KPK Diminta Selidiki Dugaan Keterlibatan Atasan Kalapas Sukamiskin
Berita

KPK Diminta Selidiki Dugaan Keterlibatan Atasan Kalapas Sukamiskin

KPK menilai pejabat Sekjen jauh lebih berkuasa ketimbang Dirjen Pemasyarakatan yang mengakibatkan rendahnya pengawasan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan ke lapas-lapas. Ditjen Pemasyarakatan mengevaluasi petugas Lapas seiring mudahnya barang-barang yang dilarang masuk ke sel tahanan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Narapidana: BAS
Ilustrasi Narapidana: BAS

Pasca penangkapan dan menetapkan Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Sukamiskin Bandung, Wahid Husein sebagai tersangka, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta mengembangkan penyidikan termasuk menyelidiki dugaan keterlibatan pejabat atasan Kalapas. Sebab, pemberian fasilitas dan izin bagi narapidana korupsi oleh Kalapas tidak tertutup kemungkinan sepengetahuan pejabat di atasnya.

 

Permintaan ini disampaikan anggota Komisi III DPR, Sarifudin Suding dalam rapat kerja  dengan KPK di Gedung DPR, Senin (23/7/2018). “Saya kira bukan Kalapas saja (yang berbuat), tapi ada dugaan keterlibatan pejabat di Kemenkumham,” tudingnya. Baca Juga: Belum Ada Efek Jera di Sukamiskin

 

Suding mengingatkan persoalan Lapas, mulai overkapasitas, adanya fasiitas mewah bagi napi, izin keluar lapas, hingga penggunaan telepon seluler sudah kali berulang disampaikan komisinya ke Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly. Menurutnya pemberian fasilitas bukan hanya diketahui Kalapas, pejabat di atas Kalapas mengetahuinya. Karena itu, dalam kasus ini, KPK mesti melakukan penyelidikan/penyidikan keterlibatan pejabat di atas Kalapas.

 

Karena pemberian fasilitas mewah di dalam Lapas itu sepengetahuan kementerian dan bukan rahasia umum. Jadi harus diselidiki lebih jauh. Jadi jangan hanya kalapasnya, terlalu kecil,” ujar politisi Hanura itu.

 

Anggota Komisi III DPR lain Anwar berpandangan KPK mesti melakukan pemeriksaan terhadap semua pihak termasuk para pejabat diatas Wahid Husein. Sepanjang terbukti melakukan dugaan tindak pidana suap ataupun memberi pengaruh, maka mesti dicopot dan ditindak secara hukum. “Jangankan hanya Kalapasnya, (kalau terbukti) sampai Dirjen dan Sekjennya harus dicopot,” kata dia.

 

Menurutnya, lebih berkuasanya Dirjen dibanding Sekjen ditengarai jadi penyebab kurangnya pengawasan Ditjen ke lapas-lapas. Karena itu, pemeriksaan terhadap berbagai pihak di atas Wahid mesti dilakukan. “Ada beberapa informasi, tapi yang terlibat seperti yang diungkapkan KPK, memang ini diduga sampai melibatkan atasan. Kalau tak melibatkan atasan gak mungkin,” duganya.

 

Aboe Bakar Alhabsyi juga menilai tertangkapnya Kalapas Sukamiskin merupakan fenomena gunung es. Pasalnya, pemberian fasilitas mewah dan izin keluar bagi narapidana tak hanya terjadi di Lapas Sukamiskin, tetapi terjadi di lapas-lapas lain. Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera itu meminta semua Kalapas di Indonesia mesti diinvestigasi. “Ini tidak saja terjadi di Sukamiskin, bohong kalau cuma di Sukamiskin. Semua tolong dicek semua Kalapas di Indonesia,” kata Aboe.

 

Menurut Aboe, keterangan Dirjen Pemasyarakatan menyikapi persoalan penangkapan Kalapas Sukamiskin hanyalah bersifat pembelaan. Karena itu, Kemenkumham mesti memperketat pengawasan terhadap pejabat Kalapas di seluruh Indonesia.

 

Anggota Komisi III lainnya, Jhon Kennedi Aziz meminta KPK agar tidak hanya berhenti memproses hukum Kalapas Sukamiskin. KPK seharusnya bisa membongkar mafia dugaan jual beli fasilitas mewah di lapas dan izin plesiran ke luar Lapas hingga pejabat di atas Kalapas Sukamiskin. Apapun hasilnya bisa menjadi bahan evaluasi pemerintah dalam hal ini Kemenkumham cq Ditjen Pemasyarakatan.

 

“Diharapkan, tidak ada lagi perbedaan terhadap penghuni Lapas dalam mendapatkan hak-haknya,” ujarnya.

 

Sekjen lebih berkuasa

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan ada berbagai sebab yang jadi celah bagi pejabat Lapas mendapatkan keuntungan dari para napi. Misalnya rendahnya pemanfaatan informasi dan teknologi, tidak efektifnya pengaduan masyarakat, jumlah petugas Lapas yang terbatas, hingga over kapasitas napi melebihi 100 persen. Selain itu rendahnya pengawasan Ditjen Pemasyarakatan jadi penyebab terjadinya korupsi di Lapas.

 

Menurutnya pihak yang memiliki ‘kekuasaan’ penuh di Direktorat Jenderal (Ditjen) Lapas adalah pejabat Sekretariat Jenderal (Sekjen). Menurutnya kekuasaan Sekjen yang melebihi pejabat Dirjen mengakibatkan rendahnya pengawasan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan ke lapas-lapas.

 

“Sebenarnya bukan Bu Dirjen Pemasyarakatan yang ‘berkuasa’, tapi Sekjen (Kemenkumham). Makanya Dirjen yang lama ini mengundurkan diri. Karena orang-orangnya diatur oleh Sekjennya. Tolong ini saja perlu diperhatikan,” pintanya.

 

Evaluasi petugas lapas

Terpisah, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM berencana mengevaluasi petugas Lapas seiring dengan mudahnya barang-barang yang dilarang masuk ke sel tahanan. "Petugas akan dievaluasi apakah perlu ke depannya dipindahkan diganti yang baru yang fresh dengan warna yang baru, nanti kita akan evaluasi semuanya," ujar Kabag Humas Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham, Ade Kumanto, kepada wartawan di Bandung, Senin (23/7) seperti dikutip Antara.

 

Ade mengatakan, Kemenkumham juga akan melakukan revitalisasi dengan meningkatkan status pengamanan di dalam Lapas. Tak hanya bagi para tahanan, termasuk petugas. Menurutnya, petugas yang kedapatan bertindak tidak sesuai kewenanganannya akan langsung diberikan sanksi oleh Kemenkumham. "Melakukan pengawasan ketat kepada petugas Lapas dan jajarannya. Kalau mereka melakukan penyimpangan mereka akan ditindak sesuai dengan peraturan yang berlaku," ucapnya.

 

Sementara untuk status pengamanan, Kemenkumham akan menetapkan beberapa Lapas dengan menggolongkan empat kategori level pengamanan. Pertama, "super maximum security" yang sedang dibangun di Lapas Nusakambangan. Kemudian "maximum security", di mana warga binaan ada di dalam pantauan yang maksimal, "medium security", dan "minimum security".

 

"Medium itu di mana warga binaan menjalani pelatihan. 'Minimum security', lapas tanpa tembok, itu pabrikasi di situ. Jadi seluruh warga binaan menghasilkan memproduksi," tuturnya.

 

Pengembangan status level pengamanan ini akan memaksimalkan Lapas yang ada di seluruh Indonesia. Namun untuk penetapannya, Dirjen Pemasyarakatan masih akan melakukan pembahasan. "Untuk ke depannya masih dalam tahap pembahasan dan sedang disusun instrumennya," kata dia.

 

Sebelumnya, pada Minggu malam hingga Senin dini hari kemarin, Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham, Sri Puguh Budi Utami, melakukan sidak di Lapas Sukamiskin Bandung. Dalam hasil sidak tersebut ditemukan barang-barang mulai dari uang, lemari pendingin, kompor, microwave, katel, panci, spatula, handphone, AC, televisi, serta barang lainnya. Barang-barang tersebut ditemukan tim dari 522 kamar.

 

Seperti diketahui, Jum’at-Sabtu (20-21/7) Kalapas Sukamiskisn Wahid Husein bersama lima orang lainnya, termasuk pihak swasta ditangkap KPK di lokasi berbeda.Diduga penangkapan ini terkait dugaan suap jual beli fasilitas mewah di dalam lapas dan pemberian izin ke luar Lapas Sukamiskin. Sejumlah barang bukti berupa uang ratusan juta, handphone, mobil, dan lainnya disita KPK.  

 

Setelah melakukan pemeriksaan dan gelar perkara dalam waktu 1x24 jam disimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi menerima hadlah atau janji oleh Penyelenggara Negara dengan maksud supaya penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya. Perbuatan ini bertentangan dengan kewajibannya terkalt dengan pemberian fasilitas, pemberian perizinan ataupun pemberian lain di LP Kelas 1 Sukamiskin.

 

Setelah itu, KPK meningkatkan status penanganan perkara ke tahap penyidikan dan menetapkan 4 orang tersangka. Dua orang sebagai penerima yaitu Wahid Husein dan Hendry Saputra. Ia dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1, jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

 

Sedangkan dua orang tersangka lainnya yaitu Fahmi Darmawansyah dan Andri Rahmat sebagai pihak pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Tags:

Berita Terkait