KPK Beberkan Skema Pendanaan Parpol
Berita

KPK Beberkan Skema Pendanaan Parpol

Skema ini tidak menjamin politisi bebas korupsi.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memaparkan hasil kajian Skema Ideal Pendanaan Partai Politik kepada enam parpol pada Rabu (11/12) di Gedung Merah Putih, Jl. Kuningan Persada Jakarta. Kajian ini merupakan kerja sama antara KPK dan tim peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kajian pendanaan ini bertujuan untuk mencari skema ideal sebagai dasar (baseline) pemberian dana bantuan kepada parpol, memberikan rekomendasi kepada pemerintah tentang besaran dana bantuan kepada parpol dan persyaratan administratif serta tata kelola internal parpol yang harus dipenuhi. Tujuan akhirnya adalah rekomendasi skema besaran pendanaan partai ini dapat mengurangi korupsi politik.

KPK menganggap pendanaan negara kepada parpol sangat penting karena parpol merupakan salah satu institusi demokrasi yang strategis. Parpol memiliki fungsi, tugas dan tanggung jawab melakukan rekrutmen politik. Selain itu, KPK memandang demokrasi yang terkonsolidasi membutuhkan parpol yang solid dan sehat secara organisasi, demokratis secara internal, berintegritas dan terinstitusionalisasi. Pembiayaan parpol oleh negara secara signifikan diperlukan untuk mengambil alih kepemilikan sekaligus kepemimpinan parpol dari individu-individu pemilik uang.

KPK berharap ada perubahan pada parpol. "Harapannya, ke depan parpol benar-benar menjadi badan hukum publik yang dimiliki para anggota dan dipimpin secara demokratis oleh anggota sebagaimana semangat UU Partai Politik," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan.

(Baca juga: Pentingnya Reformasi Parpol untuk Benahi Sistem Demokrasi).

Estimasi kebutuhan anggaran yang dikumpulkan dalam kajian atas lima partai, yakni Golkar, PKB, PDIP, Gerindra dan PKS yang memiliki perolehan suara lebih dari 50 persen pada Pemilu 2019, diperoleh harga sebesar Rp16.922 per suara. Dari jumlah tersebut, bantuan pendanaan yang akan diberikan maksimal 50 persen kebutuhan anggaran agar parpol tetap memililki ruang untuk mengembangkan partainya. Skema bantuan dana ini akan diberikan dalam jangka waktu lima tahun secara bertahap.

Tahun pertama diberikan 30 persen, di tahun kedua 50 persen, tahun ketiga 70 persen, tahun keempat 80 persen hingga tahun kelima menjadi seratus persen dari 50 persen bantuan pendanaan negara kepada parpol. Bantuan pendanaan negara hanya untuk membiayai kebutuhan operasional parpol dan pendidikan politik, tidak termasuk dana kontestasi politik. "Dengan estimasi dan skema pendanaan tersebut maka untuk tahun pertama di tingkat pusat, negara perlu mengalokasikan dana Rp320 miliar dengan asumsi suara pemilih 126 juta pada pemilu 2019," pungkasnya.

Membandingkan dengan APBN 2019 sekitar Rp2.400 triliun, angka ini relatif kecil yakni 0,0046 persen. Hingga tahun kelima estimasi total bantuan pendanaan yang akan dialokasikan negara untuk parpol sebesar Rp3,9 triliun. Perhitungan ini lebih rendah dibandingkan dengan rekomendasi Bappenas yang didasarkan pada suara PDIP sebesar Rp48.000 per suara. Sehingga, negara perlu mengalokasikan dana sebesar Rp6 triliun.

Sedangkan, di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sesuai dengan PP No. 1 tahun 2018 bahwa pendanaan provinsi naik 20 persen dari pendanaan tingkat nasional dan kabupaten/kota naik 50 persen. Maka, di tahun pertama negara perlu mengalokasikan dana Rp928,7 miliar. Dengan skema peningkatan bertahap dan estimasi inflasi 5 persen, maka hingga tahun kelima untuk tingkat provinsi, kabupaten/kota negara perlu mengalokasikan dana total Rp11,2 triliun. Sehingga, total secara nasional pendanaan negara untuk keuangan parpol sebesar Rp15,1 triliun.

Namun demikian, bantuan pendanaan negara ini membutuhkan persyaratan. Sebagaimana telah disampaikan KPK dalam kajian terdahulu tentang Sistem Integritas Partai Politik (SIPP), maka parpol wajib menerapkan sistem tersebut.

Lima komponen utama dalam SIPP yang dimaksud meliputi kode etik, demokrasi internal parpol, kaderisasi, rekrutmen dan keuangan parpol. Pemerintah perlu melakukan evaluasi penggunaan pendanaan negara, salah satunya dengan menggunakan SIPP. Selain itu, untuk mendorong akuntabilitas pelaporan keuangan parpol, pendanaan negara kepada partai politik harus diaudit oleh BPK dan hasil auditnya diumumkan kepada publik secara berkala. "Sebab, membangun organisasi parpol yang bersih dan berintegritras ditentukan oleh salah satunya pengelolaan keuangan parpol secara baik," terangnya.

Untuk memperkaya kajian, tim juga melakukan studi terkait praktik yang sama di 20 negara. Hampir semua negara yang dijadikan pembelajaran menunjukkan peran negara yang memberikan dana bantuan kepada parpol. Yang membedakannya adalah besaran dan peruntukannya.

Besaran bantuan negara untuk parpol beragam mulai dari 23 persen hingga 90 persen. Seperti di Jepang dan Belanda bantuan pendanaan parpol oleh negara termasuk yang paling kecil sebesar masing-masing 23 persen dan 35 persen. Paling tinggi pendanaan negara untuk parpol sebagaimana praktik di Turki. Sementara di Malaysia negara tidak memberikan bantuan dana untuk parpol, tetapi mengizinkan parpol untuk berbisnis.

(Baca juga: Celah Hukum Ini Kerap Digunakan untuk Akali Dana Kampanye).

Sebelumnya, KPK pernah melakukan kajian tentang pendanaan negara untuk partai politik. Hasil kajian merekomendasikan penambahan pendanaan negara untuk parpol sebesar Rp1.000 dari sebelumnya Rp108 per suara. Dalam skema pendanaan tersebut, KPK merekomendasikan kenaikan pendanaan secara bertahap hingga Rp10.706 dalam 10 tahun. Kajian ini memperbaiki perhitungan dengan data yang lebih lengkap berdasarkan kondisi riil kebutuhan anggaran parpol dari laporan keuangan lima parpol tersebut.

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan saran agar pendanaan partai politik disubsidi pemerintah memang tidak menjamin politikus terhindar dari korupsi. Ia hanya brharap dengan naiknya bantuan dana untuk parpol bisa mencegah politikus ataupun kepala daerah agar tidak melakukan korupsi.

"Sudah tentu kami tidak bisa jamin 100 persen orang itu harus baik. Tetapi, itu salah satu cara upaya pencegahan yang dilakukan KPK. Karena, kita tahu partai politik itu membutuhkan biaya operasional dan biaya lain-lainnya," tuturnya.

Selain itu KPK juga berharap agar parpol di tanah air dapat memperbaiki sistem di internalnya masing-masing. Hal ini bertujuan agar tidak ada lagi kepala daerah yang terjerat hukum. Hingga Oktober 2019, setidaknya lebih dari 100 kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Dari jumlah tersebut Jawa Barat menjadi ‘penyumbang’ paling banyak dengan 18 kepala daerah disusul Jawa Timur (14) dan Sumatera Utara (12 kepala daerah).

Tags:

Berita Terkait