Kontroversi Berlakunya UU Cipta Kerja Pasca Putusan MK Bagian I
Kolom

Kontroversi Berlakunya UU Cipta Kerja Pasca Putusan MK Bagian I

Khususnya terkait penetapan penyesuaian UMP DKI Jakarta tahun 2022.

Bacaan 7 Menit
Umar Kasim. Foto: Istimewa
Umar Kasim. Foto: Istimewa

Sejak dimulai gagasan perampingan regulasi peraturan perundang-undangan melalui metode omnibuslaw ke dalam RUU Cipta Lapangan Kerja -karena dianggap hyper-regulation dan mengalami “obesitas”- selalu menuai masalah. Mungkin karena sebab itu pada awalnya sering disebut dengan istilah “RUU Cilaka”.

Meski telah diundangkan menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau lazim disebut UU Ciptaker, hingga saat ini masih juga diterpa berbagai persoalan yang tak kunjung berakhir. Salah satu persoalan yang sempat memanas di akhir tahun 2021 -dan di awal tahun 2022-, adalah ketika pertama kali diterapkan penetapan penyesuaian -nilai- upah minimum provinsi (UMP) merujuk pada UU Ciptaker.

Sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (1) dan (2) PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (PP 36/2021) sebagai amanat UU Ciptaker, pada tanggal 19 atau 20 November 2021 ditetapkan penyesuaian nilai UMP tahun 2022 di seluruh Indonesia, termasuk di DKI Jakarta.

Namun hasil penyesuaian nilai UMP di masing-masing provinsi, kenaikannya relatif sangat kecil, hanya -bervariasi- (rata-rata) sekitar 1,09% yang -hal ini- oleh buruh dianggap tidak layak. Bahkan ada empat provinsi yang tidak bisa menyesuaikan, karena “naik” melampaui batas -on top- yang ditentukan. Sementara di DKI Jakarta sendiri, hanya naik senilai 0,85%, lebih rendah dari angka rata-rata nasional.

Kebijakan tersebut memicu aksi-aksi unjuk rasa oleh beberapa organisasi serikat pekerja atau serikat buruh di berbagai daerah, yang tegas menolak penyesuaian nilai UMP menggunakan rumus atau formula UU Ciptaker.

Kemudian, pada tanggal 25 November 2021, muncul kembali permasalahan saat diucapkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUU/XVIII/2020 terkait uji formil UU Ciptaker, dan Putusan MK No. 103/PUU/XVIII/2020 mengenai uji materil UU dimaksud terhadap UUD 1945. Dengan Putusan MK tersebut, terjadi silang pendapat -di antara para ahli hukum dan praktisi serta pembuat kebijakan- mengenai berlaku tidaknya UU Ciptaker pasca Putusan MK dimaksud.

Setelah itu, persoalan memanas lagi pada medio Desember 2021 saat Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, menerbitkan perubahan (revisi) penetapan penyesuaian nilai UMP DKI Jakarta yang (oleh pengusaha) dianggap bertentangan dan tidak sejalan dengan UU Ciptaker. Walaupun -sebaliknya- justru mendapat dukungan dari serikat buruh, sehingga mengakibatkan “Anies Effect” terjadinya penolakan penyesuaian nilai UMP versi UU Ciptaker di beberapa propinsi lainnya. Akibatnya, revisi tersebut menjadi “buah simalakama” dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Tags:

Berita Terkait