Korupsi Tak Mengenal Oposisi dan Partai Penguasa
Berita

Korupsi Tak Mengenal Oposisi dan Partai Penguasa

Karena baik partai oposisi maupun partai penguasa sama-sama rentan melakukan korupsi. KPK mesti mendalami secara hati-hati keterangan Setnov yang menyebut Pramono-Puan terima dana proyek e-KTP dengan mengkonfirmasi saksi-saksi lain.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Korupsi. Ilustrasi BAS
Ilustrasi Korupsi. Ilustrasi BAS

“Nyanyian” terdakwa korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) Setya Novanto, sepertinya membuat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) geram dan reaktif. Pasalnya, beberapa elit partai berlambang banteng itu disebut-sebut ”kecipratan” aliran dana proyek e-KTP. Sontak, PDIP berdalih sebagai partai oposisi di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhyono (SBY), saat proyek e-KTP ini berjalan, tidak mungkin menikmati dana proyek e-KTP ini.    

 

Wakil Ketua DPR Agus Hermanto menilai bantahan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto tak ada korelasi antara partai oposisi dengan fakta tudingan menerima aliran dana proyek e-KTP ini. Sebab, dugaan korupsi, kolusi dan nepotisme bisa dilakukan pribadi pengurus partai manapun. Faktanya, anggota dewan yang berasal dari partai oposisi sekalipun dapat melakukan korupsi.

 

“Karena ini (korupsi, red) bisa dilakukan oleh siapapun, partai manapun baik partai koalisi maupun partai oposisi,” ujarnya di komplek Gedung Parlemen, Senin (26/3/2018). Baca Juga: Pramono Anung-Puan Maharani dan Nama Lain Disebut Novanto Terima Uang e-KTP.

 

Menurut pria biasa disapa Aher itu, tidak ada jaminan ketika orang atau partai berada di luar pemerintahan (oposisi) tidak melakukan korupsi. Padahal, korupsi kerap dilakukan atas nama pribadi, bukan atas nama partai. “Alasan Hasto bahwa posisi politik PDIP berada di luar pemerintahan SBY tidak dapat dibenarkan. (Sebaliknya) ketika ada hubungan (koalisi) dengan rezim pemerintah, melakukan korupsi,” kata dia.

 

Menurut Agus, bantahan Sekjen PDIP itu tersebut cukup lemah dan dangkal. Sebab, pelaksanaan program pembuatan e-KTP merupakan amanah Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Kalaupun, praktiknya terdapat ketidaksesuaian, maka kinerja pemerintah (Kemendagri) yang dipertanyakan. Termasuk bila ada dugaan penyelewengan dana proyek e-KTP ini.

 

“KPK dapat bergerak melakukan proses penyelidikan dan penyidikan. Termasuk terhadap nama-nama yang disebut Setya Novanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta beberapa hari lalu,” kata Aher.

 

Terpisah, Koordinator Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz berpandangan tidak ada teori yang bisa menjustifikasi bahwa partai oposisi pemerintahan bersih dari perilaku korupsi. Faktanya, selama 10 tahun menjadi partai oposisi di era pemerintahan SBY, kader PDIP banyak pula yang tersandung kasus korupsi. Misalnya, kata Donal, dalam kasus cek pelawat.

 

Saat ini, kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang notabene partai oposisi pemerintahan Joko Widodo, Yudi Widiana yang menjabat Wakil Ketua Komisi V DPR juga ditengarai menerima uang suap karena memuluskan usulan proyek jalan dan jembatan di Maluku dan Maluku Utara Tahun Anggaran 2015-2016. Bahkan, Yudi telah divonis bersalah dalam kasus korupsi tersebut.

 

“Jadi, argumentasi bahwa oposisi tidak mungkin korupsi jelas berbeda (kontras) kalau kita melihat faktanya. Faktanya, mau oposisi mau partai berkuasa, semuanya rentan korupsi,” sebutnya.

 

Peneliti Forum Masyarakat Perduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karius menilai alasan oposisi tak memiliki representasi dalam pemerintahan SBY tak berdasar. Menurutnya, perilaku korupsi merupakan aksi individu. Apalagi, dalam proses pembahasan anggaran di DPR memberi ruang setara terhadap semua fraksi baik itu partai berkuasa maupun oposisi.

 

“Saya kira peluang untuk melakukan korupsi mengikuti (dipengaruhi) kewenangan dalam proses pembahasan anggaran tersebut,” ujarnya.

 

KPK mesti uji kebenaran

Terhadap keterangan Setya Novanto di persidangan Pengadilan Tipikor, KPK mesti mendalaminya. Tujuannya untuk menguji benar atau tidaknya keterangan Setnov yang menyebut nama Pramono Anung dan Puan Maharani menerima uang masing-masing sebesar 500 ribu dolar AS dalam proyek e-KTP. Namun, dia mewanti-wanti, KPK juga mesti berhati-hati untuk mencermati keterangan yang dilontarkan Setnov itu.

 

“Setiap informasi yang disampaikan dalam persidangan harus diuji kebenarannya,” kata Donal.

 

Menurut Donal, untuk menguji kebenaran keterangan terdakwa Setnov di persidangan dapat dilakukan KPK dengan berbagai cara. Misalnya, dengan memeriksa saksi lain dalam rangka mencari kesesuaian keterangan itu. Dengan begitu, nantinya nampak apakah keterangan Setya Novanto dapat didukung dengan alat bukti lain atau sebaliknya.

 

Lucius melanjutkan mau tidak mau KPK sebagai penegak hukum memang mesti mendalami keterangan Setnov termasuk semua informasi selama proses persidangan. Selanjutnya, bila terdapat keterangan yang patut ditindaklanjuti, KPK mesti bergerak.

 

“Hanya dengan proses mendalami keterangan Setnov tersebut akan ketahuan mana informasi hoax dan mana yang benar?”

 

Namun, setiap informasi yang muncul dalam proses persidangan mesti didalami secara proporsional. “Tidak ada alasan KPK untuk memilih dan memilah informasi mana saja yang mesti didalami. Semua harus ditindaklanjuti, tetapi KPK juga mesti hati-hati,” tambahnya.

 

Sebelumnya, usai Setnov menyebut sejumlah nama politisi PDIP khususnya Puan Maharani, Pramono Anung, dan Ganjar Pranowo menerima aliran dana e-KTP dalam sidang kasus e-KTP, Kamis (22/3) kemarin. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto langsung membantah bahwa dua elit politiknya menerima aliran uang e-KTP. Alasan Hasto, posisi politik PDIP selama 10 tahun pemerintahan SBY saat itu berada di luar pemerintahan. Termasuk tidak ada representasi menteri dari PDIP di jajaran Kabinet Indonesia Bersatu.

 

“Dengan begitu, atas apa yang disebutkan oleh Bapak Setnov, kami pastikan tidak benar, dan kami siap diaudit terkait hal tersebut," kata Hasto, Kamis (22/3) kemarin.

Tags:

Berita Terkait