KontraS: Rekomendasi TGIPF Tidak Tegas
Terbaru

KontraS: Rekomendasi TGIPF Tidak Tegas

Sejak awal seharusnya investigasi yang dilakukan TGIPF menelusuri potensi pelanggaran HAM berat tragedi stadion Kanjuruhan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti. Foto: ADY
Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti. Foto: ADY

Tim Independen Gabungan Pencari Fakta (TGIPF) telah menyampaikan laporan kepada Presiden Joko Widodo, Jumat (14/10) lalu. Laporan itu menguraikan banyak temuan dan rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti berbagai pihak seperti pemerintah, PSSI, Polri, TNI, dan Liga Indonesia Baru (LIB). Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, menilai rekomendasi TGIPF tidak memberikan kesimpulan dan rekomendasi dengan tegas terkait dugaan kejahatan sistematis yang dilakukan aparat keamanan.

Padahal TGIPF menemukan sejumlah fakta yang mengarah pada aktor high level yang berpotensi pada pelanggaran HAM yang berat dan dugaan tindak obstruction of justice yang perlu diusut lebih jauh. “TGIPF seharusnya sejak awal mengkonstruksikan tragedi kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM yang berat, bukan sebagai pidana biasa,” kata Fatia dikonfirmasi, Rabu (19/10/2022).

Fatia berpendapat tragedi stadion Kanjuruhan harus dikonstruksikan sebagai pelanggaran HAM berat mengingat terjadi serangan secara sistemik oleh aparat terhadap penduduk sipil. Sehingga berpotensi terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana ditegaskan pasal 9 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Menurut Fatia tidak tegasnya desakan TGIPF bisa dilihat dari rekomendasi yang ditujukan kepada Polri dan TNI. TGIPF seolah menutup mata bahwa ada pertanggungjawaban hukum terhadap atasan dalam penggunaan kekuatan oleh aparat. Dalam laporannya TGIPF menyebut ada dugaan penembakan gas air mata yang dilakukan di luar komando.

Padahal dalam doktrin pertanggungjawaban komando jelas sekalipun penggunaan kekuatan tidak berdasarkan perintah atasan, maka komandan atau pimpinan kesatuan tersebut tetap bertanggung jawab secara hukum. Karena berdasarkan kewenangan yang dimilikinya tidak melakukan kontrol dan pencegahan kepada bawahan sehingga timbul korban.

Fatia juga menyoroti dugaan terjadinya obstruction of justice yang dilakukan aparat kepolisian. Laporan TGIPF menyebut CCTV di area stadion dilarang untuk diunduh dan ada upaya kepolisian untuk mengganti rekaman CCTV dengan yang baru. TGIPF juga menyatakan ada durasi yang hilang atau dihapus dalam rekaman CCTV sehingga menyulitkan TGIPF dalam melakukan penelusuran fakta.

“Anehnya TGIPF tidak menjadikan temuan tersebut sebagai poin desakan untuk dapat diselidiki lebih lanjut. Padahal dugaan tindak obstruction of justice merupakan bagian dari tindak kejahatan yang harus diusut secara tunta,” ujar Fatia.

TGIPF juga tidak tegas dalam memberikan rekomendasi kepada TNI. TGIPF dalam poin desakannya tidak mengurai pertanggungjawaban komando yang seharusnya ikut bertanggung jawab secara hukum terkait peristiwa kekerasan yang terjadi. Padahal, merujuk laporan TGIPF, diketahui Pangdam V/Brawijaya mengerahkan 361 prajurit BKO untuk mengamankan pertandingan Arema vs Surabaya berdasarkan Surat Tugas Nomor: ST/1279/2022 tertanggal 26 juli 2022.

Berkaitan dengan keputusan Pangdam V/Brawijaya yang mengerahkan para prajuritnya, Fatia menduga ada pelanggaran terhadap UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Antara lain TNI tidak memiliki tugas dalam pengamanan pertandingan olahraga. Pihak yang berwenang mengerahkan prajurit TNI adalah Presiden dengan persetujuan DPR RI.

“Tetapi, sayangnya masalah tersebut tidak dijadikan sebagai poin yang seharusnya dievaluasi lebih lanjut,” imbuhnya.

Berkenaan dengan berbagai penjelasan di atas, KontraS berpendapat TGIPF tidak tegas mengingat kesimpulan dan berbagai rekomendasi yang dibuat tidak mengarahkan tragedi kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM yang berat. Fatia khawatir hal tersebut berdampak pada tidak tuntasnya penyelesaian dugaan kejahatan sistematis yang terjadi di Stadion Kanjuruhan.

Tags:

Berita Terkait