Koordinasi Jadi Isu Penting dalam RUU Perbankan
Berita

Koordinasi Jadi Isu Penting dalam RUU Perbankan

Perbankan wajib bersinergi dengan industri keuangan lain agar perdalam pasar keuangan Indonesia.

FAT
Bacaan 2 Menit
Koordinasi Jadi Isu Penting dalam RUU Perbankan
Hukumonline
RUU Perbankan menjadi salah satu RUU yang akan diprioritaskan pembahasannya oleh DPR dan pemerintah. Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Muliaman D Hadad, mengatakan isu yang wajib masuk dalam RUU ini adalah adanya sinergitas baik antar regulator maupun antara industri bank dengan industri keuangan lainnya.

"Seperti asuransi maupun pasar modal," kata Muliaman dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Rabu (13/5).

Menurut Muliaman, hal ini diperlukan karena diperkirakan lima tahun mendatang kemajuan teknologi membuat wajah perbankan akan berubah. Kecepatan yang berujung pada efisiensi dan ketepatan menjadi tolak ukur industri bank dalam menghadapi kemajuan teknologi tersebut.

Bahkan, bukan tidak mungkin alat pembayaran berupa non tunai semakin diminati masyarakat dalam lima tahun ke depan. "Kita sudah membuat sampel 80 persen menginginkan multi channel, dia memiliki kantor cabang tetapi itu akan tertinggal kalau bank tidak responsif. Harus ada channel-channel lain, mobile banking, internet banking," kata Muliaman.

Atas dasar itu, koordinasi antar regulator menjadi isu penting yang harus dibangun dalam RUU Perbankan. Menurutnya, berubahnya wajah perbankan tersebut menyebabkan persinggungan kewenangan antara OJK dan Bank Indonesia (BI) semakin nyata. Koordinasi dilakukan agar terjadinya mekanisme kerja yang harmonis antar regulator.

"Jadi, mau tidak mau ke depan semangatnya semangat kordinasi dengan realitas yang kita saksikan. Ini juga memberikan manfaat untuk saling kontrol," tutur Muliaman.

Ia tak membantah kalau selama ini industri perbankan menjadi sektor utama dalam mendukung perekonomian nasional. Namun, dengan adanya Loan to Deposit Ratio (LDR) yang semakin mencekik dan ketersediaan dana hanya jangka pendek, membuat tuntutan pembiayaan infrastruktur semakin sulit terealisasikan.

Atas dasar itu, lanjut Muliaman, RUU Perbankan yang akan dibahas tersebut wajib memasukkan klausul mengenai sinergitas antara industri perbankan dengan industri keuangan lainnya. Sinergi ini dilakukan agar tuntutan pembiayaan infrastruktur yang memiliki sifat jangka panjangan tersebut bisa tercapai.

"Makanya kita mesti geser sedikit bagaimana bank base sistem menjadi market base environment kita geser dan pembiayaan jangka panjang bisa dialihkan ke pasar modal atau asuransi. Oleh karena itu memerlukan diskusi panjang," kata Muliaman.

Selain itu, OJK juga concern dengan adanya asas resiprokal dalam pengembangan bisnis industri perbankan dalam negeri. Asas ini diperlukan agar bukan hanya satu negara saja yang memperoleh keuntungan, tapi kedua negara yang bekerjasama. Penerapan asas ini termasuk dengan masuknya modal asing dalam perbankan Indonesia.

"Modal asing memang perlu tetapi syaratnya integrasi itu harus saling menguntungkan," kata Muliaman.

Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas), Sigit Pramono, menambahkan menjelang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), persaingan di industri perbankan akan semakin ketat. Untuk menghadapi hal tersebut, ia sepakat bahwa konsolidasi di industri perbankan menjadi sebuah keniscayaan.

"Menurut saya menghadapi MEA konsolidasi perbankan itu perlu, kita masih sangat tabu melakukan merger padahal di Malaysia itu banyak yang merger. Kalau kita tidak melakukan merger kita tidak akan kemana-mana jadi merger harus tetap terbuka," kata Sigit.

Untuk substansi RUU Perbankan, Sigit mengatakan, perlu dipertegas bahwa regulator bagi industri perbankan kini ada dua, yakni BI dan OJK. Meski BI berwenang dalam makroprudensial, tapi masih memiliki wewenang dalam sistem pembayaran yang ada di industri perbankan.

"Bukan cuma sistem pembayaran saja yang ada di BI, karena ketika dia membuat kebijakan makroprudensial harus melalui perbankan, misalnya ingin menurunkan suku bunga harus melibatkan perbankan, melonggarkan kebijakan LTV harus melibatkan perbankan juga," kata Sigit.

Selain itu, lanjut Sigit, Perbanas juga mengusulkan adanya kajian secara hati-hati mengenai substansi transmisi stabilitas sistem moneter, pembatasan modal asing di industri perbankan dalam RUU Perbankan. "Karena kalau dibatasi kita (pengusaha lokal) butuh ratusan triliun untuk mengambil alih modalnya, itu besar sekali. Saya juga setuju kantor cabang bank asing harus menjadi PT (Perseroan Terbatas)," katanya.

Bukan hanya itu, kata Sigit, dalam RUU Perbankan setidaknya terdapat dua jenis bank, yakni bank umum dan bank khusus. Untuk bank khusus adalah industri perbankan yang memiliki core bisnis secara khusus.

"Seperti, BTN yang fokus di properti bank khusus, BPR bank khusus yang melakukan kredit mikro. Kenapa dibedakan karena ke depan regulasinya harus beda," pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait