. Padahal jika kalau dilihat modal impor dari Cina sampai di pelabuhan Indonesia hanya Rp14.500 per kg.

 

(Baca: Impor Bawang Putih Dibatalkan, Ini Komentar KPPU)

 

Dengan operasi pasar saja importir jual harga yang ditetapkan sepihak masih untung Rp10.500 per kg. Belum lagi dengan harga HET disparitas keuntungan yang diperoleh Rp17.500 sampai Rp20.500 per kg. Berarti masyarakat mensubsidi disparitas keuntungan bawang putih hampir dua kali lipat dari harga modal impor.

 

Almisbat meminta harusnya Kementan dan Kemendag terbuka kepada masyarakat berapa sesungguhnya modal impor bawang putih. Apa yang menjadi dasar pertimbangan penetapan harga Rp25.000 sampai Rp35.000 per kg? Padahal Desember 2018 harga bawang putih pernah turun sampai Rp10.000 di tingkat importir.

 

Mentan Amran Sulaiman sendiri pada tahun lalu pernah menyatakan harga bawang putih dari Cina sampai Indonesia Rp8000 sampai Rp10.000 per kg, sehingga keuntungan importir bisa mencapai Rp19 triliun. Mengapa sekarang tidak disebut berapa modal impor sampai di gudang importir? Malah sebaliknya turut serta menetapkan harga yang berpotensi melanggar undang-undang.

 

Oleh karena itu Almisbat meminta KPPU segera memeriksa dugaan praktik kartel dan penetapan harga secara sepihak oleh segelintir importir beserta Kementan dan Kemendag yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. KPPU harus membongkar penyebab terjadinya kenaikan harga bawang putih di awal 2019 dan siapa yang diuntungkan dari keterlambatan penundaan terbitnya RIPH dan SPI.

 

Tags:

Berita Terkait