Kotak Pandora UU Perkawinan Dulu, Kini, dan Nanti
Feature

Kotak Pandora UU Perkawinan Dulu, Kini, dan Nanti

Masalah paling mencolok soal polemik perkawinan beda agama.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 8 Menit

Hasil upaya di masa Orde Lama baru menjadi RUU pada tahun 1967 yaitu RUU Pokok Pernikahan Umat Islam yang diajukan Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) dan RUU Pokok Perkawinan yang diajukan Departemen Kehakiman (sekarang Kementerian Hukum dan HAM) tahun 1968. Kedua RUU itu sama-sama mengakui pemisahan aturan perkawinan khusus pemeluk agama Islam. Fraksi golongan Katolik yang berjumlah 8 orang dari 500 anggota DPR bersikeras menolak kedua RUU itu sejak tahun 1967. Fraksi Katolik mencurigai bangkitnya gagasan Negara Islam lewat kekhususan untuk umat Islam dalam UU Perkawinan. Akhirnya pembahasan dihentikan sama sekali.

Baru pada 31 Juli 1973, pemerintah mengajukan kembali RUU Perkawinan yang dirancang Departemen Kehakiman kepada DPR. Namun, isi RUU sudah tersebar ke media massa sebelum rancangan tersebut dibahas oleh DPR. Kelompok-kelompok umat Islam yang menerima berita dari media massa menilai RUU Perkawinan 1973 terdiri dari pasal-pasal yang bertentangan dengan syariat Islam. Beredar isu bahwa penggodokan RUU Perkawinan 1973 dibantu lembaga riset swasta Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang saat itu diisi mayoritas tokoh Katolik. RUU Perkawinan diwarnai prasangka dan peluang pecah konflik agama di Indonesia.

Laporan riset Universitas Indonesia berjudul Proses Pembentukan Undangundang Perkawinan Tahun 1974 dan Hubungannya dengan Hukum Perkawinan Islam mencatat beberapa materi awal RUU Perkawinan 1973  yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam atau tidak sesuai dengan doktrin dasar Islam misalnya: sahnya perkawinan semata-mata karena pencatatan oleh negara, anak angkat mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak kandung, larangan perkawinan karena adanya hubungan anak angkat atau bapak angkat, perbedaan agama tidak merupakan penghalang perkawinan, serta pengakuan lembaga pertunangan sampai mengakui status keabsahan hukum anak yang lahir dari pasangan bertunangan. Kalangan umat Islam mengkhawatirkan rumusan soal lembaga pertunangan ini melegalkan hubungan seks di luar perkawinan.

Pada akhirnya RUU Perkawinan menemukan kompromi dengan tekanan aksi massa yang dimotori kelompok masyarakat Islam di luar dan dalam DPR. Kelompok massa di luar parlemen mulai dari kalangan awam, pelajar, hingga mahasiswa. Partai Persatuan Pembangunan sebagai partai Islam satu-satunya saat itu berperan besar menjadi ujung tombak kompromi politik dalam polemik ini. Akhirnya RUU Perkawinan disahkan pada 2 Januari 1974 dengan nama UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Salah satu pasal kompromi yang menentukan adalah Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yaitu Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Babak Baru Polemik sejak 1986

Dalam perjalanannya, faktanya sejak tahun 1986 sudah ada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400K/PDT/1986 yang menyatakan perkawinan beda agama sah di Indonesia dengan jalan penetapan oleh pengadilan. Putusan kasasi itu kerap menjadi rujukan yurisprudensi untuk penetapan status dan izin perkawinan beda agama hingga sekarang. Penelusuran Hukumonline menemukan ratusan dokumen penetapan dalam direktori putusan Mahkamah Agung yang hampir semuanya mengabulkan permohonan izin (pencatatan) perkawinan beda agama di kantor catatan sipil setempat.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400K/PDT/1986 itu dianggap menjadi terobosan dalam hukum perkawinan di Indonesia. Majelis Hakim kasasi dipimpin langsung oleh Ketua Mahkamah Agung saat itu, Ali Said. Isinya membatalkan Penetapan No. 382/Pdt/P/1986/PN.JKT.PST. yang menolak permohonan kawin beda agama antara Andi Vonny Gani P (perempuan/Islam) dengan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan (laki-laki/Protestan). Majelis Hakim mengakui ada kekosongan hukum yang tidak ditegaskan UU Perkawinan soal kawin beda agama. Terutama dalam kasus agama yang dianut salah satu atau kedua calon pengantin melarang kawin beda agama.

Yurisprudensi Mahkamah Agung ini mengabulkan permohonan untuk melakukan perkawinan beda agama di Kantor Catatan Sipil. Namun, penolakan Kantor Urusan Agama (KUA) untuk mencatat perkawinan keduanya dibenarkan oleh majelis kasasi. Fakta bahwa syarat kedua mempelai harus sama-sama muslim diakui sebagai dasar hukum yang tepat untuk penolakan mengawinkan keduanya secara Islam dan dicatat oleh Kantor Urusan Agama.

Tags:

Berita Terkait