Kontroversi ‘Pasal Eksekusi’ Dinilai Wajar
Berita

Kontroversi ‘Pasal Eksekusi’ Dinilai Wajar

Pemohon diminta meyakinkan majelis bahwa perdebatan penerapan pasal itu bernilai konstitusional.

ASH
Bacaan 2 Menit
Kontroversi ‘Pasal Eksekusi’ Dinilai Wajar
Hukumonline

Majelis Panel MK menggelar sidang perdana pengujian Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP yang dimohonkan Taufik Basari yang mengatasnamakan advokat, Rabu (15/5) di Gedung MK. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai M. Akil Mochtar, Taufik mengatakan permohonan ini untuk meminta MK menafsirkan ulang terkait penerapan Pasal 197 ayat (1) huruf K itu.

Dia beralasan hingga kini tafsir Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP itu masih menimbulkan perdebatan di kalangan praktisi hukum, khususnya sejak muncul kasus penolakan eksekusi mantan Kabareskrim Susno Duadji oleh kejaksaan terkait tak dimuatnya perintah penahanan dalam putusan banding dan kasasi.

“Multitafsir itu terletak dalam kata ‘ditahan’ dan ‘tahanan’ dalam Pasal 197 (1) huruf k KUHAP,” kata pria yang akrab disapa Tobas dalam sidang pemeriksaan pendahluan di Gedung MK, Rabu (15/5).

Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAp berbunyi, “surat putusan pemidanaan memuat : (k) perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.”

Tobas mengakui pasal tersebut sebenarnya sudah pernah diuji oleh Parlin Riduansyah lewat kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra. Hal itu tercermin dalam putusan MK No. 069 PUU/X/2012, yang intinya menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya, lalu mengadili sendiri dengan menyatakan Pasal 197 ayat (2) huruf k itu inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Karenanya, terdapat potensi atau kemungkinan permohonan ini bakal nebis in idem karena objek perkaranya sama. “Bagi pemohon tidak masalah, kalaupun nanti nebis in idem, setidaknya dalam pertimbangan putusannya ada kesempatan bagi MK untuk menjawab polemik yang terjadi di tengah masyarakat,” ujarnya.

Menurut pemahamannya, istilah “ditahan” dan “tahanan” itu terkait dengan istilah penahanan yang dilakukan terhadap seorang tersangka/terdakwa guna kepentingan proses pemeriksaan. Baik di tingkat penyidikan, penuntutan dan sidang pengadilan.  

Karenanya, lanjut Taufik, perintah penahanan yang masuk dalam putusan hanya berlaku dan dimuat dalam amar putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Sementara putusan MA tidak perlu lagi ada perintah penahanan. Hal itu dapat dilihat dalam Pasal 193 dan Pasal 242 KUHAP. Artinya, dalam putusan kasasi tidak diatur harus memuat perintah penahanan.

Menanggapi permohonan, Akil mengingatkan perdebatan penerapan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP dalam masyarakat merupakan hal yang wajar. Hal ini terjadi dalam putusan-putusan MK sebelumnya, seperti putusan MK soal Badan Hukum Pendidikan (BHP), BPH Migas, status Sekolah Internasional, Anak Luar Kawin hingga perselisihan hasil Pemilukada yang menjadi landmark decision yang wajib ditaati.  

“Apalagi putusan MK uji materi Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP ini yang pastinya akan memancing atau menimbulkan polemik tergantung sudut pandang masing-masing profesi. Tetapi, sudut pandangnya itu bukan konstitusional, sehingga perdebatan hukum terkait pasal itu wajar-wajar saja,” kata Akil.  

Akil menjelaskan putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga apa yang mau diperdebatkan lagi. “Kalau mau diperdebatkan lagi argumentasi Saudara yang memasukkan batu uji Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, padahal ciri negara hukum itu kan taat terhadap putusan lembaga hukum, apalagi? Persoalan ini hanya karena orang besar dan populer, tetapi belum tentu menyangkut konstitusionalitas,” kritiknya.

Karena itu, dia menyarankan agar permohonan ini dipikirkan kembali agar bisa meyakinkan majelis bahwa perdebatan atau polemik penerapan pasal itu bernilai konstitusional. “Tidak hanya sekedar polemik hukum, yang itu wajar sebagai akibat adanya putusan MK,” tegasnya.                              

Dia juga mempertanyakan apakah perlu MK kembali memberi tafsir resmi terhadap Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP itu. “Bukankah aparat penegak telah menerapkan pasal itu dengan penafsiran sistematis? Mereka kan menggunakan penafsiran sistematis juga kok sama seperti penafsiran pemohon. Ini perdebatan kita yang harus Saudara jawab!”            

Untuk diketahui, dalam putusan kasasi, MA menolak permohonan kasasi yang diajukan penuntut umum dan terdakwa (Susno), sehingga eksekusi mengacu pada putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Akan tetapi, majelis banding dalam amarnya tidak memuat perintah penahanan dan keliru mencantumkan nomor register, nama, dan tanggal perkara.

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta berdalih ketika amar putusan banding yang tidak mencantumkan perintah penahanan tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum. Soalnya, status penahanan Susno - yang saat putusan itu dijatuhkan tidak dalam status tahanan– merupakan diskresi hakim tinggi. Sebab, dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP tidak ada klausul agar “terdakwa tetap tidak ditahan.”  

Tags: