KontraS: Kasus Brigadir J Menunjukan Lemahnya Pengawasan Kompolnas Terhadap Polri
Terbaru

KontraS: Kasus Brigadir J Menunjukan Lemahnya Pengawasan Kompolnas Terhadap Polri

Penuntasan kasus penembakan terhadap Brigadir J tak boleh berhenti hanya menyasar pelaku di TKP, tapi juga semua pihak yang bertindak tidak profesional juga harus diminta pertanggungjawaban.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bersama jajarannya saat menyampaikan perkembangan terbaru kasus pembunuhan Brigadir J di Gedung Rupatama Mabes Polri, Selasa (9/8/2022). Foto: RES
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bersama jajarannya saat menyampaikan perkembangan terbaru kasus pembunuhan Brigadir J di Gedung Rupatama Mabes Polri, Selasa (9/8/2022). Foto: RES

Penuntasan kasus penembakan yang dialami Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J mulai menemukan titik terang setelah berjalan lebih dari sebulan. Jumlah tersangka semakin bertambah salah satunya atasan Brigadir J yakni Mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo. Penanganan perkara ini mencuri perhatian publik, termasuk mendapat respons dari Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR, Puan Maharani.

Kalangan organisasi masyarakat sipil juga ikut mencermati proses penanganan perkara tersebut. Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, mengatakan lembaganya sejak awal kasus ini menduga penuh rekayasa dan kejanggalan. “Kasus ini sekaligus menunjukkan terdapat ruang permasalahan yang sangat besar dalam institusi Kepolisian, khususnya berkaitan dengan pengawasan,” kata Fatia dalam keterangan tertulisnya, Rabu (10/8/2022).

Baca Juga:

Fatia mendesak penuntasan kasus ini tak boleh berhenti hanya pada pelaku di TKP, tapi juga semua pihak yang terlibat dan bersikap tidak profesional untuk diminta pertanggungjawabannya secara etik dan hukum. Dia mencontohkan setelah kasus ini mencuat Kompolnas melalui ketua hariannya, Benny Mamoto, menjelaskan tidak ada kejanggalan dalam peristiwa baku tembak tersebut setelah menyambangi TKP.

Bahkan dalam perkembangannya Kompolnas menyimpulkan beberapa hal misalnya terjadi dugaan pelecehan seksual terhadap istri Kadiv Propam dan Bharada E merupakan prajurit yang ahli menembak, sehingga dianggap wajar pelurunya tepat sasaran.

“Berbagai langkah yang diambil oleh Kompolnas tersebut menunjukkan ketidakprofesionalan para komisioner dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga pengawas eksternal institusi Polri,” kritik Fatia.

Alih-alih mengidentifikasi dan mendalami kasus tersebut secara serius, Kompolnas terkesan seperti perpanjangan lidah para pelaku dan terkesan melegitimasi skenario yang telah disusun FS. “Patut diduga bahwa Kompolnas pun terlibat dari awal dalam membangun narasi dan upaya menutup-nutupi fakta sebenarnya dalam kasus ini,” tegas Fatia.

Karena itu, seluruh pihak yang bertindak tidak profesional dalam menjalankan tugasnya, seperti menghilangkan/merusak barang bukti (obstruction of justice) dan membuat laporan palsu juga tak boleh hanya berhenti pada proses etik, tapi harus diusut proses pidananya. Berbagai tindakan tersebut jelas termasuk tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 233 KUHP dan Pasal 220 KUHP.

Berlarutnya kasus ini semakin menegaskan mekanisme pengawasan internal maupun eksternal Polri tak berjalan baik. Sejauh ini tak pernah ada langkah korektif signifikan dan berdampak yang dilakukan oleh Komnas HAM, Kompolnas, dan Ombudsman sebagai lembaga pengawas eksternal. Sementara divisi penegakan etik internal yakni Propam justru dipimpin oleh orang yang problematik dan saat ini menjadi terduga pelaku pembunuhan.

“Bobroknya sistem pengawasan ini pada akhirnya menciptakan praktik kesewenang-wenangan yang terus berlanjut,” bebernya.

Fatia mengingatkan selama ini masyarakat yang menjadi korban kekerasan dan tindakan pelanggaran Kepolisian mayoritas hanya berakhir pada ranah etik dan internal. Keseriusan pengusutan juga harus dilakukan pada kasus-kasus lain, terlebih jika korbannya adalah masyarakat.

Fatia mengusulkan setidaknya 3 hal. Pertama, Tim Khusus yang dibentuk Kapolri untuk menangani perkara ini harus mengusut tuntas dan memastikan semua pihak yang terlibat dihukum agar memberi efek jera.

Kedua, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan sebagai Ketua Umum Kompolnas menegur keras Ketua Harian Kompolnas dan jajarannya karena tidak profesional dalam proses pengusutan kasus tersebut. Ketiga, Presiden Joko Widodo harus memastikan sistem pengawasan Polri terbangun secara memadai untuk menindak dan mencegah kesewenang-wenangan anggota Polri kepada masyarakat.

Sebagaimana diberitakan sejumlah media, pernyataan Benny terkait kasus polisi baku tembak di rumah dinas eks Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, yang disampaikannya Juli lalu menuai kritik.

Dalam tayangan video YouTube pada 13 Juli 2022, Benny Mamoto menyebut tak ada yang janggal dalam kasus yang menewaskan Brigadir J itu. Dia yakin luka-luka di tubuh Brigadir J adalah luka tembak. Potongan video pernyataan Benny itu kembali beredar di media sosial baru-baru ini, salah satunya di Twitter. Tak sedikit pengguna media sosial menganggap pernyataan Benny di awal kasus itu tak mencerminkan tugas Kompolnas yang seharusnya berperan mengawasi dan memperbaiki kinerja Polri agar menjadi lebih baik.

Benny Mamoto salah satu yang menyampaikan soal autopsi ulang terhadap jasad Brigadir yang tewas di rumah dinas Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo, Jumat, 8 Juli 2022. Proses autopsi ulang ini, kata Benny, akan melibatkan forensik independen. “Tentunya akan dilibatkan forensik independen, termasuk asosiasi dokter forensik itu juga kami undang,” ujarnya.

Selain itu keterangannya di awal peristiwa mengenai terjadinya tembak menembak antara Brigadir J dan Bharada E, diungkapkannya pula. Termasuk terjadinya pelecehan terhadap istri Irjen Ferdy Sambo yang menjadi asal mula kejadian tersebut. Keterangan kontroversialnya ini belakangan marak muncul kembali di sosial media.

Tags:

Berita Terkait