KPK Harap MKH Aktif Koordinasikan Dugaan Suap Hakim Tinggi Pekanbaru
Utama

KPK Harap MKH Aktif Koordinasikan Dugaan Suap Hakim Tinggi Pekanbaru

MKH dan KY belum berencana berkoordinasi dengan KPK.

NOVRIEZA RAHMI
Bacaan 2 Menit
Sidang MKH di Mahkamah Agung. Foto: RES (Ilustrasi)
Sidang MKH di Mahkamah Agung. Foto: RES (Ilustrasi)
Majelis Kehormatan Hakim (MKH) telah menjatuhkan sanksi berat berupa pemberhentian dengan hormat terhadap Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Pekanbaru, Pangeran Napitupulu. Bekas hakim PT Jambi ini dianggap terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) karena menerima suap dari pihak berperkara.

Selain menerima suap, Pangeran dianggap terbukti menjadi perantara. Putusan ini diketok pada Selasa, 28 Februari 2017 oleh MKH yang diketuai Komisioner Komisi Yudisial (KY) Maradaman Harahap didampingi Joko Sasmito, Farid Wajdi, Sumartoyo dari KY, serta tiga hakim agung, Margono, Sofyan Sitompul, Andi Samsan Nganro.

Mengingat pelanggaran yang diduga dilakukan Pangeran, boleh jadi bukan sekadar pelanggaran etik, melainkan bisa masuk ke ranah pidana korupsi. Sebab, perbuatan suap juga diatur UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No. 20 Tahun 2001 (UU Tipikor).

Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan, pihaknya akan mempelajari informasi tersebut. “Kami berharap KY atau pihak Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) juga aktif berkoordinasi dengan penegak hukum,” katanya di KPK, Kamis (2/3). Baca Juga: Terbukti Terima Suap 1 Miliar, MKH Pecat Hakim Ini

Tentu, menurut Febri, penegak hukum di sini bukan hanya KPK, tetapi bisa Kepolisian dan Kejaksaan jika memang terdapat indikasi tindak pidana korupsi. Hal ini merupakan salah satu bagian penting, selain penindakan, juga pencegahan untuk menghubungkan pengawasan internal dan eksternal hakim dengan proses hukum.

Febri mengaku, dugaan suap memang bukan merupakan delik aduan. KPK bisa saja “jemput bola” untuk menindaklanjuti dugaan suap tersebut. Namun, karena MKH memiliki lebih banyak informasi mengenai dugaan suap tersebut, ia tetap berharap adanya upaya aktif dari MKH untuk berkoordinasi dengan penegak hukum.

Meski begitu, kata dia, dugaan pelanggaran etik tidak lantas langsung dapat dianggap sebagai dugaan pelanggaran pidana. Pasalnya, proses pencarian bukti-bukti dan informasi dalam kasus korupsi berbeda dengan pelanggaran etik. Informasi yang dibutuhkan pun targetnya berbeda dengan kebutuhan pembuktian etik.

“Misalnya dalam kasus PAK (Patrialis Akbar). Secara etik sebenarnya sudah terbukti menurut Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK), tetapi untuk proses pidananya kami masih harus dalami lebih lanjut. Apalagi, pembuktian suap itu tidak mudah kalau tidak dilakukan operasi tangkap tangan (OTT),” ujarnya.

Meski tertangkap tangan sekalipun, sambung Febri, KPK masih harus melakukan pemeriksaan saksi, penggeledahan, serta mengumpulkan bukti-bukti lain. “Jadi, jauh lebih rumit membuktikan pidana suapnya dibanding kebutuhan pemeriksaan etik. Tapi tentu kami tidak menutup kemungkinan (menindaklanjuti putusan MKH),” imbuhnya.

Terpisah, Juru Bicara KY Fardi Wajdi mengatakan, hingga kini, belum ada wacana dari MKH maupun KY untuk berkoordinasi dengan KPK terkait putusan etik Pangeran. Hal ini dikarenakan fokus MKH dan KY bukan pada pelanggaran pidana, melainkan pelanggaran etika yang dilakukan Pangeran.
Kendati demikian, Farid tidak menutup kemungkinan jika KPK ingin “jemput bola” terkait dugaan suap Pangeran. “Dimungkinkan dilakukan, apalagi KY-KPK memiliki semangat yang sama. Untuk bidang lain, khususnya bidang pencegahan, kerja sama senantiasa terjalin dengan baik,” tuturnya kepada hukumonline, Jumat (3/3).

Pangeran dilaporkan ke KY oleh Haika Siregar karena diduga menerima suap dari Horas Sirait yang saat itu tersangkut kasus pembunuhan bersama Liber Sirait. Pangeran yang ketika itu menjabat sebagai hakim PT Jambi diduga melakukan pelanggaran etik saat bertugas sebagai Ketua Pengadilan Negeri (PN) Buntok, Kalimantan Selatan.

Pangeran diduga menerima uang sebesar Rp1 miliar dari pihak yang berperkara di PN Rantau Prapat, Sumatra Utara pada 2009 silam. Uang itu diduga untuk membantu pengurusan perkara pembunuhan yang menjerat Liber dan Horas. Liber Sirait merupakan suami Haika, sedangkan Horas merupakan suami dari adik istri Pangeran (ipar).

Sebagaimana keterangan saksi dalam sidang MKH, uang tersebut diberikan secara bertahap baik melalui transfer maupun secara langsung pada 2009. Alhasil, KY merekomendasikan agar Pangeran dijatuhi sanksi pemberhentian dengan tidak hormat. Menindaklanjuti rekomendasi KY, MA bersama KY membentuk MKH.

Sesuai Pasal 22F (1) UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang KY, MKH adalah forum pembelaan diri bagi hakim yang direkomendasikan penjatuhan sanksi berat berupa pemberhentian. MKH sendiri terdiri atas empat orang berasal dari anggota KY dan tiga orang hakim agung.

Atas rekomendasi pemberhentian itu, Pangeran merasa keberatan. Dalam pembelaannya, Pangeran membantah telah menerima uang Rp1 miliar. Ia menilai, laporan yang dilayangkan terhadapnya ke KY pada April 2014, dipicu konflik keluarga. Oleh karena itu, Pangeran melalui tim pembela dari IKAHI meminta MKH menolak rekomendasi KY.

Pangeran sendiri pernah tercatat sebagai hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada PN Jakarta Pusat. Salah satu kasus korupsi yang pernah ditangani Pangeran adalah kasus korupsi mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan. Pangeran yang ketika itu menjadi ketua majelis hakim memvonis bebas Hotasi.
Tags:

Berita Terkait