Kontrak Elektronik Juga Harus Berbahasa Indonesia
Utama

Kontrak Elektronik Juga Harus Berbahasa Indonesia

Pemerintah tak berniat membatasi transaksi lintas negara. Diarahkan pada pelaku usaha di dalam negeri.

RIMBA SUPRIYATNA/M. YASIN
Bacaan 2 Menit
Kemenkominfo. Foto: www.kominfo.go.id
Kemenkominfo. Foto: www.kominfo.go.id

Pemerintah kembali membuat regulasi yang mengharuskan penggunakan bahasa Indonesia dalam kontrak. Kali ini, diatur dalam PP No. 82 Tahun 2012 (PP 82) tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Beleid ini mulai berlaku sejak 12 Oktober lalu. Selain kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), PP 82 juga menyinggung tentang kontrak berbahasa Indonesia.

Pasal 48 ayat (1) menyebutkan ‘kontrak elektronik dan bentuk kontrak lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) yang ditujukan kepada penduduk Indonesia harus dibuat dalam bahasa Indonesia’. Dengan demikian, setiap kontrak elektronik yang ditujukan kepada penduduk Indonesia harus menggunakan bahasa Indonesia.

Aturan ini berpeluang menimbulkan perdebatan sebagaimana dulu ketika rumusan yang hampir sama dimuat dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Pasal 31 ayat (1) UU tersebut menyatakan bahwa “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga Negara Indonesia”. Kewajiban memuat kontrak dalam bahasa Indonesia menuai protes dari sejumlah kalangan.

Pencantuman klausul kontrak elektronik berbahasa Indonesia bisa menimbulkan polemik mengingat akibat hukumnya. Belum jelas benar apakah jika kontrak elektronik menggunakan bahasa asing maka kontrak tersebut tidak sah. Apalagi, PP 82 tak mencantumkan penjelasan lebih lanjut termasuk sanksi dan akibat hukum jika kontrak yang ditujukan kepada penduduk Indonesia dibuat dalam bentuk bahasa Inggris, misalnya.

Transaksi elektronik pada hakikatnya tak lagi mengenal batas-batas teritorial. Pihak yang melakukan transaksi umumnya sudah saling memahami posisi masing-masing. Keharusan menggunakan bahasa Indonesia dalam kontrak elektronik lebih didasarkan pada keinginan melindungi penduduk Indonesia dari bahaya bertransaksi lewat dunia cyber.

Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Gatot S. Dewa Broto mengakui aktivitas dalam dunia cyber (cyber space) memang lebih sering masuk dalam wilayah lintas batas. Artinya, peluang melakukan transaksi dengan orang asing itu sangat terbuka lebar.

“Orang asing itu kan belum tentu tahu soal praktik dan bahasa Indonesia. Pada titik itu kita paham, kita sadar,” ujarnya ketika dihubungi hukumonline melalui pesawat telepon, Minggu (30/12).

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Sudaryatmo, mengingatkan perlu dipahami kontrak elektronik yang berlaku nasional di Indonesia atau kontrak lintas negara. Untuk kontrak lintas negara, kata dia, tak bisa diatur sebagai suatu keharusan secara sepihak. Menurut Sudayatmo, harus ada pijakan yang jelas untuk mengharuskan pelaku usaha di dunia maya menggunakan bahasa Indonesia.

Advokat yang sering menangani kasus konsumen, Davil ML Tobing sependapat dengan Sudaryatmo. Untuk, pelaku usaha di Indonesia keharusan menggunakan bahasa Indonesia dalam kontrak elektronik mungkin bisa diterapkan. Tetapi untuk usaha yang berbasis di luar negeri akan sulit. Justru biasanya konsumen yang membutuhkan barang yang diperjualbelikan lewat dunia maya –misalnya buku—menyatakan tunduk pada hukum dan bahasa yang dipilih perusahaan.

Hal lain yang menurut David perlu disoroti adalah makna ‘ditujukan kepada penduduk Indonesia’. Perdagangan lewat dunia maya biasanya tidak ditujukan kepada penduduk negara tertentu, sehingga formula kontrak elektronik yang tersedia juga tak spesifik untuk orang Indonesia. Meskipun demikian, David mengapresiasi langkah pemerintah melindungi konsumen dalam negeri dari kemungkinan penipuan lewat transaksi elektronik.

Gatot S. Dewa Broto menjelaskan Kominfo masih akan mengatur lebih lanjut ketentuan penggunaan bahasa Indonesia dalam kontrak elektronik. “Kan ada peraturan turunannya, banyak hal lainnya yang juga akan diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri,” ujar Gatot.

Pria lulusan UGM ini menekankan, intinya, bukan berarti berarti pemerintah membatasi kegiatan transaksi elektronik. Orang asing belum tentu mengetahui praktek yang ada di indonesia. Ketentuan Pasal 48 ayat (1) PP 82 didasarkan pada asumsi bahwa transaksi berada di wilayah Indonesia dan dilakukan antar lembaga atau lembaga dengan orang di Indonesia. Selama ini banyak penyelenggara transaksi elektronik di Indonesia menggunakan bahasa asing sehingga konsumen sering terkecoh.

“Kita tidak membatasi untuk yang lain. Kalau itu yang terjadi sama saja kita menutup diri terhadap transaksi dengan pihak luar, kalau soal itu nggak perlu dikhawatirkan,” jelasnya. Jadi, pelaku usaha asing tidak perlu takut?

Tags:

Berita Terkait