KPK Tahan Dokter RS Medika Bimanesh Sutarjo
Berita

KPK Tahan Dokter RS Medika Bimanesh Sutarjo

KPK masih mempertimbangkan pengajuan status Justice Collaborator (JC) Setya Novanto dalam kasus korupsi e-KTP ini.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Jubir KPK Febri Diansyah. Foto: RES
Jubir KPK Febri Diansyah. Foto: RES

KPK resmi menahan dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau Bimanesh Sutarjo, tersangka tindak pidana dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan dugaan tindak pidana korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP) atas nama tersangka Setya Novanto.

 

"Ditahan di Rutan KPK Cabang Pomdam Jaya Guntur untuk 20 hari pertama," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (12/1/2017) seperti dikutip Antara. Baca Juga: Selain KPK, Komwas Peradi Pun Bahas Dugaan Ijazah Palsu Fredrich Yunadi

 

Bimanesh yang menjalani pemeriksaan hampir 13 jam itu memilih bungkam saat ke luar dari gedung KPK. Bimanesh yang telah mengenakan rompi oranye khas tahanan KPK tidak menggubris pertanyaan awak media dan langsung mobil tahanan KPK yang telah menunggunya.

Bimanesh merupakan dokter spesialis penyakit dalam, konsultan ginjal, dan hipertensi di RS Medika Permata Hijau bersama advokat Setya Novanto, Fredrich Yunadi telah ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus tersebut pada Rabu (10/1) kemarin.  

 

Sedianya, KPK memanggil Fredrich yang juga mantan kuasa hukum Novanto untuk diperiksa sebagai tersangka pada Jumat (12/1). Namun, Fredrich melalui kuasa hukumnya, Sapriyanto Refa meminta KPK agar menunda pemeriksaan sampai adanya pemeriksaan dan keputusan Komisi Pengawas Peradi.

 

Fredrich dan Bimanesh diduga bekerja sama memalsukan tersangka Setya Novanto ke rumah sakit untuk dilakukan rawat inap dengan data-data medis yang diduga dimanipulasi sedemikian rupa untuk menghindari panggilan dan pemeriksaan oleh penyidik KPK.

 

Atas perbuatan tersebut, Fredrich dan Bimanesh disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang terdakwa dalam perkara korupsi dapat dipidana maksimal 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.

 

Masih mempertimbangkan

Sementara di kasus Setya Novanto sendiri, KPK masih mempertimbangkan pengajuan status Justice Collaborator (JC) dalam kasus korupsi e-KTP ini. JC sendiri merupakan pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum ke KPK.

 

"Masih dalam proses pertimbangan karena mengabulkan atau tidak posisi JC tidak bisa dilakukan secara cepat. Butuh pertimbangan yang cukup panjang," tutur Febri.

 

Selain itu, kata dia, KPK akan melihat konsistensinya Setya Novanto dalam persidangan perkara e-KTP, apakah yang bersangkutan cukup kooperatif dan mengakui perbuatannya.

"Kalau masih berbelit-belit dan tidak mengakui perbuatan tentu saja itu akan menjadi faktor tidak dikabulkannya JC, karena itu kami butuh waktu. Kami lihat perkembangan proses penyidikan dan proses persidangan yang sedang berjalan ini sampai dengan tahap akhir nanti," tuturnya.

 

Menurut dia, posisi Novanto yang mengajukan JC akan sangat berkonsekuensi nantinya terhadap tuntutan, putusan, atau hal-hal setelah nantinya menjadi terpidana.

 

"Itu perlu kami pertimbangkan lebih lanjut. Terutama kami juga akan melihat siapa saja aktor lain yang akan dibuka oleh Setya Novanto terkait e-KTP atau kasus yang lain," katanya.

 

Untuk diketahui, Novanto didakwa mendapat keuntungan 7,3 juta dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS dari proyek eKTP. Novanto didakwa pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar. (ANT)

Tags:

Berita Terkait