Kontradiksi Putusan Kedudukan KPK, Begini Pandangan Pakar
Utama

Kontradiksi Putusan Kedudukan KPK, Begini Pandangan Pakar

Perbedaan putusan MK diperbolehkan sepanjang memiliki alasan yang rasional, bukan hanya berdasarkan keyakinan seorang hakim semata.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menempatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam ranah eksekutif, sehingga DPR bisa mengajukan hak angket masih menjadi polemik. Alasannya, sebagian pihak menganggap KPK merupakan lembaga independen yang menjalankan fungsi yudisial (yudikatif) yang tidak bisa diintervensi kekuasaan manapun termasuk presiden dan semua unsur pemerintahan.

 

Makanya, pada 2006 silam, MK telah menempatkan posisi KPK dalam sistem ketatanegaraan sebagai lembaga yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman (yudikatif) melalui putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006. Kontras, kini MK justru telah menempatkan KPK sebagai lembaga eksekutif khusus yang menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi, sehingga bisa menjadi objek hak angket DPR melalui putusan MK No. 36/PUU-XV/2017.

 

Lalu, saat ini dimana posisi atau kedudukan KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia? Apakah masuk lembaga yudikatif, eksekutif, atau di luar teori trias politika (yang dicetuskan oleh Montesquie) yang memisahkan tiga cabang kekuasaan negara itu (eksekutif, yudikatif, legislatif).   

 

Pakar hukum tata negara Refly Harun berpendapat putusan MK No. 36/PUU-XV/2017 yang diambil oleh MK itu harus dinilai beberapa aspek. Yakni, masalah moralitas dan materi; apa sebab KPK didirikan; dan hakikat dari hak angket itu sendiri. Refly pun menjabarkan satu per satu tentang putusan yang dianggap sebagian kalangan termasuk dirinya menuai polemik.

 

Dari sisi moralitas, menurut Refly sulit dibantah jika putusan tersebut tidak berkaitan dengan kabar yang berkembang di masyarakat mengenai adanya barter Ketua MK Arief Hidayat dengan pihak DPR. “Barternya apa, barternya memperpanjang jabatan, lalu kebetulan ada dua hakim MK yang inwaiting perpanjangan masa jabatan juga yang menolak permohonan ini. Kemudian ada dua hakim dari MK yang satu paket dengan ketua,” kata Refly kepada Hukumonline. Baca Juga: Tok!!! Uji Hak Angket KPK Ditolak, Skor 5:4

 

Menurut Refly, melihat hal tersebut, sulit menurutnya meyakinkan publik jika putusan tentang hak angket dicapai melalui pemikiran mendalam. Apalagi, faktanya Dewan Etik MK menjatuhkan sanksi etik kepada Arief Hidayat karena terbukti melakukan pertemuan dengan sejumlah anggota DPR Komisi III tanpa surat undangan resmi. Pertemuan inilah yang diduga merupakan lobi Arief agar masa jabatannya diperpanjang.

 

Terkait uji materi Pasal 79 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) yang berbunyi; “Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.”

 

Menurut Refly, pasal itu sendiri hingga saat ini tidak pernah dibatalkan atau ada perubahan, sehingga hak angket menurut pasal tersebut yaitu berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Dan ini, lanjut Refly, terlihat jelas batasan atau limitasi kepada siapa seharusnya hak angket diajukan yaitu kepada pelaksana undang-undang atau kebijakan yang berada di bawah koordinasi presiden.

 

“Menurut saya MK sendiri tidak memberi kepastian hukum dalam putusannya. Jadi pasal itu tetap eksis. Saya setuju dengan dissenting opinion, kalau kita lihat penjelasan otentik kepada siapa hak angket ditujukan, ya lihatlah penjelasan Pasal 79 UU MD3 itu,” kata dia.

 

KPK sendiri, menurut Refly merupakan lembaga independen yang dalam alam demokrasi modern saat ini tidak hanya bisa menjalankan tugas sebagai lembaga eksekutif, tetapi juga yudikatif. “Para ahli di dunia ini menyebut cabang kekuasaan yang keempat. Jadi meletakkan KPK sebagai eksekutif, menurut saya itu kekeliruan luar biasa yang dibuat MK,” terang Refly.

 

Selanjutnya, mengenai hak angket itu sendiri menurut Refly, hakikatnya adalah pengawasan cabang legislatif ke eksekutif. Dalam sistem parlementer berlaku supremasi parlemen di mana pengawasan bisa merupakan kontrol kepada presiden agar tidak menjadi otoriter. Dan ini bisa berujung pada mosi tidak percaya kepada kepala negara.

 

Dalih konstitusionalitas hak angket DPR kepada KPK ditafsirkan sebagai pengawasan juga tidak sepenuhnya tepat. Sebab, praktiknya selain bertanggung jawab kepada publik, KPK juga bisa diawasi oleh lembaga eksekutif ataupun legislatif. Contohnya, bila memang kinerja dianggap tidak memuaskan, DPR bisa menanyakan pada saat Rapat Dengar Pendapat (RDP). Selain itu, pihak Senayan bisa mengurangi, bahkan menunda pencairan anggaran (KPK) melalui APBN.

 

Harus ada alasan rasional

Sementara itu, mantan hakim MK Harjono berpendapat pembagian tiga cabang eksekutif, legislatif dan yudikatif saat ini sudah tidak relevan lagi. Apalagi, UUD Tahun 1945 saat ini juga sudah mengenal lembaga yang tidak masuk dalam kategori teori trias politica tersebut, seperti Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

 

“Jadi kalau kita mau lihat janganlah terpaku ini masuk mana, tapi lihat kewenangannya saja. Kewenangan itu kemudian yang paling bisa untuk melaksanakan itu gimana? Jadi saya nggak kekeuh itu masuk mana eksekutif atau yudikatif. Itu zamannya Montesquie, zaman lama itu. zaman demokrasi yang kemudian ada persoalan transparansi itu sudah ditambah lembaga-lembaga lain dan tidak masuk salah satu dari itu (trias politica). Jangan terbelenggu dengan yudikatif, eksekutif,” ujar Harjono kepada Hukumonline.

 

Hanya saja, dia mengakui perbedaan putusan MK tahun 2006 dan 2018 ini memang cukup menarik (secara akademis) untuk dibahas. Sebab, selain “jenis kelamin” KPK dipertanyakan (eksekutif atau yudikatif), kedua putusan tersebut bisa membuat bingung majelis MK berikutnya ketika menguji kasus serupa. Nantinya, apakah akan mengikuti putusan MK pada 2006 atau 2008?

 

“Karena itu, MK tidak hanya menyelesaikan sengketa, tapi melengkapi kenapa itu jadi rasionalitas. Nanti pokoknya diselesaikan, karena putusan itu nanti jadi panduan bagi (hakim) berikutnya, dia harus menjelaskan. Ya moga-moga hakim berikutnya bisa menata, kalau enggak menata bisa morat-marit, di situ pentingnnya hakim menguasai UUD, bukan pasalnya doang,” tutur Harjono.

 

Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006

Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017

Perihal Pasal 2 UU KPK Juncto Pasal 20 UU KPK;

Bahwa dalam perkembangan sistem ketatanegaraan saat ini, sebagaimana tercermin dalam ketentuan hukum tata negara positif di banyak negara, terutama sejak Abad ke-20, keberadaan komisi-komisi negara semacam KPK telah merupakan suatu hal yang lazim. Doktrin klasik tentang pemisahan kekuasaan negara ke dalam tiga cabang kekuasaan kini telah jauh berkembang, antara lain, ditandai oleh diadopsinya pelembagaan komisikomisi negara yang di beberapa negara bahkan bersifat kuasi lembaga negara yang diberi kewenangan melaksanakan fungsi-fungsi kekuasaan negara

bahwa KPK dibentuk dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Sehingga pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional.

Sementara itu, lembaga yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi, sehingga pembentukan lembaga seperti KPK dapat dianggap penting secara konstitusional (constitutionally important) dan termasuk lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945

Perihal Pasal 3 UU KPK

Bahwa penegasan tentang independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya justru menjadi penting agar tidak terdapat keragu-raguan dalam diri pejabat KPK. Sebab, sesuai dengan ketentuan Pasal 11 UU KPK, pihak-pihak yang paling potensial untuk diselidiki, disidik, atau dituntut oleh KPK karena tindak pidana korupsi terutama adalah aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Dengan kata lain, pihak-pihak yang paling potensial untuk diselidiki, disidik, atau dituntut oleh KPK karena tindak pidana korupsi itu adalah pihak-pihak yang memegang atau melaksanakan kekuasaan negara.

KPK Ranah Eksekutif;

Dalam Konsiderans Menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan     Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut sebagai UU KPK) dinyatakan: bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Berpijak dari Konsiderans tersebut, yang dimaksud sebagai lembaga pemerintah yang dalam hal ini menangani perkara tindak pidana korupsi ialah Kepolisian dan Kejaksaan.

Hal ini dapat diketahui dengan mengingat bahwa tugas penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi merupakan kewenangan Kepolisian dan/atau Kejaksaan. Dengan demikian, dasar pembentukan KPK ialah karena belum optimalnya lembaga negara in casu Kepolisian dan Kejaksaan yang mengalami public distrust dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum, dibentuklah KPK. Dalam konstruksi demikian, secara tugas dan fungsi, Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK merupakan lembaga yang berada di ranah eksekutif. Bahkan lebih lanjut, tugas utama KPK sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 ialah melakukan koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, dalam hal ini menjadi trigger mechanism bagi Kepolisian dan Kejaksaan.

Mengacu pada pendapat Saskia Lavrijssen, 2008, KPK merupakan lembaga penunjang yang terpisah atau bahkan independen, dari departemen eksekutif, akan tetapi sebenarnya “eksekutif”. Dalam pandangan Mahkamah, KPK sebenarnya merupakan lembaga di ranah eksekutif, yang melaksanakan fungsi-fungsi dalam domain eksekutif, yakni penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. KPK jelas bukan di ranah yudikatif, karena bukan badan pengadilan yang berwenang mengadili dan memutus perkara. KPK juga bukan badan legislatif, karena bukan organ pembentuk undang-undang.

Benar bahwa KPK merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Posisinya yang berada di ranah eksekutif, tidak berarti membuat KPK tidak independen dan terbebas dari pengaruh manapun. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 pada halaman 269 dinyatakan, independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh kekuasaan manapun adalah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

 

Dia melanjutkan dunia hukum dikenal istilah yurisprudensi, sehingga harus menghargai dan mengikuti putusan yang ada sebelumnya. Namun, menurut Harjono, hal itu bukan berarti perbedaan putusan tidak diperbolehkan.

 

“Kalau memang itu beda harus dijelaskan mana bedanya dengan yang dulu, harus diberi rasionalitas. Di negara common law, ada istilah yang artinya hakim membedakan dengan kasus sebelumnya. Apalagi pendekatannya juga beda, itu sah-sah saja. Cuma kemudian jangan dadakan, kalau tidak diikuti gimana, ada perubahan paradigma, ya silakan,” terang Harjono.

 

Pria yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini menegaskan perubahan putusan MK dari sebelumnya memang dibolehkan asalkan ada alasan rasional yang tepat dan tidak bisa hanya berdasarkan keyakinan seorang hakim semata. “Kalau kemudian dadakan gitu rasionalitasnya gimana, jangan-jangan dia enggak baca (putusan sebelumnya),” tegasnya.

 

Saat ditanya apakah putusan MK yang menempatkan KPK di ranah eksekutif tidak mempunyai alasan rasional yang jelas, Harjono mengamininya. “Saya kira begitulah timbul polemiknya,” tutup Harjono. Baca Juga: 54 Profesor Ini Mendesak Arief Mundur dari Jabatannya

Tags:

Berita Terkait