Korban Kekerasan Debt Collector Mengadu ke DPR
Berita

Korban Kekerasan Debt Collector Mengadu ke DPR

Salah satunya adalah korban salah sasaran.

Yoz
Bacaan 2 Menit
Korban Kekerasan Debt Collector Mengadu ke DPR. Foto: SGP
Korban Kekerasan Debt Collector Mengadu ke DPR. Foto: SGP

Kekerasan debt collector bank terhadap nasabah pemegang kartu kredit bukanlah hal yang baru. Sebelum politikus Irzen Octa tewas, kasus kekerasan oleh debt collector terhadap nasabah pernah dialami Budi Prasetyo dan Muji Harjo, yang keduanya merupakan nasabah PT Bank UOB Indonesia. Keduanya mengadukan perilaku ‘algojo’ penagih utang itu kepada Komisi XI DPR, Selasa (14/2).

Nasabah Bank UOB Indonesia asal Semarang, Jawa Tengah, Budi Prasetyo, mengaku sebagai korban salah sasaran debt collector. Menurutnya, pada 19 September 2011, dirinya mengalami penganiayaan ketika sedang berkunjung ke rumah adiknya. Tiba-tiba datang seorang penagih utang ke rumah adiknya tersebut. Tanpa alasan yang jelas, dia langsung dipukuli sampai babak belur. “Dia langsung menyerang tanpa alasan dan saya malu karena menjadi tontonan masyarakat,” katanya.

Tak terima mendapat perlakuan kekerasan, Budi mencari tahu apa masalah yang sebenarnya. Rupanya si debt collector sedang mencari nasabah Bank UOB Indonesia yang menunggak tagihan kartu kredit. Dan belakangan diketahui, penganiayaan terhadap Budi salah sasaran. Soalnya, salah satu nasabah kartu kredit UOB Semarang yang seharusnya menjadi sasaran itu memiliki nama yang mirip dengan dirinya, yakni Budi Kuwat Raharja Urif.

Sebenarnya, kata Budi, dirinya tidak ingin memperkeruh masalah ini. Dia hanya menginginkan permintaan maaf secara langsung dari debt collector yang memukulinya.  Dia pun meminta agar Bank UOB Indonesia mempertemukan dirinya dengan para penagih utang. Namun, permintaan Budi ditolak. Dia pun mengambil jalan pintas dengan membeberkan masalah ini ke media massa. Namun, permintaan maaf tak kunjung datang dari pihak manajemen kepada dirinya.  

Sedangkan Muji Harjo adalah nasabah Bank UOB Indonesia asal Bandung, Jawa Barat. Dia mengaku dianiaya lantaran memiliki tunggakan kartu kredit sebesar Rp12 juta. Penganiayaan oleh debt collector dari PT Goti Wai Sarut (GWS) tersebut, memaksa dirinya harus dirawat di rumah sakit dan menghabiskan biaya sebesar Rp73 juta. “Saya sempat dirawat beberapa hari karena tulang mata saya retak,” ungkapnya.

Muji sendiri mengaku memiliki sembilan kartu kredit, yang salah satunya diterbitkan oleh Bank UOB Indonesia. Ia menerangkan, masing-masing batas kredit beragam mulai dari Rp5 juta hingga Rp12 juta.

Menurut Muji, Bank UOB Indonesia cabang Bandung sempat menawarkan uang sejumlah Rp25 juta kepada dirinya agar kasus ini tidak sampai ke telinga insan media. Tapi uang itu ditolak. Kemudian, ia kembali disodori uang Rp73,3 juta, yang antara lain Rp3,3 adalah untuk biaya pengobatan Muji selama perawatan di rumah sakit dan Rp70 juta untuk pengobatan di masa yang akan datang. Sekali lagi, upaya itu ditolak Muji. Dia lebih memilih mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Bandung.

Hanya saja, pada Juli 2011, melalui Putusan Nomor 53/PDT/G/2011/PN.BDG, Pengadilan Negeri Bandung menyatakan gugatan Muji tidak dapat diterima karena tidak memasukkan pelaku penganiayaan dalam materi gugatan senilai Rp10 miliar tersebut.

Keterangan Muji dibantah Presiden Direktur UOB Indonesia, Arman B Arief. Menurutnya tidak ada debt collector Bank UOB Buana yang menghakimi Muji. Menurutnya, tim penagih UOB Indonesia telah melalukan prosedur standar. Bahkan,  katanya,  Budi sendiri yang memulai pertikaian dengan anggota debt collector di lapangan. “Saudara Budi Prasetyo yang dorong duluan,” ujarnya.

Selebihnya, Arman menyerahkan permasalahan ini ke ranah hukum, di mana Pengadilan Negeri Bandung telah membuat putusan yang menyatakan pihaknya tidak bersalah.

Seperti diberitakan hukumonline sebelumnya, dibanding melakukan pembayaran secara cash, gesek tunai  menggunakan kartu kredit sepertinya sudah menjadi kegemaran masyarakat Indonesia. Ketua Tim Pengawasan Alat Pembayaran Bank Indonesia (BI) Puji Atmoko mengatakan fungsi kartu kredit banyak disalahartikan oleh masyarakat pengguna kartu kredit. Minimnya informasi dan pengetahuan masyarakat tentang fungsi pokok kartu kredit dan cara penghitungan bunga, membuat masyarakat terjebak dalam utang.

“Di sisi lain, pihak bank terlalu agresif dalam memasarkan kartu kreditnya,” ujar Puji dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (6/2) lalu.

Menurutnya, kebiasaan nasabah menggesek kartu kredit dalam setiap pembayaran berpotensi menimbulkan kredit macet. Berdasarkan catatan BI, dari 14 juta kartu yang dimiliki sekitar 7,5-8 juta nasabah, sekitar 4 persen diantaranya mengalami masalah kredit macet.

Atas dasar itu, pada 6 Januari 2012, BI mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No 14/2/PBI/2012 sebagai perubahan atas PBI No 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK). Perubahan peraturan itu didasarkan pertimbangan untuk menerapkan prinsip kehati-hatian, aspek perlindungan konsumen, dan manajemen risiko pemberian kredit dalam penyelenggaraan APMK.

Pertemuan antara korban, direksi Bank UOB Indonesia dan Komisi XI sendiri berakhir tanpa hasil. Komisi XI mengaku membutuhkan keterangan dari Budi Kuwat Raharja Urif. Selain itu, komisi berencana memanggil BI dan meminta agar Bank UOB Indonesia bersedia menghadirkan Tommy, debt collector yang bertikai dengan Muji.

“Yang pasti, penagihan pakai kekerasan itu sudah salah, apalagi sampai salah sasaran. Ini harus disikapi dengan tegas,” tandas anggota Komisi XI dari FPDIP, Arif Budimanta.

Tags:

Berita Terkait