Koordinasi Polisi dan Jaksa Perlu Ada Sejak Awal Penyidikan
Berita

Koordinasi Polisi dan Jaksa Perlu Ada Sejak Awal Penyidikan

Sejak awal perlu segera dilakukan koordinasi antara polisi dan jaksa dalam proses penyidikan. Ini penting karena proses prapenuntutan menjadi penyebab berbelit-belitnya penyelesaian perkara. Jaksa selalu mengembalikan berkas penyidikan kepada polisi karena kurang lengkap, sementara polisi lambat menyempurnakannya.

Tri/APr
Bacaan 2 Menit
Koordinasi Polisi dan Jaksa Perlu Ada Sejak Awal Penyidikan
Hukumonline

Selama ini, koordinasi antara polisi dengan jaksa hanya terbatas pada polisi menyerahkan hasil berkas penyidikannya kepada jaksa. Sementara jaksa hanya memeriksa hasil penyidikan polisi. Namun, ternyata oleh jaksa hasil penyidikan polisi selalu dikembalikan karena dinilai lemah serta menyulitkan jaksa dalam pembuktian.

Hal ini yang menjadi benang merah rangkuman hasil talk show Radio ARH bekerjasama dengan   hukumonline (13/5) dengan pembicara tamu Direktur LBH Jakarta Irianto Subiakto. "Walaupun sejak awal penyidikan antara polisi dan jaksa perlu koordinasi bersama, namun tetap saja polisi adalah penyidik tunggal dalam sistem pidana," kaata Irianto.

Selain masalah kurangnya koordinasi antara polisi dengan jaksa, jaksa hanya menerima berkas perkara yang sudah jadi. Karena itu, perlu juga ada ketegasan sanksi kepada polisi dan jaksa. Hal ini penting karena sering kali terjadi tindakan polisi atau jaksa, seperti melakukan penangkapan dan penahanan tanpa prosedur.

"Saya banyak mengalami itu. Pernah ada klien LBH, yang masa penahanannya sudah habis ternyata tidak juga dilepaskan. Dan Itu cukup lama, sekitar 10 hari. Orang yang seharusnya sudah bebas, tetapi tetap ditahan. Yah alasan, karena  administrasi. Padahal, ini jelas merampas kemerdekaan orang lain," tegas Irianto.

Persoalan lemahnya koordinasi antara polisi dengan jaksa dalam sistem pidana KUHAP juga diakui Barman Zahir, Kepala Pusat Penerangan dan Pelayanan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung yang dihubungi melalui telepon. "Iya memang seharusnya sudah ada koordinasi sejak awal penyidikan antara polisi dengan jaksa," ungkapnya.

Namun, Barman menegaskan bahwa walaupun begitu, sebenarnya hubungan polisi dengan jaksa selama ini telah berjalan baik. Tapi harus diakui, sering terjadi bolak balik berkas. "Dan ini menyebabkan penyelesaian perkara bertele-tele. Harusnya memang jaksa perlu dilibatkan karena nanti jaksa yang harus membuktikan hasil penyidikan," kata Barman.

Menguap

Talk show radio ARH dengan hukumonline yang menyajikan tema "fragmentasi tugas polisi dan jaksa dalam proses pidana" ini juga mempertanyakan, mengapa banyak sekali perkara pidana yang sudah masuk ke tahap penyidikan oleh pihak kepolisian. Namun, tidak ada surat perintah dimulainya penyidikan dari pihak jaksa.

Barman berpendapat bahwa hal itu sebaiknya ditanyakan kepada pihak kepolisian karena polisi lah yang meningkatkan suatu perkara dari tahap penyelidikan menjadi penyidikan. Namun sayangnya, Kadispen Polda Metro Jaya Komisaris Besar (Pol) Anton Bahrul Alam yang sedianya bergabung dalam talk show tidak bisa dihubungi.  

Berdasarkan data yang dikumpulkan Police Watch antara Januari s/d Juni 2001, untuk wilayah Polres Jakarta Barat saja ada sekitar 5.703 perkara yang masuk tahap penyidikan. Namun, hanya 582 perkara yang oleh pihak polisi dmintakan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP). Jadi artinya, 90% perkara lainnya menguap.

Menurut Irianto, hal ini mungkin disebabkan faktor pengadministrasian, baik itu di tingkat penyidikan maupun prapenuntutan. Di samping itu, jaksa sendiri yang sulit melakukan pengawasan terhadap setiap perkara yang disidik Polisi. Halangannya, baik karena keterbatasan sumber daya manusia atau jaksa sendiri sibuk melakukan penuntutan.

Revisi KUHAP

Untuk menyelesaikan fragmentasi peran polisi dan jaksa, perlu dicari langkah agar masyarakat pencari keadilan tidak dirugikan. Irianto mengemukakan, saat ini telah disusun rancangan perubahan UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. "Kalau tidak salah menurut Andi Hamzah (pakar hukum pidana, red), drafnya sudah ada di badan legislasi (Baleg) DPR," tuturya.

Yang terpenting dalam perubahan KUHAP nantinya adalah mengembalikan peran atau fungsi masing-masing  lembaga, yaitu polisi dan jaksa. Polisi adalah penyidik tunggal dalam sistem pidana. Sementara jaksa hanya bertugas melakukan penuntutan, tetapi untuk hal-hal tertentu harus sudah ada koordinasi dengan polisi.

Maksud hal tertentu adalah jaksa tidak mencampuri independensi penyidikan polisi. Namun, jaksa hanya membantu polisi dalam menguraikan unsur-unsur pasal yang disangkakan. Karena itu, nantinya antara polisi dengan jaksa tidak perlu lagi bolak-balik berkas yang menyebabkan penyelesaian perkara menjadi tidak berkesudahan.

Selain perlunya prosedur yang jelas, harus ada penindakan terhadap aparat kepolisian atau kejaksaan yang melakukan penyalahgunaan kewenangan. Karena sejauh ini, dalam UU Kepolisian (UU No.2 Tahun 2002), soal pengawasan terhadap aparat kepolisian masih memerlukan peraturan pemerintah (PP) yang sampai sekarang belum ada.

Tags: