KPPOD Sebut RUU Pilkada Cederai Kepastian Hukum
Terbaru

KPPOD Sebut RUU Pilkada Cederai Kepastian Hukum

Selain mengganggu sistem pemilihan kepala daerah yang berlandaskan Luber dan Jurdil, revisi UU Pilkada yang serampangan ini berpotensi merusak integritas dan efektivitas pemerintahan daerah, serta mengancam upaya mencapai ultimate goal otonomi daerah, yakni kesejahteraan masyarakat.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Direktur Eksekutif KPPOD Herman N Suparman. Foto: Tangkapan layar YouTube
Direktur Eksekutif KPPOD Herman N Suparman. Foto: Tangkapan layar YouTube

Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai hasil pembahasan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang No.1 Tahun 2015 atau RUU Pilkada telah mencederai kepastian hukum, akuntabilitas pemilihan kepala daerah dan berpotensi mengganggu efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah ke depan.

Direktur Eksekutif KPPOD Herman N Suparman mengatakan revisi UU Pilkada ini pun terlihat sebagai upaya menganulir Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024.

"Hasil revisi UU Pilkada ini menimbulkan ketidakpastian hukum karena bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 tanggal 20 Agustus 2024," kata Herman dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (21/8).

Baca juga:

Dia menjelaskan bahwa putusan MK yang bersifat final dan mengikat ini menegaskan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam kompetisi pemilihan kepala daerah. Selain itu, keputusan ini membuka peluang bagi calon kepala daerah alternatif untuk bersaing secara efektif dalam melawan koalisi yang dominan.

Di samping itu, Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 tanggal 20 Agustus 2024 juga menegaskan bahwa syarat usia pencalonan kepala daerah harus dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh KPU, bukan sejak pelantikan calon terpilih.

"Putusan ini mencerminkan semangat penguatan demokrasi lokal di tengah upaya pelanggengan politik dinasti saat ini," ujarnya.

Lebih dari itu, hasil revisi UU Pilkada kontraproduktif dengan upaya menjadikan pilkada sebagai sistem yang melahirkan kepala-kepala daerah yang berkapasitas dan berintegritas.

Menurutnya, kapasitas dan integritas kepala daerah merupakan variabel yang sangat menentukan tata kelola pemerintahan daerah yang baik.

Artinya, selain mengganggu sistem pemilihan kepala daerah yang berlandaskan Luber dan Jurdil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil), revisi UU Pilkada yang serampangan ini berpotensi merusak integritas dan efektivitas pemerintahan daerah, serta mengancam upaya mencapai ultimate goal otonomi daerah, yakni kesejahteraan masyarakat.

Lebih jauh, KPPOD menyatakan empat sikap. Pertama, mendukung penuh pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 20 Agustus 2024.

”Lalu, menolak revisi UU Pilkada yang dapat merusak integritas dan keadilan dalam proses pemilihan kepala daerah di Indonesia,” kata Herman.

Kedua, meminta Pemerintah dan DPR mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024.

Ketiga, meminta KPU untuk menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang dibacakan MK pada 20 Agustus 2024.

Keempat, meminta Pemerintah dan DPR untuk merancang Undang-Undang dengan pertimbangan hukum yang tepat, tidak ugal-ugalan dan sesuai dengan prosedur hukum, serta melibatkan masyarakat melalui partisipasi yang bermakna (meaningful participation).

Sementara, Ketua The Constitutional Democracy Initiative (Consid) Kholil Pasaribu mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera merevisi Peraturan KPU atau PKPU Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Kepala Daerah mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

"KPU harus bisa menahan diri untuk tidak masuk dalam tarikan kepentingan politik penguasa," kata Kholil dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (21/8).

"Tunjukkan bahwa lembaga ini layak dipercaya dengan bekerja profesional, penuh integritas dan tidak bisa didikte oleh kepentingan politik apa pun,” lanjutnya.

Kholil mengungkapkan bahwa putusan MK tentang UU Pilkada menjadi angin segar bagi masyarakat di tengah kegerahan perilaku elite partai politik.

Menurut dia, putusan MK ini bisa bermakna dan dinikmati manfaatnya apabila partai politik berani menyikapi putusan tersebut. "Bukan sebaliknya, berusaha mengakali dan mengamputasinya lewat Baleg DPR RI," pungkas Kholik.

Tags:

Berita Terkait