Kontroversi Kedaulatan Udara: Complete and Exclusive Sovereignty
Kolom

Kontroversi Kedaulatan Udara: Complete and Exclusive Sovereignty

​​​​​​​Tindakan Pemerintah Indonesia terhadap Ethiopian Airlines bukanlah tindakan pelanggaran, bahkan memiliki justifikasi dalam Hukum Internasional.

Bacaan 2 Menit
Prita Amalia. Foto: Istimewa
Prita Amalia. Foto: Istimewa

Ketika bangsa Indonesia menjalani proses demokrasi, menyalip suatu peristiwa strategis dalam memahami kedaulatan NKRI. Pada tanggal 14 Januari 2019, sebuah pesawat dengan nomor penerbangan ET 3728 dipaksa turun oleh TNI AU karena diduga melintasi wilayah udara Indonesia tanpa izin. Pesawat tersebut adalah pesawat milik Ethiopian Airlines, yang akhirnya dipaksa turun dan akhirnya mendarat di Bandara Hang Nadim, Batam.

 

Menurut informasi, pesawat tersebut merupakan pesawat penerbangan tidak berjadwal (non-scheduled flights) yang memiliki rute Addis Ababa- Hongkong dan merupakan penerbangan yang memuat cargo. Pesawat ini direncanakan menuju Singapura untuk menurunkan cargo berupa mesin pesawat yang memerlukan perawatan. Proses pendaratan Ethiopian Airlines di Bandara Hang Nadim, Batam dilakukan dengan didampingi oleh dua pesawat tempur TNI AU jenis F16.

 

Dalam pernyataannya, Ethiopian Airlines berpendapat bahwa penerbangan yang dilakukan oleh salah satu pesawat cargonya merupakan jenis penerbangan tidak berjadwal sehingga berdasarkan Pasal 5 Chicago Convention 1944 diperbolehkan untuk melintasi wilayah udara negara tanpa meminta izin terlebih dahulu. Pernyataan ini disampaikan oleh Ethiopian Airlines melalui akun twitter resminya. Lebih lanjut Ethiopian Airlines menyatakan bahwa pihaknya telah mengikuti permintaan dan instruksi mendarat serta telah memberikan penjelasan mengenai penerbangan tersebut.

 

Chicago Convention 1944 merupakan salah satu konvensi atau perjanjian internasional yang mengatur mengenai penerbangan sipil internasional. Secara lengkap konvensi ini berjudul Convention on International Civil Aviation 1944. Konvensi ini digunakan sebagai sumber hukum dalam setiap kegiatan penerbangan internasional negara-negara, dan termasuk pada suatu perjanjian internasional yang bersifat law making treaty.

 

Salah satu ketentuannya yang penting dan juga menjadi prinsip utama dalam hukum internasional adalah mengenai kedaulatan negara di ruang udara yang diatur dalam Pasal 1. Pasal ini mengatur sebagai berikut The Contracting States recognized that every state has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory.

 

Ketentuan dalam pasal ini, berisi 2 kata yang merupakan unsur penting mengenai kedaulatan negara di ruang udara yaitu complete dan exclusive. Bahwa negara peserta mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan terhadap ruang udara di atas wilayahnya secara complete dan exclusive. Ketentuan ini tidak hanya berlaku bagi negara peserta (contracting states) tetapi juga berlaku bagi semua negara. Hal ini juga mengingat bahwa semua negara di dunia ini memiliki ruang udara.

 

Penafsiran mengenai complete dan exclusive terkait dengan kedaulatan negara di ruang udara inilah yang untuk selanjutnya akan menjiwai semua ketentuan yang ada dalam konvensi mengenai penerbangan internasional ini termasuk ketentuan mengenai penerbangan tidak berjadwal (non scheduled flights) yang diatur dalam Pasal 5 Chicago Convention 1944. Prinsip-prinsip yang ada dalam Chicago Convention 1944 merupakan penyempurnaan dari konvensi sebelumnya yaitu Konvensi Paris 1919 yaitu Convention for the Regulation of Aerial Navigation).

 

Chicago Convention 1944 membedakan dua jenis penerbangan yang untuk selanjutnya memiliki karakteristik dan juga hak serta kewajiban yang berbeda. Penerbangan yang dimaksud adalah penerbangan berjadwal (scheduled flight) dan penerbangan yang tidak berjadwal (non scheduled flight).

 

International Civil Aviation Organization (ICAO) memberikan batasan atau definisi mengenai yang dimaksud dengan scheduled flight atau services yaitu merupakan penerbangan yang memiliki karakteristik di antaranya melakukan penerbangan melintasi wilayah suatu negara lebih dari satu negara, dilakukan oleh pesawat untuk melakukan pengangkutan terhadap penumpang, cargo untuk suatu remunerasi dan juga terbuka untuk publik dan juga berdasarkan suatu jadwal yang terpublikasikan ataupun merupakan suatu penerbangan yang regular atau dengan frekuensi tertentu.

 

Sedangkan non scheduled flight merupakan penerbangan yang biasa dikenal dengan chartered aircraft yang terdiri dari empat kategori yaitu penerbangan carter yang mengangkut penumpang (passenger charter flight), penerbangan carter untuk cargo (cargo charter flight), atau kombinasi diantara keduanya ataupun jenis penerbangan lain yang tidak berdasarkan suatu jadwal yang dipublikasikan namun dilakukan untuk individu tertentu. 

 

Untuk penerbangan tidak berjadwal atau non-scheduled flight, Chicago Convention 1944 mengaturnya dalam Pasal 5. Lebih lanjut, konvensi memberikan batasan bahwa terhadap penerbangan tidak berjadwal ini negara peserta sepakat untuk memberikan hak kepada jenis penerbangan ini untuk terbang melintasi atau transit tanpa berhenti atas wilayah udara suatu negara atau untuk melakukan pendaratan dengan tujuan non-traffic purposes tanpa lebih dulu mendapatkan izin dari negara setempat. 

 

Pengaturan Pasal 5 ini adalah sebagai bentuk diimplementasikannya hak lintas damai (innocent passage) dalam aktifitas penerbangan. Namun demikian, dalam pasal ini lebih lanjut ada beberapa ketentuan yang memerlukan penafsiran dan juga tidak terlepas dari ketentuan pasal lainnya dari Chicago Convention 1944. Bahwa ketentuan Pasal 5 ini juga mengakui bahwa implementasi pasal ini tidak dapat terlepas dari ketentuan untuk tujuan dari konvensi melalui ketentuan, subject to the observance of the terms of this convention. Selain itu juga, pasal ini memberikan kemungkinan adanya hak bagi setiap negara untuk mengatur dan memberikan atau tidak memberikan izin terhadap jenis penerbangan tersebut.

 

Berbeda halnya dengan ketentuan Pasal 6 Chicago Convention 1944 yang dengan tegas mengatur berbeda terhadap ketentuan penerbangan berjadwal (scheduled flights). Dengan tegas pasal ini mengatur bahwa terhadap suatu penerbangan berjadwal yang beroperasi dan melintas wilayah udara suatu negara peserta harus mendapatkan izin atau otorisasi dari negara setempat dan tidak ada suatu penerbangan berjadwal yang dapat beroperasi tanpa izin atau otorisasi dari negara setempat atau juga yang dikenal dengan negara kolong (subjacent state).

 

Implementasi Pasal 5 Chicago Convention 1944 khususnya terhadap kasus Ethiopian Airlines sudah seharusnya ditafsirkan dengan memperhatikan ketentuan -ketentuan lain dalam Chicago Convention 1944 serta memperhatikan tujuan dari konvensi untuk menghormati kedaulatan negara di ruang udara. Walaupun Pasal 5 Chicago Convention 1944 mengatur bahwa terhadap non scheduled flight memiliki hak untuk untuk terbang melintasi wilayah udara negara lain tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu, namun hak tersebut dapat dikatakan sebagai hak terbatas yang dibatasi oleh ketentuan pasal lain dari Chicago Convention 1944.

 

Paling utama ketentuan yang harus diperhatikan adalah kedaulatan negara di ruang udara yang bersifat complete dan exclusive. Pemberian izin atau otorisasi pada pesawat udara negara lain untuk melintasi wilayah ruang udara suatu negara merupakan penafsiran dari prinsip exclusive.  

 

Prinsip exclusive dalam kedaulatan negara di ruang udara dapat diartikan bahwa sifat kedaulatan di ruang udara adalah tertutup dan exclusive hanya negara di yang berada di bawah ruang udara tersebut yang memiliki kedaulatan penuh. Sehingga pemanfaatan lain ruang udara suatu negara oleh negara lain baik berupa pengangkutan atau penerbangan yang melintasi wilayahnya dapat diberikan hanya dengan izin atau otorisasi yang diberikan oleh negara kolong. Norma ini pun sebetulnya sudah terdapat secara tersirat dalam Pasal 5 Chicago Convention 1944.

 

Lebih lanjut, pasal lain yang juga harus diperhatikan dalam implementasi Pasal 5 ini adalah Pasal 12 dan 13 Chicago Convention 1944. Pasal 12 mengatur bahwa seluruh negara peserta konvensi sepakat untuk memastikan bahwa setiap pesawat udara sipil yang terbang melintasi atau melakukan manuver di atas suatu wilayah dan pesawat tersebut memiliki tanda kebangsaan pesawat harus mematuhi peraturan dan regulasi. Ketentuan dalam pasal ini memungkinkan bahwa setiap negara peserta untuk mengaturnya dalam regulasinya sesuai dengan kepentingan nasionalnya dengan memperhatikan ketentuan konvensi.

 

Sedangkan Pasal 13 Chicago Convention 1944 kembali menegaskan mengenai hukum dan regulasi yang dimiliki oleh suatu negara anggota khususnya yang terkait dengan kedatangan atau keberangkatan dari wilayah negara anggota, terkait awak kabin atau cargo seperti yang terkait dengan ketentuan masuk, clearance atau izin, imigrasi, paspor, pajak dan karantina harus dipatuhi oleh seluruh penumpang, awak kabin, cargo yang akan memasuki wilayah atau akan melakukan melakukan keberangkatan dari suatu negara peserta.

 

Berdasarkan ketentuan-ketentuan pasal tersebut sangat dimungkinkan bahwa suatu negara peserta Chicago Convention 1944 memiliki ketentuan yang beragam khususnya mengenai non scheduled flight atas dasar penafsiran yang bersifat luas terhadap ketentuan Pasal 5 Chicago Convention 1944 sebagai bentuk implementasi kedaulatan suatu negara di atas ruang udara. Sehingga penafsiran tersebut memberikan batasan terhadap dilaksanakannya hak yang dimiliki oleh segala bentuk penerbangan yang memenuhi karakteristik non scheduled flights.

 

Bentuk regulasi tersebut dapat berupa dikeluarkannya surat izin atau flight clearance yang disyaratkan bagi seluruh pesawat carter atau penerbangan individual ataupun dapat berupa syarat untuk memberikan pre -flight notification. Sampai saat ini, praktik negara dimungkinkan untuk beragam dalam mengatur mengenai non scheduled flight, namun demikian tentu regulasi tersebut tetap mengacu pada prinsip utama dan tujuan utama dari implementasi konvensi.

 

Dengan adanya penafsiran terhadap Pasal 5 Convention Chicago 1944, praktik negara yang beragam memungkinkan adanya perbedaan praktik terhadap implementasi pasal ini. Namun demikian hal tersebut dimungkinkan atas dasar kedaulatan negara. Penafsiran sempit terhadap Pasal 5 ini yaitu justru akan memberikan kesan yang berbeda dan tidak sesuai dengan implementasi prinsip kedaulatan negara di ruang udara.

 

Indonesia sebagai salah satu negara peserta Chicago Convention 1944 memiliki hukum nasional yang mengatur mengenai penerbangan yaitu melalui UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. UU ini merupakan pengganti dari undang-undang sebelumnya yaitu UU No 15 Tahun 1992. UU Penerbangan Indonesia mengenai kegiatan angkutan udara yang terdiri atas angkutan udara niaga dan angkutan udara bukan niaga. Angkutan udara niaga yang diatur dalam undang-undang penerbangan ini mengatur angkutan udara dalam negeri dan angkutan udara niaga luar negeri. Hal ini diatur dalam Pasal 83 UU Penerbangan 2009.

 

Indonesia termasuk salah satu negara yang mengatur dan memberikan batasan hak terhadap penerbangan tidak berjadwal luar negeri atau yang dalam undang-undang ini diatur sebagai angkutan udara niaga tidak berjadwal. Terkait dengan angkutan udara niaga ini diatur dalam Pasal 93 UU Penerbangan yaitu bahwa undang-undang mengatur bahwa kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri yang dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga asing wajib mendapatkan persetujuan terbang oleh Menteri.

 

Lebih lanjut, terkait dengan pengamanan wilayah udara Indonesia, Pemerintah Indonesia mengaturnya dalam PP No 4 Tahun 2018 Tentang Pengamanan Wilayah Republik Indonesia, khususnya terkait dengan pesawat udara sipil asing tidak berjadwal peraturan pemerintah ini mengatur bahwa terhadap pesawat tersebut harus memiliki izin diplomatik (diplomatic clearance), izin keamanan (security clearance) dan persetujuan terbang (flight clearance) dan terhadap pesawat udara yang tidak memiliki izin hal tersebut merupakan pelanggaran.

 

Terkait dengan kasus dugaan pelanggaran wilayah kedaulatan udara yang dilakukan pesawat udara Ethiopian Airlines yang memasuki wilayah Republik Indonesia, walaupun penerbangan tersebut merupakan penerbangan tidak berjadwal dan tunduk pada Pasal 5 Chicago Convention 1944 namun implementasi dari pasal tersebut harus memperhatikan implementasi ketentuan lain dari Chicago Convention 1944 dengan menghormati kedaulatan udara suatu negara yang sudah merupakan prinsip yang diakui secara internasional.

 

Sehingga tindakan Pemerintah Indonesia yang menggiring pesawat tersebut untuk mendarat dengan dugaan memasuki wilayah Republik Indonesia tanpa izin merupakan suatu bukti implementasi kedaulatan Indonesia terhadap ruang udara yang bersifat complete dan exclusive. Tindakan Pemerintah Indonesia terhadap Ethiopian Airlines bukanlah tindakan pelanggaran, bahkan memiliki justifikasi dalam Hukum Internasional.

 

*)Prita Amalia, SH., MH adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Tags:

Berita Terkait