Korupsi Percepat Penggundulan Hutan
Berita

Korupsi Percepat Penggundulan Hutan

Suap menjadi modus paling banyak dilakukan hingga menyentuh penegakan hukum.

Inu
Bacaan 2 Menit
TII sampaikan penelitian terhadap integritas dan tata kelola kehutanan (FGI) pada tahun 2010. Foto: SGP
TII sampaikan penelitian terhadap integritas dan tata kelola kehutanan (FGI) pada tahun 2010. Foto: SGP

Korupsi menjadi faktor pemicu peningkatan deforestasi hutan di Indonesia dalam satu dekade terakhir (2000-2010). Kerugian negara akibat korupsi mencapai kisaran AS$3 miliar hingga AS$4,5 miliar per tahun.

 

Korupsi di sektor kehutanan telah mengakar dan sistemik. Mulai dari sisi hulu hingga ke hilir, mulai dari peraturan-perundangan, perizinan, proses teknis pemanfaatan hasil hutan, hingga penegakan hukum. 

 

“Aktor yang terlibat cukup banyak, mulai dari level legislatif, Kementerian Kehutanan, pengusaha, kepolisian, kejaksaan, hingga dinas kehutanan di daerah,” tukas Forest Government Integrity (FGI), Transparency International di Indonesia (TII), Teguh Setiono di Jakarta, Jumat (25/11). Pernyataan itu bersamaan dengan penyampaian penelitian TI terhadap integritas dan tata kelola kehutanan (FGI) pada tahun 2010.

 

Penelitian diadakan di wilayah yang memiliki hutan alam yang relatif besar. Seperti di Riau, Aceh, dan Papua yaitu hampir mencapai 29 persen dari seluruh hutan di Indonesia.

 

Teguh menguraikan, suap menjadi modus yang paling umum terjadi di sektor kehutanan. Hasil penelitian TII, suap ditemukan pada semua lini tata kelola sektor kehutanan. Mulai dari rantai regulasi, rantai perizinan, produksi kayu, penegakan hukum, hingga penerimaan negara dari hasil hutan, sambungnya.

 

Peneliti program FGI di Riau, Raflis mengutarakan praktik suap dimulai dari rantai kebijakan, perizinan, hingga penegakan hukum. Selain itu rantai suplai dan sertifikasi kayu juga turut menyuburkan praktek korupsi.

 

Kemudian, peneliti program FGI di Aceh, Ilham Sinambela menjelaskan, risiko korupsi berada pada seluruh mata rantai produksi hasil hutan. Dia sampaikan mulai proses perolehan perizinan, operasi penebangan kayu, sampai dengan penegakan aturan hukum. Praktik suap, lanjutnya, digunakan untuk mendapatkan izin dan pengelolaan tanah.

 

Sedangkan peneliti program FGI di Papua, Lyndon B Pangkali menyatakan lemahnya kebijakan dan penegakan hukum menyuburkan praktik korupsi di sektor kehutanan. Bahkan, lanjutnya, praktik korupsi subur karena minimnya kapasitas sumberdaya manusia di lembaga pemerintah untuk memantau kegiatan pengelolaan hutan.

 

Akibatnya, pemalsuan dokumen atau laporan seperti Penilaian Dampak Lingkungan (AMDAL) sering terjadi. Dalam segi tata peraturan kehutanan juga terjadi benturan dengan undang-undang lain, seperti UU No 21 Tahun 2001 Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

 

Teguh menyatakan korupsi kehutanan, selain berdampak buruk bagi lingkungan dan mengurangi pendapatan negara, juga menyebabkan dampak sosial cukup besar. Diantaranya, menghalangi akses masyarakat lokal terhadap sumber daya alam.

 

Dampak sosial lain terlihat dalam perencanaan izin konsesi yang sering menyulut konflik diantara pemegang izin konsesi dan masyarakat lokal. Aktivitas ini dinilai TII berpotensi mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas hak asasi manusia. Kelalaian pemegang izin konsesi dalam mematuhi undang-undang dan peraturan telah mengindikasikan korupsi telah terjadi sejak awal dalam proses penerbitan izin.

 

Oleh sebab itu, TII menyerukan reformasi komprehensif untuk menutup celah korupsi sektor kehutanan. Reformasi tersebut mencakup penertiban regulasi yang tumpang-tindih, transparansi dalam proses perizinan, perbaikan penegakan hukum, perbaikan mekanisme sertifikasi kayu, hingga pelibatan masyarakat dalam pemantauan tata kelola kehutanan.

 

FGI adalah program TI khusus korupsi sektor kehutanan, termasuk pemanenan hutan, produksi, konversi, ekspor, impor, dan proses tender produksi kayu bulat dan kayu olahan. Kemudian meneliti bagaimana korupsi dapat memicu pengelolaan hutan yang tidak lestari.  Program ini berada di negara-negara penyedia hasil hutan dan juga berada di negara yang memiliki permintaan tinggi terhadap hasil hutan.

 

Metode penelitian yang digunakan adalah berupa manual analisa korupsi di sektor kehutanan yang dikembangkan TI. Metode ini dirancang untuk mengidentifikasi modus korupsi bagi tata kelola hutan. Metode pengumpulan data melalui studi literatur tentang peraturan dan implementasi yang ada dan konsultasi dengan para pemangku kepentingan untuk menilai peluang korupsi dan risikonya.

 

Sekretaris Jenderal Kemehut, Hadi Daryanto tidak menjawab pesan singkat yang dikirim hukumonline untuk dimintai pendapat tentang hasil penelitian TII.

Tags: