KPK: Surat Dakwaan Mantan Kepala BPPN Penuhi Syarat
Berita

KPK: Surat Dakwaan Mantan Kepala BPPN Penuhi Syarat

Penuntut umum berharap majelis hakim menolak eksepsi tim kuasa hukum dan melanjutkan proses pemeriksaan perkara.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Korupsi. Ilustrasi BAS
Ilustrasi Korupsi. Ilustrasi BAS

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberi tanggapan atas nota keberatan atau eksepsi yang diajukan terdakwa dugaan kasus korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Tumenggung. Mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BPPN) ini didakwa melakukan perbuatan melawan hukum karena memberi SKL kepada Sjamsul Nursalim yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp4,8 triliun.

 

Penuntut umum pada KPK menjawab satu persatu materi eksepsi yang dilayangkan Syafruddin melalui tim kuasa hukumnya yang terdiri dari sejumlah advokat seperti Yusril Ihza Mahendra, Jamin Ginting, Ahmad Yani dan juga Hasbullah. Terkecuali, jika materi eksepsi tersebut sudah dianggap masuk dalam pokok perkara.

 

“Perlu kami sampaikan bahwa kami hanya akan memberi tanggapan atas keberatan yang benar-benar relevan dan sesuai ruang lingkup eksepsi,” kata penuntut umum KPK Haeruddin, Senin, (27/5/2018).

 

Menurut Haeruddin, berdasarkan peraturan, pendapat ahli hukum, dan dihubungkan uraian halaman 1 Surat Dakwaan Penuntut Umum Nomor: 40/TUT.01.04/24/05/2018 tanggal 2 Mei 2018, Penuntut Umum berpendapat Surat Dakwaan a quo telah memenuhi syarat formil seperti diatur Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP. Sebab, surat dakwaan tersebut telah mencantumkan identitas Terdakwa secara lengkap. Seperti mencantumkan nama, alamat, pekerjaan, jenis kelamin, usia, kebangsaan, dan lain sebagainya.

 

Selanjutnya Surat Dakwaan Penuntut Umum tersebut telah memenuhi syarat materiil sebagaimana ditentukan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Sebab, surat dakwaan telah mencantumkan uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

 

Dengan telah mencantumkan semua unsur tindak pidana korupsi yang didakwakan, fakta perbuatan yang dipadukan dengan unsur pasal tindak pidana korupsi yang didakwakan serta pasal UU Pemberantasan Tipikor yang didakwakan kepada Syafruddin tanpa ada satu unsur pasalpun yang ketinggalan (tercecer). Selain itu, surat dakwaan telah pula mencantumkan tanggal yaitu tanggal 02 Mei 2018 dan juga telah ditandatangani oleh Penuntut Umum yang ditunjuk.

 

“Hal ini, menurut Haeruddin telah sesuai dengan beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung (MA),” dalihnya. Baca Juga: Begini Cara Syafruddin Diduga Perkara Sjamsul Nursalim Rp4,58 Triliun

 

Masuk pokok perkara

Penuntut umum KPK lain, I Wayan menyampaikan setidaknya ada enam keberatan di bagian pendahuluan eksepsi. Pertama pemberian fasilitas BLBI, Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA) PT Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim, Release and Discharge MSAA, Syafruddin sebagai Kepala BPPN, audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang saling bertentangan, dan yang terakhir MSAA merupakan kesepakatan perdata.

 

Atas keberatan ini, penuntut umum menganggap materi telah masuk pokok perkara dan tidak termasuk ruang lingkup eksepsi/keberatan sebagaimana diatur Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Menurut penuntut umum sebagian besar materinya hanya pengulangan atau hampir sama dengan materi permohonan praperadilan yang telah diajukan Terdakwa ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

 

“Putusan permohonan praperadilan Terdakwa ditolak dengan pertimbangan bahwa prosedur penetapan Tersangka yang dilakukan oleh KPK sudah memenuhi adanya bukti permulaan cukup yaitu sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, sehingga penetapan Tersangka terhadap diri Terdakwa telah sah dan berdasarkan hukum sebagaimana putusan praperadilan Nomor : 73/Pid.Prap/2017.Jkt.Sel tanggal 2 Agustus 2017,” kata Jaksa Wayan.

 

Dalam eksepsinya pihak Syafruddin mempersoalkan adanya laporan audit BPK yang tidak konsisten yakni laporan audit pada 2002 dan 2006, serta audit investigasi BPK pada 2017. Laporan BPK tahun 2002 berpendapat bahwa ikatan perdata BDNI telah final dan closing. Sementara, dalam audit tahun 2006, BPK menilai BPPN dapat menerbitkan SKL kepada BDNI.

 

Alasannya, karena pemegang saham BDNI yakni Sjamsul Nursalim telah memenuhi perjanjian MSAA dan sesuai dengan kebijakan pemerintah.Audit BPK berpendapat SKL layak diberikan pada Sjamsul Nursalim, karena telah sesuai kebijakan pemeirntah dan Inpres Tahun 2002," ujar pengacara Syafruddin, Ahmad Yani, saat membacakan eksepsi.

Menurut Ahmad Yani, audit investigasi yang dilakukan BPK atas permintaan KPK tahun 2017, disebutkan ada kerugian negara Rp 4,5 triliun. Audit tersebut kemudian jadi dasar jaksa KPK mendakwa Syafruddin. Yani berpendapat audit BPK tahun 2017 tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut kliennya dengan tuduhan merugikan keuangan negara. Baginya, kerugian bukan disebabkan karena penerbitan SKL.

 

Eksepsi atas surat dakwaan

Selain menyampaikan keberatan yang dianggap penuntut umum telah masuk pokok perkara, tim kuasa hukum juga menyampaikan eksepsi atas surat dakwaan penuntut umum. Pertama, eksepsi perihal kewenangan Absolut, Pengadilan Tipikor tidak berwenang mengadili karena dasar yang dipersalahkan merupakan objek sengketa Tata Usaha Negara (TUN).

 

“Perbuatan Terdakwa yang menerbitkan SKL merupakan tindakan Terdakwa sebagai Badan Pejabat TUN karena dikeluarkan berdasarkan kewenangan yang diberikan atas peraturan perundang-undangan dan SKL tersebut dikeluarkan sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah. Karena itu, jika memang quad non SKL yang dikeluarkan tersebut salah, maka termasuk sebagai sengketa Tata Usaha Negara dan seharusnya diuji pada peradilan Tata Usaha Negara (PTUN),” kata tim kuasa hukum Syafruddin dalam eksepsinya.

 

Mengenai hal ini, penuntut umum menganggap tim kuasa hukum telah keliru dalam memahami surat dakwaan dan hanya membaca surat dakwaan secara parsial yang menganggap bahwa penerbitan SKL merupakan perbuatan yang berdiri sendiri. Padahal sesungguhnya penerbitan SKL merupakan perbuatan lanjutan dari rangkaian perbuatan Terdakwa sebelumnya yaitu menghapuskan piutang BDNI, sehingga seolah-olah seluruh kewajiban Sjamsul Nursalim telah terpenuhi.

 

Menurut penuntut umum, objek sengketa pada PTUN merupakan penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

 

Sedangkan surat dakwaan yang telah disusun sama sekali tidak mengacu/mendasarkan diri pada adanya surat Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksud, melainkan pada adanya suatu perbuatan Terdakwa yang termasuk kategori tindak pidana (korupsi) yang akan kami buktikan pada acara pemeriksaan/pembuktian di persidangan.

 

Kedua, surat dakwaan dianggap Error in Persona karena waktu pengakhiran tugas BPPN tanggal 27 Februari 2004 atas perintah KKSK yaitu Hak Tagih PT BDNI kepada petambak telah diserahkan sebesar Rp4.8 Triliun kepada Menteri Keuangan. Selain itu, terhitung sampai dengan berakhirnya dan/atau bubarnya BPPN berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran BPPN, hak tagih PT BDNI kepada petambak tidak pernah dijual dibawah nilai buku, meskipun berdasarkan pasal 26 ayat (2) PP Nomor 17, Ketua BPPN mempunyai kewenangan melakukan perbuatan tersebut.

 

Dengan demikian, walaupun ada keputusan KKSK No.02 tanggal 13 Februari 2004 yang memutus adanya penghapusan atas sebagian hutang petambak yang akan memberi kewenangan kepada BPPN untuk menjual hutang petambak dibawah nilai buku yang dapat mengakibatkan penghapusan hak tagih BPPN kepada petambak, namun perbuatan tersebut tidak dilakukan Syafruddin.

 

Penjualan yang mengakibatkan hapusnya hak tagih pemerintah kepada petambak terjadi pada saat penjualan hutang petambak oleh Menteri Keuangan, bersama-sama dengan PT PPA. Kerugian Negara timbul menurut laporan Audit BPK Tahun 2017 akibat tindakan penjualan piutang petani tambak Rp4.8 Triliun adalah sebesar Rp220 Miliar yang dilakukan oleh Menteri Keuangan dan PT PPA pada tahun 2007.

 

“Karena itu Penuntut Umum telah salah mendakwa Terdakwa sebagai pelaku tindak pidana korupsi pada perkara a quo,” ujar tim kuasa hukum.

 

Penuntut umum pun mempunyai jawaban atas keberatan ini. Mengutip M. Yahya Harahap, S.H. dalam bukunya: Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Sinar Grafika : Jakarta hal. 123, menguraikan terkait eksepsie error in persona (Exceptio in persona): “Orang yang diajukan sebagai Terdakwa “keliru”. Yang semestinya yang diajukan sebagai Terdakwa adalah orang lain, karena dia pelaku tindak pidana sebenarnya” 

 

Laipula, dalam persidangan, menurut penuntut umum telah dilakukan pemeriksaan pendahuluan oleh Majelis Hakim kepada Terdakwa dan Terdakwa telah membenarkan seluruh identitas Terdakwa sebagaimana dalam Surat Dakwaan, sehingga Penuntut Umum berpendapat bahwa Eksepsi Terdakwa mengenai error in persona harus dikesampingkan.

 

“Perihal siapa pihak yang menyebabkan hapusnya hak tagih pemerintah kepada petambak, sehingga menimbulkan kerugian negara merupakan materi pokok perkara. Karena itu, tidak masuk dalam ruang lingkup Eesepsi sebagaimana ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP. 

 

Kemudian dalam eksepsinya tim kuasa hukum juga menyatakan perkara pidana yang didakwakan sedang diadili dalam perkara Perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Syafruddin diketahui sedang mengajukan gugatan kepada Menteri Keuangan dan PT PPA dan sedang proses pemeriksaan persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara No.637/Pdt.G/2017/PN. Jkt. Pst.

 

“Perkara perdata tersebut dianggap sangat berkaitan dan menjadi landasan utama adanya dakwaan perkara pidana ini, belum mempunyai kekuatan hukum tetap, maka sudah sepatutnya dan sesuai dengan ketentuan hukum apabila perkara ini ditangguhkan pemeriksaannya,” pinta tim kuasa hukum.

 

Penuntut umum punya pendapat berbeda yang menyebut apa yang disampaikan kuasa hukum tidak tepat dalam menafsirkan obyek perbuatan Syafruddin yang dijadikan dasar oleh Penuntut Umum dalam surat dakwaan, yang juga obyek tersebut diajukan sebagai dasar gugatan Terdakwa kepada Menteri Keuangan dan PT PPA yang saat ini sedang berlangsung proses pemeriksaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat merupakan subjudice. 

 

Penuntut Umum berpendapat seharusnya yang dimaksudkan Penasihat Hukum Terdakwa sebagai subjudice adalah persengketaan/perselisihan hukum (prejudicieel geschil) antara perkara pidana dan perkara perdata. Mengenai prejudicieel geschil ini, MA telah mengeluarkan SEMA Nomor 4 Tahun 1980 yang menentukan penangguhan pemeriksaan karena ada persengketaan/perselisihan hukum hanya sekedar kewenangan. Dan bukan merupakan kewajiban dan hakim pidana ini tidak terikat pada putusan hakim perdata yang bersangkutan seperti ditentukan Pasal 3 Perma Nomor 1 Tahun 1956.

 

“Dasar hukum tersebut bersesuaian pula dengan Pasal 25 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 yang pada pokoknya menerangkan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya lebih dahulu,” dalih penuntut umum.

 

Selain itu ada beberapa eksepsi lain yang juga diajukan kuasa hukum seperti perbuatan yang dilakukan Syafruddin yang diuraikan dalam dakwaan merupakan ruang lingkup perdata. Kemudian perbuatan Syafruddin juga sudah dianggap daluarsa. Dan dakwaan penuntut umum dianggap tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap.

 

Atas semua eksepsi yang diajukan ini penuntut umum berkesimpulan bahwa surat dakwaan Nomor : 40/TUT.01.04/24/05/2018 tanggal 02 Mei 2018 telah memenuhi syarat formil dan syarat materiil seperti diatur Pasal 143 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP. Karenanya penuntut umum memohon kepada Majelis Hakim yang mengadili dan memeriksa perkara ini berkenan memberi keputusan.

 

Pertama, menyatakan keberatan atau eksepsi Tim Penasihat Hukum Terdakwa Syafruddin dinyatakan ditolak atau setidaknya dinyatakan tidak dapat diterima. Kedua, menyatakan surat dakwaan Nomor : 40/TUT.01.04/24/05/2018 tanggal 02 Mei 2018 telah memenuhi syarat formil dan syarat materiil sebagaimana ditentukan Pasal  143 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP. Karena itu, secara hukum surat dakwaan sah untuk dijadikan sebagai dasar memeriksa dan mengadili perkara pidana. Ketiga, menyatakan sidang pemeriksaan perkara pidana dengan Terdakwa Syafruddin dilanjutkan berdasarkan surat dakwaan.

Tags:

Berita Terkait