KPK Hormati Putusan MA Soal Mantan Koruptor Diperbolehkan Nyaleg
Berita

KPK Hormati Putusan MA Soal Mantan Koruptor Diperbolehkan Nyaleg

Meski menghormati putusan MA, KPK menyayangkan mantan narapidana korupsi diperbolehkan maju sebagai calon anggota legislatif.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Jubir KPK Febri Diansyah. Foto: RES
Jubir KPK Febri Diansyah. Foto: RES

Mahkamah Agung (MA) akhirnya memutuskan bahwa mantan narapidana korupsi dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dalam pemilihan umum. Keputusan tersebut ditentukan setelah MA mengabulkan gugatan yang terdiri dari 12 pemohon terhadap Peraturan KPU No.20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/Kota dan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah dengan nomor perkara 45 P/HUM/2018 yang dimohonkan Wa Ode Nurhayati dan KPU sebagai termohon.

 

MA membatalkan sejumlah pasal dalam peraturan-peraturan tersebut yaitu Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 huruf g Peraturan KPU No.20 Tahun 2018 dan Pasal 60 huruf j Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD terkait larangan mantan narapidana, kasus korupsi, bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak menjadi bakal calon anggota legislatif dalam Pemilu 2019.

 

Dengan dibatalkannya sejumlah pasal tersebut maka mantan narapida korupsi dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif kembali. Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah, menyatakan menghormati putusan MA. Menurutnya, sebagai penegak hukum, KPK harus menerima keputusan institusi peradilan.

 

“Untuk putusan MA lengkapnya belum kami baca, tapi ada beberapa pemberitaan yang menulis itu dan pernyataan resmi dari MA. Ya, tentu KPK sebagai institusi penegak hukum mau tak mau harus menghormati institusi peradilan,” kata Febri saat dikonfirmasi hukumonline, Jumat (14/9) malam.

 

Namun, Febri menyayangkan keputusan MA tersebut yang dinilai masih memberi kesempatan bagi mantan narapidana kembali mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Padahal, dengan peraturan KPU sebelumnya yang melarang mantan narapidana korupsi maju sebagai caleg dapat memperbaiki kualitas caleg dalam pemilu.

 

“Meskipun di awal KPK sangat berharap adanya perbaikan sangat signifikan yang bisa dilakukan bersama-sama untuk menyaring caleg agar tidak terjadi lagi korupsi di DPR atau DPRD. Di mana untuk kasus yang diproses KPK untuk DPRD saja ada 1146 anggota dan kemungkinan akan bertambah sepanjang ada bukti yang cukup. Dan juga ada lebih dari 70 anggota DPR. Dengan fenomena ini, harapannya parlemen bisa lebih bersih sehingga bisa disaring sejak awal,” kata Febri.

 

(Baca juga: MA Putuskan Mantan Narapidana Korupsi Boleh Nyaleg)

 

Sebelumnya, Anggota Komisi II Achmad Baidowi mengaku sudah mengingatkan KPU agar tidak membuat aturan yang bertentangan dengan UU di atasnya, khususunya Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 tentang Pemilu. Menurutnya, setelah ada putusan Mahkamah Agung ini maka KPU tak boleh lagi mangkir dengan membolehkan mantan narapidana maju dalam pencalegan.

 

Sebagai penyelenggara Pemilu, kata Achmad, KPU mesti tunduk dan patuh terhadap UU, termasuk membolehkan mantan narapidana maju dalam pencalegan dengan syarat sebagaimana tertuang dalam UU Pemilu. Terlebih, beberapa putusan Bawaslu yang mengabulkan permohonan para pemohon maju dalam pencalegan.

 

“KPU jangan lagi bermain-main di wilayah area abu-abu dan berdalih bahwa mereka sudah mundur atau masa sudah lewat. Di komisi II itu yang kami ingatkan kepada KPU, tapi ternyata mereka ngeyel dan agak genit bahkan putusan Bawaslu yang wajib dilaksanakan menurut UU juga diabaikannya,” ujarnya.

 

Achmad berpandangan eksekusi terhadap putusan Mahkamah Agung mesti segera dilakukan. Selain merevisi Peraturan KPU 20/2018, KPU mesti segera memproses sejumlah nama yang bakal dicoret untuk kembali masuk dalam DCT. Sebaliknya bila menungu 90 hari, dengan kata lain sudah melewati masa DCT yang rencananya bakal diumumkan pada 20 September mendatang.

 

“Maka akan banyak yang jadi korban secara konstitusional. Sudah ada dua putusan yakni putusan Bawaslu dan putusan Mahkamah Agung. KPU harus merevisi Peraturan KPU karena mau bertahan pun percuma­. Toh ketentuan tesebut sudah dicabut oleh Mahkamah Agung. Ini perintah putusan lembaga hukum, bukan soal pencitraan,” katanya.

 

Seperti diketahui, Juru Bicara MA, Suhadi menyatakan peraturan KPU yang melarang mantan narapidana nyaleg bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal tersebut menyebutkan “bakal calon DPR dan DPRD harus memenuhi persyaratan: tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”

 

Tidak hanya itu, Suhadi, menyatakan Peraturan KPU tersebut, bertentangan dengan Putusan MK, yang telah memperbolehkan mantan narapidana menjadi calon anggota legislatif, sepanjang yang bersangkutan mengumumkan kepada publik bahwa dirinya merupakan mantan terpidana.

 

“Karena itu, Peraturan KPU dibatalkan. Namun, salinan putusan belum dapat diunggah di Direktorat Putusan MA karena masih dalam tahap minutasi,” katanya saat dikonfirmasi hukumonline.

 

Permohonan uji materi Peraturan KPU ini diajukan sekitar 12 pemohon. Diantaranya dimohonkan oleh Muhammad Taufik, Djekmon Ambisi, Wa Ode Nurhayati, Jumanto, Masyhur Masie Abunawas, Abdulgani AUP, Usman Effendi, dan Ririn Rosiana. Mereka memohon pengujian Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 huruf g Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 dan Pasal 60 huruf j Peraturan KPU No. 26 Tahun 2018 yang dinilai bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu.

 

Salah satu pemohon Wa Ode Nurhayati, yang merupakan mantan terpidana kasus suap dana penyesuaian infrastruktur daerah, melalui kuasa hukumnya Herdiyan berdalih Peraturan KPU tersebut dianggap bertentangan dengan UU HAM, UU Pemberantasan Tipikor dan UU Pemilu. "Bahwa hak dipilih dan memilih adalah hak yang dijamin oleh UUD 1945 dan tidak bisa dibatasi hanya melalui Peraturan KPU,” kata Herdiyan beberapa waktu lalu.

 

Tags:

Berita Terkait