KPPU Akan Selidiki Indikasi Kartel Kedelai
Utama

KPPU Akan Selidiki Indikasi Kartel Kedelai

Indikasi antara lain terlihat dari laporan stok dan ketidakpastian kebijakan.

CR15
Bacaan 2 Menit
Foto : SGP
Foto : SGP

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mensinyalir adanya indikasi kartel kedelai. Komoditi yang akrab dengan menu keseharian rakyat Indonesia ini terus bergejolak mengalami kenaikan harga. Gejolak harga kedelai ini tercatat sejak tahun 2012 lalu memang selalu mengalami kenaikan setiap bulan Agustus.

Setidaknya lima juta orang yang menggantungkan hidup dari kedelai menjadi terombang-ambing nasibnya. Ketua Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo), Aip Syarifuddin, mengatakan saat ini ada 150 ribu pengrajin dengan 1,5 juta pegawai. “Kalau dikalikan satu keluarga itu tiga orang itu sudah lima juta orang yang tergantung hidupnya dari kedelai," ujarnya.

Disinyalir, ketidakstabilan harga kedelai dalam beberapa waktu dekat ini dikarenakan adanya permainan yang tak sehat dalam pendistribusiannya. Dari rapat dengar pendapat yang digelar oleh KPPU, Kamis (5/9), ditemukan beberapa indikasi kartel kedelai.

“Hearing ini tujuannya untuk menguak fakta itu. Kita melihat indikasinya kelihatan. Permainan lah, bisa,” kata Komisioner KPPU, Munrohim Misanam.

Munrohim menjelaskan, indikasi permainan yang tidak sehat dalam perdagangan kedelai antara lain terlihat dari ketidaksamaan laporan mengenai stok kedelai. Munrohim menilai laporan yang diterima oleh pihaknya berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh pihak Kementerian Perdagangan. Selain itu, indikasi lainnya adalah adanya ketidakpastian kebijakan.

“Ketika ada ketidakpastian kebijakan, ada kemungkinan di sana terjadi permainan,” ujar Munrohim lugas.

Untuk memastikan ada tidaknya kartel kedelai dari indikasi-indikasi yang tertangkap, Munrohim menegaskan pihaknya akan segera melakukan investigasi. Jika dari proses pendalaman itu ditemukan fakta-fakta yang menguatkan, maka KPPU akan melanjutkan proses menuju tahapan penyelidikan. Penemuan dalam penyelidikan akan menentukan masalah ini masuk sebagai perkara atau tidak.

“Ini biar didalami, biar jalan dulu prosesnya. Ini menjadi titik masuk bagi kita untuk kroscek,” kata Munrohim.

Akan tetapi, Munrohim enggan mengatakan target waktu untuk melakukan semua proses itu. “Saya tidak bisa memastikan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melakukan investigasi, karena itu bergantung pada dinamika penyelidikan di lapangan nanti. Bisa cepat seperti bawang putih, bisa lambat seperti daging,” ujarnya.

Pemerintah mencoba melakukan tata niaga kedelai dengan regulasi importasi kedelai yang mewajibkan pelaku menjadi importir terdaftar (IT). Setelah IT diproses, langkah selanjutnya adalah menunggu legalitas pemerintah untuk mendapatkan surat persetujuan impor (SPI). Prosedur yang tidak sederhana menyebabkan molornya SPI.

"Dalam prosesnya karena ada regulasi baru itu kami tunggu SPI. Itu yang ditunggu-tunggu baru turun tanggal 31 Agustus. Sehinga tidak semua importir punya stok cukup rata-rata dua bulan," ujar Pengurus Dewan Kedelai Nasional Sutaryo.

Sutaryo mengatakan begitu stok tidak cukup, maka terjadi gejolak karena importir tidak memiliki perhitungan sama. Dia mensinyalir kondisi tersebut ditangkap oleh distributor dan pelaku pasar lainnya. "Karena importir belum dapat SPI untuk impor lagi. Begitu mulai ketidakpastian SPI, importir sudah mulai 'ngeteng', mengeluarkan pasokan sedikit demi sedikit," ucapnya.

Stok dalam negeri yang terbatas mendorong importir secara terpaksa mendatangkan kedelai melalui impor di tengah nilai tukar rupiah yang terdepresiasi. “Kedelai dari dalam negeri yang mau kita beli itu tidak ada Pak. Kalaupun ada harganya di atas Rp7.000 per kg,” tutur salah satu importir kedelai, Direktur PT KFS Multi Agro, Kusnarto.

Gejolak kurs rupiah membuat pengusaha mendatangkan kedelai dengan kurs dolar yang berlaku saat ini. Importir pun tidak punya pilihan selain menaikkan harga kedelai. “Kalau mau minta stabil, stok dolarnya juga harus stabil, kalau gonjang-ganjing ya susah,” imbuh Kusnarto.

Tags:

Berita Terkait