Konvensi Jenewa Ditafsirkan Sesuai Kepentingan Masing-Masing Pihak
Berita

Konvensi Jenewa Ditafsirkan Sesuai Kepentingan Masing-Masing Pihak

Selama invasi AS ke Irak, TV dan media massa lainnya berlomba menayangkan berbagai berita tentang perang tersebut. Termasuk, menayangkan gambar tawanan perang dari keduabelah pihak melalui televisi dan media AS maupun Irak. Apakah mereka melanggar Konvensi Jenewa?

Nay
Bacaan 2 Menit
Konvensi Jenewa Ditafsirkan Sesuai Kepentingan Masing-Masing Pihak
Hukumonline

Presiden AS, George W. Bush dan Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld mengecam penayangan gambar tentara AS yang menjadi tawanan perang atau Prisoners of War (POW) yang disiarkan oleh TV Irak dan direlai oleh Aljazeraa. Bush menyatakan bahwa pemunculan tawanan perang menyalahi Konvensi Jenewa yang melarang pemunculan tawanan perang.

Padahal, beberapa hari sebelumnya, CNN berulangkali menayangkan gambar tawanan Irak. Bahkan di halaman depan Washington Post pada Senin (24/03), terdapat gambar tawanan  perang dari Irak yang sedang dipegangi  oleh tentara AS.

Pasal 13 dari Konvensi Jenewa tahun 1949 menyatakan bahwa tawanan perang tidak boleh diekspose kepada keingintahuan publik. Apakah dengan menayangkan gambar tawanan  perang, berarti kedua negara telah melanggar Konvensi Jenewa?

Kepentingan politik negara

Ifdal Kasim dari Elsam menyatakan bahwa ekspose yang dimaksud dalam konvensi Jenewa itu adalah mengeksploitasi tawanan perang untuk kepentingan politik negara yang menahan. "Itu yang tidak boleh," ujar Ifdal kepada hukumonline.

Sementara penayangan gambar tawanan perang, sepanjang dalam konteks memberitakan bahwa ada tawanan perang, hal itu tidak menyalahi Konvensi Jenewa. Karena tawanan perang itu dilindungi, maka mereka harus terbuka untuk diakses oleh publik. Jika akses untuk publik tertutup, tidak akan ada kontrol apakah pasukan yang menangkap melakukan penyiksaan atau tidak.  "Hal itu tidak akan diketahui jika tidak ada akses bagi media," tutur Ifdal.

Ifdal menyatakan, sulit untuk menentukan batas tindakan mana yang dapat dianggap sebagai eksploitasi tawanan dan tindakan mana yang hanya merupakan pemberitaan.

Ketentuan dalam Konvensi Jenewa itu diinterpretasi oleh masing-masing negara sesuai dengan kepentingannnya. "Ada kepentingan politik negara tertentu dalam menafsirkan pasal-pasal yang umum dalam konvensi Jenewa, meskipun itu disangkal," ujar Ifdal.

Menurut Ifdal, wawancara yang dilakukan oleh TV Irak terhadap tentara AS yang menjadi tawanan  perang,  dapat dianggap sebagai eksploitasi dan merupakan bentuk pelanggaran konvensi Jenewa. Namun, Ifdal menyatakan bahwa AS juga melakukan pelanggaran terhadap humanitarian law. Khususnya, Konvensi Jenewa ketika memperlakukan tawanan perang dari Afghanistan.

Saat itu, tentara Taliban yang tertangkap oleh pasukan AS, mengalami penyiksaan. Dan di Guantanamo Bay, Kuba, mereka ditahan dengan kaki dirantai dan ditahan dalam tempat penahanan yang tidak manusiawi. Mereka ditahan di lapangan terbuka sehingga kepanasan dan kehujanan. Padahal, dalam Konvensi Jenewa jelas diatur proteksi terhadap tawanan perang.

AS memang mengelit tentara Taliban itu adalah milisi, sehinga tidak harus mengikuti Konvensi Jenewa. "AS, jika untuk kepentingannya, ia  bertahan dengan konvensi Jenewa. Tetapi jika tidak menyangkut kepentingannya, ia bisa melanggar Konvensi Jenewa, seperti tawanan-tawanannya di Guantanamo," tukas Ifdal.

Pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa, menurut Ifdal, dapat diadili melalui ad hoc tribunal sepanjang belum efektifnya International Criminal Court (ICC). Karena ICC hanya mengikat negara yang menjadi peserta ICC, sedangkan AS dan Irak bukan bagian dari ICC, maka jalan keluarnya untuk mengadili pelanggaran itu adalah melalui ad hoc tribunal yang diprakarsai oleh Dewan Keamanan PBB. 

Menurut Ifdal, AS yang melanggar norma hukum internasional, Konvensi Jenewa, berbagai treaty, maupun resolusi-resolusi PBB dapat diajukan ke Mahkamah Internasional. Namun karena law enforcement ada di tangan PBB, maka PBB yang seharusnya mengambil inisiatif untuk membicarakan pelanggaran oleh AS karena melakukan penyerangan ke Irak tanpa ada legitimasi dari PBB.

Korban sensor

Sementara itu, sebuah situs alternatif yang populer di internet, YellowTimes.org, menjadi korban sensor karena menayangkan gambar-gambar tentara AS yang menjadi tawanan perang. Yellowtimes juga menayangkan gamar-gambar masyarakat sipil Irak yang menjadi korban. Penyensoran tersebut dilakukan oleh perusahaan provider AS. Sejak itu, Yellowtimes tidak lagi bisa diakses. 

Yang menarik, dikabarkan bahwa CNN menanyakan pada juru bicara Aljazeera mengapa mereka menayangkan gambar tentara AS yang menjadi tawanan. Namun,  juru bicara Aljazeera itu balik menanyakan mengapa stasiun TV AS boleh menayangkan tentara Irak yang menjadi tawanan perang

Apa jawaban CNN? Aaron Brown dari CNN menyatakan, "Karena keluarga mereka (para tawanan-red)  tidak akan menonton". Sebuah jawaban yang jelas menghina intelektualitas masyarakat. 

 

Tags: