Kontrak Bioremediasi Chevron Dinyatakan Melawan Hukum
Utama

Kontrak Bioremediasi Chevron Dinyatakan Melawan Hukum

Pengacara menganggap telah terjadi kriminalisasi terhadap kontrak keperdataan PT CPI dan BP Migas.

NOVRIEZA RAHMI
Bacaan 2 Menit
Herland bin Ompo (kiri, baju putih) usai persidangan. Foto: NOV
Herland bin Ompo (kiri, baju putih) usai persidangan. Foto: NOV

Setelah menjatuhkan vonis bersalah terhadap Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI) Ricksy Prematuri, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis yang sama terhadap Direktur PT Sumigita Jaya (SJ) Herland bin Ompo. Ricksy dan Herland adalah rekanan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dalam pekerjaan pemulihan tanah terkontaminasi minyak dengan metode bioremediasi.

Majelis hakim yang dipimpin Sudharmawatiningsih menghukum Herland dengan pidana penjara selama enam tahun dan denda Rp250 juta subsidair tiga bulan kurungan. Herland dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Selain itu, majelis membebankan PT SJ untuk membayar uang pengganti sebesar AS$6,9 juta. “Apabila satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap tidak dibayarkan, maka harta bendanya akan disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut,” kata Sudharmawatiningsih, Rabu malam (8/5).

Dalam pertimbangannya, majelis mengungkapkan, PT SJ dan PT CPI melakukan perikatan kontrak dengan nilai AS$7,296 juta untuk 1 September 2008-31 Agustus 2011 dan AS$741,4 ribu untuk 14 November 2011-13 Mei 2012. Herland mengetahui perusahaannya bukan bergerak di bidang pengolahan limbah, melainkan jasa konstruksi.

Namun, Herland tetap mengikuti proses lelang proyek bioremediasi di PT CPI. Sudharmawatiningsih mengatakan, perbuatan itu bertentangan dengan ketentuan persyaratan kualifikasi penyedia barang/jasa pemborongan yang mengharuskan penyedia jasa memiliki surat izin usaha pada bidangnya dari instansi berwenang.

Sesuai Pasal 3 Kepmen LH No 128 Tahun 2003, Pasal 40 ayat (1) huruf a PP No 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Beracun dan Berbahaya, dan Pasal 59 ayat (4) UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PT SJ harus memiliki izin pengolahan limbah dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

Sebagai perusahaan pengolah limbah, PT SJ tidak memiliki peralatan, laboratorium, dan tenaga ahli bioremediasi sebagai penunjang pelaksanaan bioremediasi. Padahal, sesuai Kepmen LH No 128 Tahun 2003, PT SJ harus melakukan analisis limbah sebelum melakukan kegiatan pengolahan tanah terkontaminasi minyak bumi.

Sudharmawatiningsih  melanjutkan, PT SJ hanya mengambil sampel tanah dari lokasi Sumatera Light South (SLS) di Soil Bioremediasi Facility (SBF) Minas dan Kota Batak untuk diuji di laboratorium PT CPI. Pengujian Total Petroleum Hidrokarbon (TPH) dilakukan tanpa menguji jenis, jumlah, dan sifat dari mikroba pendegradasi.

Tanpa menguji pula jenis, jumlah, dan sifat dari mikroba pendegradasi yang terkandung dalam tanah, sebagaimana keterangan ahli Edison Effendi, proses bioremediasi mustahil untuk berhasil. Berdasarkan Kepmen LH No 128 Tahun 2003, konsentrasi maksimum TPH awal sebelum pengolahan biologis tidak lebih dari 15 persen.

Ketika sampel tanah diuji penyidik dari Kejaksaan Agung dengan menggunakan tim ahli bioremediasi Edison Effendi, Prayitno, dan Bambang Iswanto, didapat hasil TPH sama dengan nol persen. Dengan kata lain, tanah yang diolah adalah tanah segar atau tidak pernah terkontaminasi minyak, sehingga tidak perlu dibioremediasi.

Akibat perbuatan Herland, negara dirugikan AS$6,9 juta sesuai penghitungan BPKP. PT CPI telah membayarkan kepada PT SJ sebesar AS$6,9 juta, padahal kontrak yang dijalankan untuk pekerjaan bioremediasi dibuat secara melawan hukum. Pembayaran tersebut dianggap majelis telah memperkaya PT SJ sebagai korporasi.

Mengenai kerugian negara, meski Product Sharing Contract (PSC) PT CPI dengan BP Migas berlaku sampai 20 tahun, perhitungan cost recovery dilakukan dan dilaporkan ke BP Migas setiap tiga bulan. “Dimana biaya untuk kegiatan diperhitungkan ke dalam cost recovery dan biaya-biaya dibukukan,” ujar Sudharmawatiningsih.

Berdasarkan laporan itu, CPI telah melakukan pembayaran untuk kegiatan bioremediasi kepada PT SJ sebesar AS$6,9 juta. Pekerjaan bioremediasi yang awalnya dibiayai PT CPI dimasukkan dalam cost recovery, sehingga berdampak pada pengurangan pendapatan negara. Setelah sekian lama BP Migas juga tidak mengoreksi cost recovery tersebut.

Dengan demikian, majelis berpendapat semua unsur dalam dakwaan primair telah terpenuhi. Namun, hakim anggota Sofialdi dalam musyawarah majelis menyatakan berbeda pendapat atau dissenting opinion. Menurutnya, Herland tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan primair dan subsidair.

Sofialdi sependapat dengan keterangan saksi dari KLH yang menyatakan, izin pengolahan limbah yang diatur dalam Pasal 3 Kepmen LH No 128 Tahun 2003, Pasal 40 ayat (1) huruf a PP No 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Beracun dan Berbahaya bukan ditujukan bagi PT SJ, melainkan penghasil limbah, PT CPI.

Selain itu, hasil uji sampel tanah yang dilakukan tim ahli bioremediasi Edison, Prayitno, dan Bambang Iswanto tidak dapat menjadi patokan karena lembaga yang berwenang melakukan pengujian adalah KLH. Berdasarkan alasan itu, Sofialdi berkeyakinan kontrak PT SJ dengan PT CPI sah dan tidak dilakukan secara melawan hukum.

Dualisme
Atas putusan majelis, penuntut umum Surma menyatakan akan mengajukan banding. Putusan majelis lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta majelis menghukum Herland 15 tahun penjara. Senada, Herland juga akan menempuh upaya banding karena putusan majelis tidak sesuai fakta-fakta persidangan.

Menurut Herland, putusan majelis hanya mengulang dakwaan dan tuntutan penuntut umum. “Jadi, persidangan selama ini untuk apa? Semua fakta-fakta di persidangan diabaikan. Sebagai contoh, ahli yang dianggap sebagai dewa, sudah dikatakan bahwa Edison adalah peserta tender, tapi sedikitpun tidak disinggung majelis hakim,” tuturnya.

“Bahkan Chevron juga akan melakukan upaya sampai ke pengadilan internasional. Silakan saja kurung saya, tapi kebenaran tidak akan terbelenggu dengan saya dikurung. Saya masih optimis berjuang di pengadilan tinggi sampai Mahkamah Agung. Kalau saya tidak menang, masih ada pengadilan Allah,” imbuhnya.

Pengacara Herland, Dedy Kurniadi menganggap hakim tidak memahami PSC yang menjadi dasar perjanjian antara pemerintah dengan PT CPI. Perjanjian keperdataan yang telah disepakati BP Migas dan PT CPI memiliki mekanisme koreksi dalam over lifting dan under lifting apabila terjadi kekeliruan penghitungan.

“Dalam proses itu terdapat bukti uang AS$9,9 juta telah di-suspend dan sekarang berada di kas negara. Sebagian untuk menahan biaya yang telah dipergunakan PT GPI dan PT SJ. Dengan demikian, negara telah mendapat tiga kali. Sekarang PT SJ malah dituntut lagi membayar AS$6,9 juta,” terangnya.

Dedy berpendapat, seharusnya majelis mempelajari PSC terlebih dahulu sebelum menjatuhkan putusan. “Ini artinya negara telah menjalankan suatu dualisme. Di satu sisi tetap menjalankan kontrak, di sisi lalin menyatakan terjadi korupsi. Telah terjadi kriminalisasi suatu perjanjian dan saya kira perlu ketegasan,” tandasnya.

Tags:

Berita Terkait