KPK Soroti Risiko Korupsi Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan
Terbaru

KPK Soroti Risiko Korupsi Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan

Sektor pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) dalam beberapa kasus menimbulkan banyak persoalan.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron. Foto: RES
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron. Foto: RES

Sektor pertambangan mineral bukan logam dan batuan memiliki perputaran nominal uang yang tinggi sehingga menjadikan sektor ini digeluti berbagai pihak. Sehingga, tata kelola pertambangan yang mengakomodir seluruh pihak mulai dari masyarakat, pembangunan, pengusaha, dan pemerintah daerah perlu tercipta agar dan tidak menimbulkan masalah termasuk korupsi. 

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menjelaskan sektor pertambanganMineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) dalam beberapa kasus menimbulkan banyak persoalan. "Faktor politik yang memungkinkan pemangku kepentingan terus berganti setiap periode membuat kebijakan yang terus berubah," ungkapnya Senin (28/11).

Peralihan perizinan dari Kabupaten/Kota, kemudian beralih ke provinsi, lalu ditarik ke pusat, dan kini dikembalikan ke provinsi lagi menjadi faktor penting yang harus diperhatikan. Kondisi ini, dari sisi produk hukum tentu sudah melahirkan pelbagai perizinan pertambangan baik yang sudah berlaku, sudah mati, atau harus diperpanjang.

Baca Juga:

“Alhasil itu semua menimbulkan banyak hal yang perlu dirapihkan termasuk di dalamnya, misalnya soal pungutan. Bicara pungutan tentu dalam aspek hukum, pemungut atau pungutan dari negara kepada rakyat tentu harus ada legalitas,” kata Ghufron.

Ghufron menyampaikan ada tiga aspek legalitas yang perlu diperhatikan. Pertama, harus ada dasar hukum atau legalitas formil bagi badan yang mendapatkan mandat untuk melaksanakan pungutan. Kedua, aspek besaran nilai pungutan, hal ini menjadi penting dan untuk meminimalisir anggapan ketidakadilan antar pihak.

Ketiga, aspek untuk apa pungutan itu dilakukan. Selama ini, asumsi pemerintah dan daerah dalam hal penarikan pungutan seakan-akan hanya untuk mendapatkan kas daerah. Padahal dalam perpektif melindungi, pungutan juga harus digunakan untuk kepentingan lingkungan.

“Hal yang sering terjadi, prioritas peruntukan uang pungutan tersebut tidak untuk melakukan pemulihan lingkungan, merawat, dan melestarikannya karena tidak masuk dalam penganggaran,” ujarnya.

Di sisi lain, rantai bisnis pertambangan dimulai dari proses penambangan, penampungan (stockpile), distributor, dan pengguna. Pada rangkaian tersebut akan menimbulkan rantai bisnis yang tentunya harus memiliki legalitas. Sayangnya, hal itu belum berjalan karena dalam beberapa kasus yang ditemukan legalitas dari rantai bisnis tersebut masih setengah-setengah.

“Kadang ada yang legal di titik penambangan tapi di titik stockpile dicampur dari sumber tidak legal. Ini perlu ditata dimana legalitas penampungan harus ada, legalitas stockpile harus ada. Kemudian rantai transportasi lebih lanjut perlu ditata,” ujar Ghufron.

Baginya, dengan tata kelola yang baik, maka akan memberikan kepastian hukum bagi pengusaha dan Pemda dalam melakukan kontrol pada aspek lingkungan. Di sisi lain, Pemda juga akan mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang lebih akuntabel.

Jika tidak dilakukan penataan, maka Ghufron memprediksi akan mengakibatkan dua hal. Dari sisi lingkungan tentu akan rusak dan Pemda tidak mampu mengontrol karena banyak pertambangan illegal yang beroperasi. Kedua, akan menilbulkan masalah moral hazard seperti para penambang illegal yang akan memberikan suap kepada aparatur negara agar bisnisnya berjalan.

“KPK fokus kepada bagaimana agar potensi daerah yang berupa mineral bukan logam dan batuan memberikan manfaat dan tidak menimbulkan musibah atau bencana. Kami berharap penataan pertambangan ini kemudian mengedepankan dan menghasilkan dua hal yaitu PAD akuntabel dan lingkungannya dilindungi,” jelasnya.

Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memberikan apresiasi kepada Kedeputian Bidang Koordinasi dan Supervisi KPK yang menyelenggarakan seminar perbaikan tata kelola pertambangan untuk daerah Jateng dan DIY. Ganjar berharap para kepala daerah baik Bupati dan Walikota dapat jujur tentang kendala yang selama ini terjadi.

Menurutnya, persoalan pertambangan ilegal di lapangan memang sudah masuk ke dalam tahap mengkhawatirkan. Sehingga diperlukan kerja sama dari seluruh pihak baik Pemda, Pemerintah Pusat, dan Aparat Penegak Hukum, untuk membentuk sebuah tata kelola yang dapat memberikan kepastian hukum bagi seluruh pihak.

Hingga 18 Agustus 2022, untuk wilayah Jawa Tengah terdapat 447 dokumen permohonan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan sebanyak 85 dokumen belum selesai dievaluasi. Juga, terdapat 300 dokumen permohonan perizinan yang belum selesai dievaluasi, 5 dokumen menunggu diterbitkan, dan 656 dokumen tanggapan atau persetujuan teknis di tahun 2022.

“Maka sebenarnya di kesempatan kali ini saya usul konkret saja. Kita kasih nomor telepon untuk (masyarakat) melaporkan setelahnya kita gerebek bareng. Kita kasih batas waktu dan jika hingga sampai batas waktu tidak ada perbaikan maka kita (lakukan) penegakan hukum,” kata Ganjar.

Di sisi lain, dalam menindak pertambangan ilegal maka tidak serta merta menggunakan cara kekerasan dan perlu dicarikan jalan keluar. Sebelum menutup tambang ilegal, Ganjar berujar harus disiapkan terlebih dahulu transisi, transformasi, dan edukasinya kepada masyarakat.

Jika hal itu berjalan, Ganjar meyakini desa yang dieksploitasi sumber daya alamnya akan maju karena dia akan mendapatkan kick back berupa legal dari pemerintah. “Ini duit gede, ini cerita uang besar sekali. Kalau kita tidak bisa menyelesaikan yang rugi adalah rakyat,” ungkapnya.

Tags:

Berita Terkait