KPK Temukan Praktik 'Bagi Hasil' Eksplorasi Migas untuk Pemda
Aktual

KPK Temukan Praktik 'Bagi Hasil' Eksplorasi Migas untuk Pemda

ANT
Bacaan 2 Menit
KPK Temukan Praktik 'Bagi Hasil' Eksplorasi Migas untuk Pemda
Hukumonline
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengindikasikan bahwa para kepala daerah mendapatkan jatah dari eksplorasi minyak dan gas alam yang berada di daerah kekuasaannya. Temuan ini muncul setelah KPK mendalami kasus Bupati Bangkalan, Fuad Amin.

"Begitu kami dapatkan 'case' Bangkalan itu kemudian kita melakukan kordinasi. Dalam kordinasi itu kemudian kita temukan satu informasi bahwa ternyata di semua daerah yang ada eksplorasinya maka istilahnya ada 'bagi hasil' ya, semacam jatah pemda (pemerintah daerah) yang diberikan anak perusahaan yang melakukan eksplorasi itu," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dalam konferensi pers akhir tahun KPK di Jakarta, Senin.

Persoalannya, bagi hasil tersebut diatur dalam ketentuan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Oleh karenanya, kata Bambang, KPK mendesak agar aturan tentang jatah bagi hasil untuk pemda ini dikaji ulang.

"Tidak di situ saja. Di semua (temuan) ada ketentuan yang mengatur mengenai itu yaitu ketentuan SKK Migas. Kami minta supaya itu di-review lagi karena semua bisa jadi potensi yang mempunyai atau sedang dieksplorasi sumber daya alamnya," ungkapnya.

Menurut Bambang, setidaknya ada empat pihak yang harus diperiksa dalam praktik dugaan korupsi menyangkut sektor migas. Empat pihak itu adalah yang melakukan ekspolrasi, yang mendapat jatah alokasi dari eksplorasi itu, BUMD yang terlibat, dan korporasi yang terlibat.

Lebih lanjut, Bambang mengatakan KPK sudah menyelesaikan kajian mengenai migas dan menemukan 13 titik kelemahan. Hakil kajian itu sudah disampaikan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, SKK Migas dan tim reformasi tata kelola minyak dan gas yang baru dibentuk pada November 2014 lalu.

"Titik lemah pertama ketika lifting (produksi minyak mentah) diambil, jumlah yang diambil dan harus dilaporkan ke negara itu belum pakai alat canggih sehingga bisa ada 'gap' (jarak). Kedua, minyak itu dibawa ke kapal menuju titik yang akan diserahterimakan juga bisa menjadi masalah karena jumlah tonasenya tidak jelas, yang diambil berapa yang diserahkan berapa?" paparnya.
Tags: