KPK Tangkap Ketua dan Wakil Ketua PN Medan
Berita

KPK Tangkap Ketua dan Wakil Ketua PN Medan

Tiga dari empat hakim yang dibawa KPK merupakan majelis dalam kasus korupsi terkait penjualan tanah negara berupa HGU milik PT Perkebunan Nusantara II kepada pihak swasta.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Ketua KPK Agus Rahardjo (tengah). Foto: RES
Ketua KPK Agus Rahardjo (tengah). Foto: RES

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membenarkan adanya kegiatan penindakan yang dilakukan terhadap oknum aparatur peradilan di wilayah Kota Medan, Sumatera Utara yang diduga menerima suap dalam penanganan kasus korupsi. Setidaknya ada 8 orang yang diamankan dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan di wilayah itu.

 

"Dari 8 orang tersebut, ada yang menjabat sebagai Hakim, Panitera, dan pihak lain. Diduga telah terjadi transaksi terkait penanganan perkara korupsi di PN Medan," kata Ketua KPK Agus Rahardjo melalui pesan singkatnya kepada wartawan, Selasa (28/8/2018).

 

Dalam penangkapan ini, diamankan uang dalam bentuk dollar Singapura. Informasi yang diperoleh Hukumonline, komitmen awal suap ini hampir mencapai Rp5 miliar.

 

"Sejauh ini, baru ini informasi yang dapat kami sampaikan. Tim sedang bekerja untuk melakukan verifikasi sejumlah informasi dari masyarakat yang kami terima. Nanti jika ada perkembangan akan di-update kembali termasuk berapa orang yang akan dibawa ke kantor KPK di Jakarta," jelas Agus.

 

Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Suhadi membenarkan adanya penangkapan ini. Menurut Suhadi pihaknya mendapat informasi ada oknum hakim yang dijemput oleh tim KPK dan dibawa ke Kejaksaan Tinggi Medan, Sumatera Utara.

 

"Katanya ketua majelis, yang juga (menjabat) Wakil Ketua Pengadilan Negeri Medan. Ada lagi dua orang hakim satu ad hoc, satu hakim karir, anggota ya," terangnya.

 

Total ada 3 orang hakim yang diamankan yaitu Wakil Ketua PN Medan Wahyu Prasetyo Wibowo, Sontan Merauke Sinaga dan satu hakim ad hoc Merry Purba. Namun Suhadi langsung mengklarifikasi Ketua PN Medan Marsudin Nainggolan juga ikut diamankan KPK. Dan informasi yang diperolehnya, dua orang panitera Oloan Sirait dan Panitera Helpandi ikut pula dijemput tim KPK.

 

Suhadi sendiri belum mempunyai dan mendapat informasi terkait perkara apa atas penangkapan ini. "Katanya ada take and gift uangnya (suap)," katanya.

 

Kasus penjualan tanah

Informasi yang diperoleh Hukumonline suap ini berkaitan dengan persidangan kasus korupsi rekayasa kepemilikan tanah yang merugikan keuangan negara sebesar Rp132,468 miliar dengan terdakwa Tamin Sukardi. Duduk sebagai majelis hakim yaitu Wahyu Prasetyo Wibowo (ketua), dan dua anggotanya yaitu Sontan Merauke Sinaga dan satu hakim ad hoc Merry Purba.

 

Dilansir dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) pn-medankota.go.id, Tamin Sukardi selaku terdakwa bersama-sama dengan Tasman Aminoto, Sudarsono, dan Misran Sasmita menguasai tanah bekas HGU PT Perkebunan Nusantara II yang terletak di Desa Helvetia seluas 106 hektar. Buktinya, dengan menggunakan 65 lembar Surat Keterangan Tentang Pembagian dan Penerimaan Sawah/Ladang (SKTPPSL) yang diterbitkan pada tanggal 20 Januari 1954 dan ditandatangani oleh Bupati Deli Serdang atas nama Moenar S. Hamidjojo.

 

Namun kenyataannya, Bupati Deli Serdang pada periode tahun 1954 adalah Wan Oemaroeddin Barus (menjabat pada periode 1951 s.d. 1958). Dengan demikian, bukti atau alas hak berupay 65 lembar SKTPPSL yang dijadikan dasar gugatan diragukan keabsahannya.

 

Tamin Sukardi melalui Tasman Aminoto, Sudarsono dan Misra Sasmita telah mengkoordinir dan mengarahkan 65 orang untuk mengaku sebagai ahli waris dari nama yang tertera dalam SKPPTSL tahun 1954 tersebut. Lalu, dijanjikan akan mendapatkan tanah masing-masing seluas 2 hektar dengan menyerahkan KTP.

 

Padahal nama yang tertera dalam 65 lembar SKPPTSL tersebut bukanlah nama orang tua dari 65 warga tersebut (warga hanya disuruh mengakui saja). Pada kenyataannya, para warga ataupun orang tua warga tersebut sama sekali tidak pernah memiliki tanah di lokasi tersebut. Kemudian para warga tersebut juga dikoordinir untuk datang ke Notaris dan menandatangani dokumen-dokumen yang berkaitan dengan tanah-tanah tersebut.

 

Kemudian, Tamin mendirikan PT Erni Putera Terari untuk melakukan usaha travel dan pembelian tanah masyarakat di Desa Helvetia Pasar IV dengan luas 106 hektar. Dan Mustika Akbar oleh terdakwa Tamin diangkat sebagai direktur di perusahaan tersebut. Faktanya, Mustika tak pernah memutuskan/menentukan harga-harga ganti rugi atas tanah mulai dari masyarakat di Desa Helvetia sampai pelepasan hak atas tanah kepada PT Agung Cemara Realty.

 

Mustika juga tidak mengetahui bagaimana proses negosiasi hingga pembayaran tanah tersebut kepada masyarakat. Sebab, yang melakukan semua kegiatan yang berkaitan dengan pelepasan hak-hak atas tanah milik masyarakat, mulai dari proses penentuan objek tanah hingga penentuan negosiasi harga adalah Tamin Sukardi

 

Perbuatan tersebut telah memperkaya diri Tamin Sukardi sebesar Rp132.468.197.742,- (lebih dari Rp132 miliar) atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut yang merupakan sebagian pembayaran dari hasil pelepasan tanah seluas 74 hektar yang telah diterima olehnya dari Mujianto selaku Direktur PT Agung Cemara Realty.

 

Pada saat tanah seluas 74 Hektar tersebut dilepaskan dengan ganti rugi kepada Mujianto, tanah tersebut masih tercatat sebagai aset PT Perkebunan Nusantara II (Persero) pada aktiva tetap karena belum ada penghapusbukuan dan tidak ada persetujuan dari Menteri Negara BUMN.  

 

Prihatin

Terpisah, Juru Bicara KY Farid Wajdi sangat menyayangkan dan prihatin atas tertangkapnya kembali sejumlah oknum hakim di PN Medan. Padahal, sekitar 3 tahun lalu, KY pernah memperingatkan pentingnya aspek integritas. Namun, hal ini belum sepenuhnya didengar dan berujung OTT di lingkungan PTUN yang melibatkan pengacara OC Kaligis.

 

“Hari ini, kembali terulang peristiwa yang mencoreng sekaligus tamparan bagi dunia peradilan. Kita berharap jangan sampai ulah beberapa oknum tersebut jadi stigma negatif terhadap upaya perbaikan dunia peradilan,” kata Farid dalam keterangannya di Jakarta.    

 

Farid mengatakan meskipun upaya pencegahan sudah dilakukan KY dan OTT ini dilakukan dilakukan pimpinan pengadilan, KY akan terus melakukan sinergitas dengan lembaga terkait dalam upaya memperbaiki integritas pengadilan. “Sebagai profesi mulia, hakim harus sadar dan senantiasa terus menjaga kewibawaan profesi. Namun, terpenting korps hakim tidak terletak pada profesi, tetapi nilai. Mari sama-sama menjauhi korupsi untuk mengembalikan kepercayaan publik demi terwujudnya peradilan bersih dan agung,” ajaknya.         

Tags:

Berita Terkait