KontraS: 8 Pekerjaan Rumah Ini Perlu Dituntaskan Panglima TNI Baru
Terbaru

KontraS: 8 Pekerjaan Rumah Ini Perlu Dituntaskan Panglima TNI Baru

Ada berbagai isu yang luput diperhatikan Panglima TNI antara lain kembalinya TNI ke ranah sipil dan mandeknya reformasi peradilan militer.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Aturan Pergantian Panglima TNI di Indonesia
Aturan Pergantian Panglima TNI di Indonesia

Proses penggantian Panglima TNI masih berproses. Koordionator KontraS Fatia Maulidiyanti melihat salah satu kandidat kuat yang bakal menggantikan posisi Jenderal TNI Andika Perkasa yakni KSAL Laksamana TNI Yudo Margono. KontraS mencatat masih banyak persoalan internal TNI yang belum mampu dituntaskan oleh Panglima TNI. Sedkitnya ada 8 Pekerjaa Rumah (PR) yang harus diselesaikan Panglima TNI yang baru.

Pertama, mandeknya reformasi peradilan militer. Fatia mencatat telah digelar 65 persidangan di peradilan militer dalam periode Oktober 2021-September 2022. Proses tersebut telah menghadirkan sebanyak 152 terdakwa. Tindakan yang disidangkan di peradilan militer dalam setahun terakhir yakni penganiayaan. Sayangnya hukuman yang diberikan pengadilan militer sangat ringan, hanya hitungan bulan.

Fatia berpendapat peradilan militer selama ini memberikan keistimewaan terhadap prajurit yang melakukan pelanggaran. “UU No.32 Tahun 2004 tentang TNI jelas memandatkan prajurit tunduk pada peradilan militer dalam hal hukum pidana militer dan tunduk pada peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum,” ujarnya saat dikonfirmasi, Senin (28/11/2022).

Kedua, kultur kekerasan masih terjadi. Fatia menyebut salah satu penyebab kultur kekerasan di institusi militer adalah ketimpangan relasi kuasa antara anggota di lapangan dengan entitas lain terutama sipil. Akibatnya, tak jarang anggota TNI menyalahgunakan kewenangan demi kepentingan pribadi, misalnya bisnis. Beberapa kasus menunjukkan persoalan tersebut seperti keterlibatan 6 anggota militer dalam kasus mutilasi terhadap warga sipil di Papua.

Ketiga, persoalan perwira tinggi (pati) dan perwira menengah (pamen) non job yang jumlahnya tak sedikit. Fatia mencatat sekitar 500 kolonel dan 70 pati masuk kategori non job. Persoalan itu tak hanya membebani anggaran TNI, tapi juga efisiensi kerja institusi. Panglima TNI harus membenahi persoalan ini antara lain dengan menghitung kebutuhan perekrutan anggita TNI, khususnya level perwira secara akurat.

Keempat, nihilnya mekanisme vetting atau uji kompetensi serta pemeriksaan dan perimbangan latar belakang secara transparan bagi perwira tinggi yang ditunjuk untuk menempati jabatan strategis. Misalnya, mantan anggota Tim Mawar yang terlibat kasus penculikan aktivis dan penghilangan paksa, Untung Budiharjo, malah diangkat menjadi Panglima Kodam Jaya.

Kelima, penunjukan anggota TNI aktif sebagai Pj Kepala Daerah seperti Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin sebagai Pj Bupati Seram bagian Barat dan Mayjen (Purn) Achmad Marzuki sebagai Pj Bupati Aceh. “Penunjukan Pj Kepala Daerah dari unsur TNI ini bertentangan dengan semangat reformasi yang menghapus dwifungsi ABRI,” tegas Fatia.

Keenam, militer kerap terlibat dalam konflik agraria. Fatia mencatat keterlibatan itu seperti pengerahan kekuatan dan pendudukan lahan. Militer tak hentinya terlibat dalam ragam konflik agraria. Setiap tahunnya KontraS mencatat upaya keterlibatan TNI dalam konflik agraria masih terus berlanjut dalam wujud pengerahan kekuatan dan okupasi lahan. Hal itu menunjukkan identiknya institusi TNI dengan kekerasan dan pelanggaran HAM dalam menghadapi sengketa tanah dengan masyarakat.

Ketujuh, berlanjutnya pendekatan militeristik di Papua. Setelah dilantik, Panglima TNI baru harus mencari cara memutus konflik berkepanjangan di Papua. Selama ini, rantai kekerasan terus berlanjut di Papua sebagai akibat dari pendekatan militeristik. Penurunan aparat terus dilakukan oleh negara tanpa didahului keputusan politik negara sebagaimana diatur dalam UU TNI. Sehingga dapat diindikasikan operasi yang dilangsungkan selama ini tidak berbasis hukum (ilegal).

Delapan, praktik bisnis militer. Fatia mencatat keterlibatan prajurit militer dalam mendapatkan sumber-sumber pendanaan lain selain dari APBN terus berlanjut di era kepemimpinan Jenderal Andika Perkasa. Sebagai contoh, TNI kembali melanjutkan pola pembuatan perjanjian dengan perusahaan terkait dengan pengamanan Objek Vital Nasional (Obvitnas). Terbaru, TNI menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) bersama dengan PT Freeport Indonesia dan PT Pertamina.

Aktivitas itu menurut Fatia tidak memiliki dasar hukum yang jelas sebab UU TNI hanya mengatur pengerahan aparat setelah adanya keputusan politik negara. TNI seharusnya dapat profesional dengan tunduk pada mekanisme ketatanegaraan yang berlaku, bukan menjalin hubungan keperdataan langsung dengan perusahaan dengan bentuk perjanjian atau MoU.

Fatia berharap pemilihan Panglima TNI baru harus menjawab permasalahan struktural dan kultural dalam institusi TNI. Panglima TNI selanjutnya tak boleh hanya bentuk pergantian jabatan yang sifatnya formalitas dan sebagai fasilitasi kepentingan politik belaka.

“Agenda pembenahan dan pemajuan institusi TNI harus dilakukan secara konkret guna mewujudkan TNI yang profesional, transparan, dan akuntabel sebagai bagian dari upaya perwujudan agenda reformasi sektor keamanan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait