Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP: 11 Poin Usulan Penyempurnaan Draf RKUHP
Utama

Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP: 11 Poin Usulan Penyempurnaan Draf RKUHP

Mulai proses dekolonialisasi tak boleh dimaknai sebatas pada penyuusunan RKUHP nasional, hingga pemberlakuan RKUHP ditetapkan semestinya bersamaan dengan pemberlakuan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Setelah menggelar forum akademik nasional mengkritisi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) bertajuk “Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP 2022” pada Rabu-Kamis, 22-23 Juni 2022, menghasilkan 11 poin kesimpulan. Ke-11 poin kesimpulan itu dijadikan rekomendasi bagi pembentuk UU agar memperbaiki dan menyempurnakan materi muatan draf RKUHP yang tengah dibahas di DPR.   

“Konsultasi Nasional ini menghasilkan kesimpulan untuk penyempurnaan RKUHP dengan memerhatikan beberapa hal,” ujar Ketua Badan Pengurus Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi melalui keterangan tertulisnya, Senin (27/6/2022).

Fachrizal menerangkan sejumlah poin tersebut. Pertama, proses dekolonilisasi hukum pidana tak boleh dimaknai secara terbatas pada penyusunan RKUHP Nasional berbahasa Indonesia. Dekolonisasi harus dilakukan dengan mengevaluasi ketentuan pidana secara khusus digunakan pemerintah Hindia Belanda untuk menunjukan watak kolonialismenya. Seperti pidana mati, penghinaan Presiden/Wakil Presiden, penghinaan terhadap Pemerintah, penghinaan terhadap penguasa atau badan umum, dan sebagainya.

Kedua, model penerapan pidana mati yang digunakan RKUHP belum sepenuhnya mewujudkan misi dekolonialisasi dan demokratisasi hukum pidana. Semestinya, pidana mati dihapuskan dari sistem hukum pidana nasional Indonesia. Dia khawatir bila masih diterapkan pidana mati, RKUHP perlu menjamin diberikannya masa percobaan selama 10 tahun secara otomatis dan tidak diserahkan pada penilaian hakim di persidangan.

Baca Juga:

Begitu pula mekanisme perubahan (konversi) pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup yang harus dihitung sejak putusan berkekuatan tetap serta tidak digantungkan pada penolakan grasi seperti masih diatur dalam Pasal 101 RKUHP. Ketiga, skema pengakuan terhadap nilai dan norma hukum yang hidup dalam masyarakat digunakan untuk menghukum perbuatan seseorang (living law) dalam Pasal 2 RKUHP justru kontraproduktif dengan dinamika kehidupan masyarakat adat.

Pasalnya, dengan mengambil alih penyelesaian permasalahan di masyarakat adat, negara malah membenarkan instrumen penegakan hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim untuk memproses konflik tersebut. Bahkan berpotensi mematikan pranata yang selama ini berkembang di lingkungan masyarakat adat dimaksud.

Keempat, proses kriminalisasi yang dilakukan RKUHP belum sepenuhnya menunjukkan keberpihakan terhadap proses demokratisasi hukum pidana. Dia berpandangan masih dipertahankannya delik-delik yang memberikan perlindungan berlebih terhadap ideologi dan simbol negara, termasuk penghinaan yang ditujukan terhadap Presiden/Wakil Presiden, pemerintah, penguasa atau badan umum.

“Dan mengancamkan pidana yang berat bagi pelanggarnya justru bertolak belakang dengan misi demokratisasi hukum pidana yang diusung RKUHP,” lanjutnya.

Kelima, proses konsolidasi dan harmonisasi hukum pidana terhadap perkembangan asas dan tindak pidana di Indonesia pun belum dilakukan dengan optimal. Menurutnya, RKUHP belum memberikan respons terhadap liarnya tafsir makar dalam praktik penegakan hukum yang diartikan secara serampangan. Padahal, makar seharusnya dikembalikan kepada makna asalnya dalam bahasa Belanda yakni aanslag yang berarti serangan. Istilah makar yang diatur dalam Pasal 87 KUHP harus secara terbatas diartikan sebagai konteks pertanggungjawaban pidana untuk delik tersebut.

Pada bagian lain, RKUHP belum melakukan harmonisasi terhadap ketentuan pidana yang tersebar di UU lain secara teliti. Pasal 27 ayat (3) UU ITE belum dicabut dan diselaraskan dengan tindak pidana pencemaran yang diatur dalam Pasal 439 RKUHP. Begitu pula delik-delik kekerasan seksual dalam UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi pun belum direspons dalam RKUHP.

“Padahal banyak irisan antara delik-delik dalam UU tersebut dengan tindak pidana serupa/sama di RKUHP. RKUHP belum menentukan tindak pidana apa saja yang dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Jadi, konsep blanco strafbepalingen dalam Pasal 4 ayat (2) huruf j UU TPKS belum dapat dijalankan dengan baik,” katanya.

Pusat Studi Kebijakan Kriminal Universitas Padjadjaran, Nella Sumika Putri melanjutkan poin berikutnya. Keenam, RKUHP belum memberi perhatian khusus terhadap posisi strategis RKUHP sebagai rekodifikasi hukum pidana. Seperti tidak ada satu ketentuan dalam RKUHP yang mempertegas hal tersebut, serta memberikan konsekuensi bahwa pengesahan ketentuan pidana (di luar KUHP) di kemudian hari harus berpedoman pada ketentuan Buku 1 dan Buku 2 RKUHP.

“Keberadaan pengaturan yang demikian akan berdampak signifikan terhadap keselarasan dan harmonisasi asas-asas hukum pidana dan penentuan keseriusan delik serta berat-ringannya ancaman pidana,” kata dia.

Ketujuh, sistem kodifikasi merupakan suatu sistem yang sangat penting dalam perundang-undangan terutama dalam ranah hukum pidana. Dia berpendapat kodifikasi tak dapat dimaknai sekedar mengesahkan RKUHP. Sebab, pengesahan RKUHP harus dimaknai sebagai babak baru dalam membangun sistem kodifikasi agar sistem hukum pidana lebih sistematis, efisien, dan responsif.

Kedelapan, pengesahan RKUHP akan sangat berdampak terhadap overkriminalisasi. Bahkan, berpotensi besar membuka ruang penyalahgunaan aparat penegak hukum seandainya mekanisme hukum acara pidana masih mengacu pada KUHAP saat ini. Dia menilai dengan minimnya judicial scrutiny dalam KUHAP dan masih cukup banyaknya rumusan unsur tindak pidana di RKUHP yang bersifat multitafsir, dikhawatirkan perbaikan yang diinginkan di level praktik tak akan tercapai secara signifikan.

Kesembilan, diperkenalkannya mekanisme ataupun jenis tindak pidana baru bakal berdampak pada berubahnya kerja penegakan hukum. Karena itu, banyaknya peraturan internal di tiap-tiap lembaga penegak hukum sejatinya perlu dievaluasi dan diperketat. Tujuannya agar rule of the game yang berbasiskan profesionalitas penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia dapat dijalankan sama dalam berbagai perkara.

Kesepuluh, dengan sedemikian banyaknya perubahan yang dirumuskan RKUHP, waktu transisi selama 2 tahun yang diatur dalam Pasal 628 RKUHP tak cukup untuk menyiapkan implementasi ketentuan baru tersebut. Sebab faktanya, pendekatan pemberlakuan suatu UU berdasarkan tenggat waktu semata terbukti banyak mengalami kegagalan.

Karena itu, kata Nella, pengaturan pemberlakuan RKUHP seharusnya tidak ditetapkan berdasarkan tenggat waktu. Tapi melalui UU tersendiri dengan mengatur hal-hal yang harus dilakukan pemerintah dalam memastikan kesiapan penegak hukum, masyarakat, peraturan-peraturan pelaksana. Begit pula sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk menjalankan sistem baru dalam RKUHP.

Kesebelas, idealnya perubahan RKUHP harus diikuti dengan hukum acara pidana yang selaras dengan perubahan tersebut. Oleh karenanya, bakal menjadi lebih baik apabila pemberlakuan RKUHP ditetapkan bersamaan dengan pemberlakuan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).

Tags:

Berita Terkait