Koruptor Diancam Hukuman Lebih Ringan
RUU Tipikor:

Koruptor Diancam Hukuman Lebih Ringan

Tim perumus sengaja tidak menerapkan ancaman pidana minimal untuk beberapa jenis delik korupsi karena walaupun ditentukan ancaman pidana minimal, hakim tetap menjatuhkan vonis lebih rendah.

Fat
Bacaan 2 Menit
Koruptor Diancam Hukuman Lebih Ringan
Hukumonline

 

Artinya korupsi di bawah Rp25 juta, pelaku menyesal dan mengembalikan dana korupsi tersebut kepada negara dapat bebas dari tuntutan pidana. Ini terlihat adanya toleransi dari pemerintah kepada pelaku korupsi tersebut, ujarnya. Febri mendesak rumusan Pasal 50 dihapuskan. Semua tindak pidana berapapun nilainya dapat dipidana dan pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan pidana, tegasnya.

 

Di luar itu, Febri mengkritik RUU versi pemerintah yang tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa penuntutan boleh dilakukan oleh Kejaksaan dan KPK. Hal ini menimbulkan kerancuan bagi penuntut di KPK. RUU versi pemerintah hanya menegaskan KPK, Kepolisian dan Kejaksaan memiliki tugas melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Dan KPK tidak mendapatkan tugas lebih, yaitu melakukan penuntutan.

 

Artinya UU ini hanya mengatur penuntut jaksa sebagai penuntut umum, tidak lebih. Untuk itu kami minta RUU ini menyebutkan secara tegas tuntutan dapat dilakukan antara lain oleh KPK dan Kejaksaan, usul Febri.

 

No

Isu Krusial

RUU Versi Pemerintah

RUU Versi Masyarakat

1.   

Ancaman pidana

Beberapa pasal tidak mencantumkan ancaman pidana minimal (potensial terjadinya vonis percobaan bagi  koruptor)

Mencantumkan ancaman pidana minimal dan maksimal (untuk menghindari vonis percobaan)

2.   

Masa daluarsa (hapusnya penuntutan)

18 tahun

30 tahun

3.   

Tindak pidana yang dapat dihapuskan

korupsi dibawah Rp 25 juta, apabila pelaku menyesal dan mengembalikan dapat tidak dituntut pidana. Ada toleransi bagi pelaku dan potensi disimpangi.  

Tidak diatur. Semua tindak pidana berapa pun nilainya dapat dipidana Pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan pidana.

4.   

Pengadilan Tipikor

Tidak jelas dan tegas menyebutkan pengadilan tipikor. .  

Semua perkara korupsi diadili oleh Pengadilan Khusus Korupsi

5.   

Kewenangan Penuntutan KPK

Kewenangan KPK diakui hanya sampai tingkat penyidikan. Tingkat penuntutan tidak jelas.

Secara tegas menyebutkan tuntutan dapat dilakukan antara lain oleh KPK

6.   

Perlindungan Pelapor

Justru muncul ancaman pidana bagi pelapor palsu. Terlapor berpotensi melaporkan balik pelapor.   

Perlindungan yang diterima pelapor adalah perlindungan identitas dan keamanan 

7.   

Korupsi oleh Advokat

Tidak diatur.

korupsi oleh advokat hanya dijerat dengan kode etik.

Advokat dapat dijerat dengan delik korupsi

8.   

Pembekuan

Tidak diatur.

Berpotensi adanya pengalihan rekening dari pelaku ke pihak ketiga. 

Penyidik, penuntut dan Hakim dapat memerintahkan pemblokiran/ pembekuan terhadap rekening tersangka dan/atau pihak lain yang diduga terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi

9.   

Pengelolaan Aset Hasil Korupsi

Tidak diatur.

Potensi aset korupsi dikelola oleh rubasan atau masing-masing intitusi. 

Pembentukan Lembaga Pengelola Aset

10.   

Pembatalan Kontrak akibat dari Korupsi

Tidak diatur.

Pemerintah atau masyarakat dapat mengajukan pembatalan kontrak akibat korupsi

11.   

Penyertaan,Percobaan dan Permufakatan Korupsi

Tidak diatur.

Piha-pihak yang membantu pelaku korupsi (bersama atau mufakat) maupun pihak yang mencoba melakukan korupsi tidak dapat dipidana

Tindakan Penyertaan,Percobaan dan Permufakatan Korupsi dapat dipidana

12.   

Penyadapan

Tidak diatur

Penyidik dengan bukti yang cukup dapat melakukan penyadapan

13.   

Optimalisasi Peran Serta Masyarakat

Peran serta masyarakat masih terbatas (terkesan copy paste) dengan UU Korupsi yang lama

Masyarakat dapat mengajukan upaya hukum gugatan/

praperadilan juga diatur adanya premi/penghargaan untuk pelapor kasus korupsi

14.   

Kewajiban Pelaporan Kekayaan

Tidak diatur.

Pejabat publik yang tidak melaporkan kekayaan atau melaporkan tidak benar dapat diancam pidana

15.   

Penahanan

Tidak diatur

Pengaturan mengenai penahanan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan (lebih lama dari KUHAP)

Sumber: Rilis ICW

 

Sesuai jumlah korupsi

Ketua Tim Penyusun RUU Tipikor versi pemerintah, Andi Hamzah menjelaskan pihaknya memang sengaja tidak menerapkan ancaman pidana minimal untuk beberapa jenis delik korupsi. Praktek selama ini, kata Andi, walaupun ditentukan ancaman pidana minimal, hakim menjatuhkan vonis lebih rendah. Hakim tersebut, menurutnya, jelas telah melanggar UU. Jadi justru melanggar hukum sebenarnya hakim itu, daripada melanggar hukum yang dari KUHP tidak usah pakai minimum khusus, tapi yang di luar KUHP atau yang asli korupsi tetap ada minimum khusus, ujarnya.

 

Soal ‘dispensasi' bagi pelaku korupsi yang nilainya di bawah Rp25 juta, menurut Andi, terkadang korupsi yang nilai kecil dilatarbelakangi kondisi terpaksa dari si pelaku. Ia mencontohkan, ada koruptor sebesar Rp20 juta dengan niat untuk membiayai anaknya yang sakit. Jika ketahuan, lalu pelaku tersebut sanggup mengganti uang yang dikorupsinya, maka yang bersangkutan tidak bisa dituntut. Lain hal, jika latarbelakangnya terkait narkotika dan bermain judi, ini tetap bisa dituntut. Tergantung latar belakangnya, jika LSM keberatan ya urusannya dia (LSM) bicara sama DPR sana, ujarnya.

 

Sementara terkait penyebutan KPK sebagai penuntut dalam RUU versi pemerintah, Andi berdalih hal itu sudah tercantum dalam undang-undang lainnya, yaitu UU KPK. Andi menambahkan, UU Tipikor sifat pengaturannya lebih umum ketimbang UU KPK. Jadi itu pengecualian adanya di UU KPK dan itu hanya ada di Indonesia dari seluruh dunia, katanya.

Selain RUU Pengadilan Tipikor, sejumlah LSM yang bergerak di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi juga menyoroti nasib RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor). Informasi yang berkembang di kalangan LSM, RUU Tipikor dalam waktu dekat ini akan  diserahkan ke DPR. Sebelum itu terealisir, sejumlah LSM mengingatkan pemerintah bahwa draf bentukan mereka masih mengandung sejumlah kekurangan.

 

Direktur LBH Jakarta Hermawanto mengatakan rumusan pidana dalam RUU Tipikor terkesan ingin menghilangkan ancaman pidana minimal. Jika ini terjadi, maka tidak tertutup kemungkinan akan muncul bentuk pidana percobaan bagi koruptor yang terbukti bersalah. Maka itu, RUU Tipikor versi masyarakat yang kita gagas mencantumkan ancaman pidana minimal dan ancaman pidana maksimal untuk menghindari vonis percobaan, kata Hermawanto.

 

Hal lain yang menjadi sorotan adalah jumlah hukuman yang lebih ringan ketimbang UU Tipikor yang sekarang berlaku. Hermawanto mencontohkan UU Tipikor sekarang merumuskan setiap orang yang melawan hukum dan memperkaya diri sehingga menimbulkan kerugian negara dipidana minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun serta denda Rp200 juta hingga Rp1 milyar. Sementara, RUU merumuskan untuk jenis tindak pidana yang sama, ancaman hukumannya minimal satu tahun penjara dan maksimal lima tahun serta denda Rp50 juta hingga Rp250 juta.

 

Ini terlihat terdapatnya pengurangan pidana maupun denda kepada pelaku yang terlibat korupsi. Maka itu, kami menyayangkan norma yang dibentuk pemerintah sehingga terjadi reduksi agenda pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, ujarnya.

 

Peneliti Hukum ICW Febri Diansyah melihat ada indikasi pemberian toleransi bagi koruptor melalui RUU Tipikor ini. Sebagai contoh, Febri menyebut Pasal 50 yang berbunyi, Penghentian penuntutan terhadap Tipikor yang cukup bukti hanya dilakukan pada perbuatan korupsi yang nilainya paling banyak Rp25 juta, dengan ketentuan terdakwa mengakui kesalahannya dan mengembalikan kejahatannya kepada negara.

Halaman Selanjutnya:
Tags: