Korupsi Era Pandemi adalah Korupsi Kemanusiaan
Kolom

Korupsi Era Pandemi adalah Korupsi Kemanusiaan

Korupsi kemanusiaan tak bisa ditoleransikan.

Bacaan 8 Menit

Namun dalam konteks HAM, pada prinsipnya, setiap korupsi berdampak baik langsung atau tidak langsung bagi rakyat dan pemerintahan di suatu negara. Pengusutan yang mendalam diharapkan bisa membongkar rahasia korupsi itu. Dalam perspektif HAM, adalah negara yang bertanggungjawab atas pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia. Perwujudan tanggungjawab negara termanifestasikan melalui tindakan aparatur negara yang mengelola dana publik untuk kesejahteraan rakyat. Menteri adalah aparatur negara. Menteri yang korupsi sama dengan negara korupsi. Menteri korupsi bansos, negara mengorupsi bansos.

Menteri korupsi kebijakan, rakyat kecil kehilangan mata pencaharian atau ruang hidup. Artinya, korupsi seperti suap atau gratifikasi oleh menteri atau pejabat negara/publik lainnya akan selalu berpotensi besar melanggar HAM atau menghancurkan kemanusiaan. Korupsi di tengah wabah kesehatan ini menampakan fenomena kemanusiaan hilang dalam jiwa yang fana. Apakah korupsi akan abadi? Semoga bukan korupsinya melainkan nama koruptorlah yang abadi agar dikenang dalam sejarah bahwa mereka merampok uang rakyat di tengah bencana.

Hukum Berat

Korupsi kemanusiaan tak bisa ditoleransikan. Hukuman berat harus dijatuhkan terhadap para pelaku. Menurut hemat Penulis, penting untuk memastikan bahwa hukuman yang berat menjerakan pelaku sepanjang hayatnya. Hukuman seumur hidup layak dipertimbangkan dalam konteks ini. Selain itu, walaupun jenis korupsi suap/gratifikasi misalnya, tapi dilakukan oleh menteri terhadap bansos dalam situasi krisis, sangat layak dipertimbangan hukuman pemiskinan koruptor dan/atau hukuman denda yang besar.

Jika aparat penegak hukum (penyidik, penuntut, dan hakim) tidak mempunyai sensitivitas dalam merumuskan hukuman berat, maka pemberantasan korupsi hanya omong kosong belaka. Potret hukuman pelaku korupsi selama ini masih jauh dari harapan. Hal ini bisa dilihat dari studi ICW. Misalnya, dalam tiga tahun terakhir vonis akhir pelaku korupsi rata-rata dalam kategori ringan: 2 tahun 2 bulan (2017), 2 tahun 5 bulan (2018), dan 2 tahun 7 bulan (2019). Tahun 2020 ini, pada kuartal-I vonis ringan masih berlanjut dengan rata-rata 3 tahun penjara. Tak hanya itu, tren penyunatan hukuman koruptor justru lebih banyak dilakukan di tingkat MA dan tren vonis bebas koruptor marak pula terjadi. KPK pun sempat mengonfirmasikan keramahan MA dengan data bahwa sepanjang tahun 2019-2020, ada 20 koruptor kelas kakap mendapatkan kortingan hukuman dari lembaga peradilan tertinggi itu.

Penulis berharap ini menjadi catatan penting. Penegak hukum harus berani dan punya komitmen yang tinggi dalam pemberantasan korupsi. Tujuan pemberantasan korupsi tak dapat tercapai bila tak dibarengi upaya pencegahan dan pelibatan peran serta masyarakat. Korupsi bansos atau ekspor benur misalnya,  telah menunjukan bahwa upaya pencegahan korupsi oleh pemerintah belum maksimal. Penataan sistem pencegahan perlu juga bersamaan dengan komitmen antikorupsi. Dan, akhirnya keterbukaan dan transparansi kepada publik wajib sifatnya agar ada aspirasi dan kontrol publik sehingga lebih tetap tujuan atau sasaran kebijakan tersebut. Sebagai sebuah bangsa, solidaritas dan soliditas dalam situasi genting ini penting digalakan. Pemerintah jangan sampai terlihat sekonyong-konyong ingin mengambil peran sendirian dalam level pengambilan kebijakan tingkat atas.

*)Korneles Materay, Peneliti Hukum.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait