KPK Berwenang Tangani TPPU Sejak 2002
Berita

KPK Berwenang Tangani TPPU Sejak 2002

Sekalipun kewenangan menyidik baru dibolehkan dengan undang-undang 2010.

NOV
Bacaan 2 Menit
KPK Berwenang Tangani TPPU Sejak 2002
Hukumonline

Argumen pengacara terdakwa Irjen (Pol) Djoko Susilo bahwa KPK tak berwenang menyidik dan menuntut perkara pencucian uang sebelum diberlakukannya UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencaegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) ditolek majelis hakim.

Penolakan itu tertuang dalam putusan majelis hakim untuk terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (3/9). Dalam pertimbangannya untuk menguatkan penolakan itu, majelis merujuk pada sejumlah ketentuan.

Diuraikan anggota majelis hakim Ugo, majelis berpendapat, KPK berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan TPPU yang tindak pidana asalnya korupsi, sebelum maupun sesudah berlakunya UU No.8 Tahun 2010. Pendapat majelis itu merujuk pada ketentuan sejumlah pasal.

Pertama, Pasal 74 UU No.8 Tahun 2010 menjelaskan bahwa penyidikan TPPU dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedua, Pasal 75 memperkenankan penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan TPPU apabila menemukan bukti permulaan yang cukup.

Pasal 51 UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK menentukan bahwa penuntut umum pada KPK menjalankan fungsi penuntutan tindak pidana korupsi. Mencermati ketentuan-ketentuan itu, majelis hakim berpendapat, UU No.8 Tahun 2010 tidak secara tegas membatasi waktu penggabungan perkara yang dapat dilakukan penyidik.

Oleh karena penggabungan tidak secara tegas dibatasi oleh waktu terjadinya TPPU dan sampai kapan tindak pidana tersebut dilakukan, majelis berpendapat, hal ini menjadi ruang yang dapat dijadikan pintu masuk penyidik KPK untuk melakukan penyidikan TPPU. “Yakni perbuatan yang terjadi sebelum UU No.8 Tahun 2010 diberlakukan,” ujar Ugo.

Sama halnya dengan penuntutan TPPU oleh KPK. Menurut Ugo, hakikatnya, penggabungan penyidikan tindak pidana asal dan TPPU harus sinergi dengan penuntutan. Esensi dan urgensi penggabungan dilakukan untuk kelancaran pemeriksaan yang bersumber pada azas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya murah.

Selanjutnya, mengenai pendapat pengacara yang mempersoalkan penyidikan TPPU sebelum periode UU No.8 Tahun 2010 yang harus dibuktikan dulu tindak pidana asalnya, majelis juga tidak sependapat. Majelis menanggapi hal tersebut dengan menggunakan ketentuan Pasal 69 dan 95 UU No.8 Tahun 2010 sebagai rujukan.

Ugo menjelaskan, Pasal 69 UU No.8 Tahun 2010 mengatur, untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pesidangan terhadap TPPU tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Pasal 95 menyebutkan, tindak pidana yang dilakukan sebelum UU No.8 Tahun 2010, diputus dengan UU No.15 Tahun 2002 sebagaimana diubah UU No.25 Tahun 2003.

Tidak Sesuai Profil
Berdasarkan fakta hukum di persidangan, Djoko terbukti melakukan pencucian uang. Aset-aset Djoko dinilai majelis tidak sesuai penghasilan Djoko sebagai anggota Polri.

Ugo menguraikan, pada 27 Oktober 2010, Djoko membeli SPBU di Jl. Kapuk Raya No.36. seharga Rp11,5 miliar dengan menggunakan nama ayah kandung Dipta Anindita, Djoko Waskito. Kemudian, Februari 2011 dan Maret 2012, Djoko membeli tanah 50 dan 3.201 m2 di Jagakarsa dengan menggunakan nama Mahdiana.

Djoko kemudian membeli tiga bidang tanah di Patehan dengan menggunakan nama Mudjihardjo seharga Rp3 miliar dan tanah 246 m2 di Petogogan, Kebayoran Baru seharga Rp6,350 miliar. Djoko menggunakan nama Dipta, istri ketiganya untuk melakukan perikatan jual beli atas tanah itu melalui Erick Maliangkay.

Nama Dipta digunakan pula saat Djoko membeli tanah seluas 750 m2 di Semarang seharga Rp7,1 miliar, tanah 1.180 m2 di Jebres, Surakarta, dan tanah di Pesona Kayangan, Depok. Djoko lalu melakukan pembelian bus, minibus, dan mobil dengan menggunakan nama Karjono, Teuku Erry Rubihamsyah, dan Agus Haryadi.

Djoko menggunakan nama istri keduanya, Mahdiana untuk pembelian sejumlah aset pada periode 2003-2010, seperti pembelian tanah di Jagakarsa seharga Rp757,67 juta dan tanah di Pasar Minggu seharga Rp589,62 juta. Pada 2005, Djoko membeli SPBU di Jl. Arteri Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah seharga Rp1,7 miliar.

Pembelian SPBU di Jl.Raya Ciawi, Bogor seharga Rp10 miliar juga menggunakan nama kerabat istri pertamanya, nama Agus Margo Santoso. Selanjutnya, Djoko membeli kondotel di Swissbell Hotel, Segara, Nusa Dua, Bali seharga AS$60 ribu dengan mengunakan nama Sudiyono pada 19 Oktober 2008.

Selain itu, masih banyak pembelian aset berupa tanah dan properti yang dilakukan Djoko, termasuk tanah di Pesona Kayangan, Depok seharga Rp2,65 miliar dan tanah seharga Rp14,45 miliar di Cipete, Kebayoran Baru atas nama Dipta, serta beberapa bidang tanah di Leuwinanggung dengan total harga Rp134,92 juta.

Atas perbuatan tersebut, hakim anggota Anwar menyatakan, Djoko terbukti membelanjakan harta kekayaannya yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana korupsi. Djoko juga menggunakan nama orang lain dengan maksud menyembunyikan atau  menyamarkan asal usul harta kekayaan.

“Harta kekayaan milik terdakwa yang diperoleh dari tahun 2003-2010 hingga berjumlah Rp54,62 miliar dan AS$60 ribu adalah tidak sesuai dengan penghasilan terdakwa sebagai anggota Polri. Maka harta kekayaan terdakwa patut diduga merupakan hasil tindak pidana korupsi,” tuturnya.

Adapun saksi-saksi dan bukti surat terkait perolehan harta yang diajukan terdakwa di persidangan, menurut Anwar tidak cukup alasan secara hukum untuk dapat dipertimbangkan. Dengan demikian, terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 77 UU No.8 Tahun 2010 dan Pasal 35 UU No.15 Tahun 2002 sebagai diubah dengan UU No.25 Tahun 2003.

Tags: