Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Ingatkan 4 Hal untuk Omnibus Law
Berita

Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Ingatkan 4 Hal untuk Omnibus Law

Intinya dalam membuat suatu aturan, pemerintah dan DPR tidak boleh merugikan salah satu pihak.

Ady Thea Dian Achmad
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: HGW
Ilustrator: HGW

Rencana pemerintah untuk membenahi sejumlah peraturan melalui omnibus law terus berjalan. Medio Desember 2019 dalam rapat koordinasi tentang omnibus law, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga, Hartanto, mengatakan pemerintah akan mengajukan dua rancangan undang-undang (RUU), yaitu RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan RUU Omnibus Law Perpajakan.

 

Airlangga mengatakan RUU yang akan diajukan ke DPR itu disiapkan untuk memperkuat perekonomian nasional melalui perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia. "Ini adalah hasil evaluasi untuk meningkatkan iklim investasi dan daya saing kita, sesuai arahan Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan," katanya sebagaimana dikutip laman ekon.go.id.

 

Airlangga mengatakan substansi Omnibus Law Cipta Lapangan kerja mencakup 11 cluster yaitu penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, dan kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMKM. Kemudian kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, dan kawasan ekonomi.

 

Menurutnya, sampai saat ini teridentifikasi sebanyak 82 UU dan 1.194 pasal yang akan diselaraskan melalui Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Untuk Omnibus Law Perpajakan, Kementerian Keuangan sudah menyusun 6 pilar yaitu pendanaan investasi, sistem teritori, subjek pajak orang pribadi, kepatuhan wajib pajak, keadilan iklim berusaha dan fasilitas.

 

"Substansi kedua Omnibus Law tersebut kami selaraskan. Substansi yang terkait dengan aspek Perpajakan dan Kebijakan Fiskal, yang menyangkut substansi di Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, dimasukkan ke dalam Omnibus Law Perpajakan," urai Airlangga.

 

Selain itu, Airlangga mengatakan pemerintah mengapresiasi keterlibatan Kadin Indonesia dalam proses penyusunan dan konsultasi publik Omnibus Law. Selain itu telah dibentuk Satgas yang dipimpin ketua umum Kadin dengan anggota dari unsur kementerian dan lembaga, pemerintah daerah, akademisi, dan Kadin.

 

"Pemerintah melibatkan KADIN dalam pembahasan Omnibus Law untuk mendapatkan masukan dan usulan agar substansi Omnibus Law selaras dengan kebutuhan pelaku usaha," ujarnya.

 

Konsultan, praktisi, dan akademisi yang tergabung dalam Himpunan Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (HKHKI) mengingatkan pemerintah dan DPR untuk hati-hati dan cermat dalam merumuskan omnibus law. Jangan sampai aturan yang ditetapkan nanti merugikan salah satu pihak. Ketua HKHKI, Ike Farida, mencatat pemerintah berencana mengintegrasikan 82 UU dan lebih dari seribu pasal ke dalam omnibus law Cipta Lapangan Kerja.

 

(Baca: Kesamaan Pandang Kunci Penting Penyusunan Omnibus Law)

 

Ike mengatakan omnibus law tujuannya untuk menyeragamkan kebijakan pusat dan daerah. Kemudian antar UU dengan peraturan di bawahnya agar tidak tumpang tindih. Misalnya, Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bekasi No.4 Tahun 2016 tentang Ketenagakerjaan memuat ketentuan yang mengatur jumlah pekerja berstatus perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) jumlahnya harus lebih banyak daripada perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Menurut Ike aturan ini bertentangan dengan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

 

“Selama syarat menggunakan PKWT dipenuhi, maka perusahaan boleh merekrut pekerjanya secara PKWT, sekalipun jumlahnya lebih banyak dari PKWTT,” kata Ike saat dikonfirmasi, Sabtu (28/12).

 

Menurut Ike, omnibus law akan menyasar sejumlah isu ketenagakerjaan seperti upah minimum, outsourcing, tenaga kerja asing (TKA), pesangon, jam kerja, dan sanksi. Ike mengusulkan, dalam merumuskan kebijakan omnibus law khususnya di sektor ketenagakerjaan, pemerintah dan DPR harus berhati-hati, jangan sampai merugikan salah satu pihak. Kebijakan itu harus luwes dan tigak rigid agar pasar kerja di Indonesia bisa bersaing dengan internasional.

 

Dari 6 isu ketenagakerjaan yang disasar omnibus law, Ike menyoroti antara lain 4 hal. Pertama, upah minimum, melihat pernyataan menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, Ike mencatat pemerintah berencana menghapus upah minimum kabupaten/kota (UMK). Sebelum rencana ini ditetapkan, HKHKI mengusulkan pemerintah untuk melakukan penelitian lebih dulu untuk mengetahui daya beli dan harga kebutuhan pokok di setiap kota dalam satu provinsi apakah sama atau tidak.

 

Penelitian itu penting dilakukan karena KHL di setiap kota biasanya berbeda sekalipun berada dalam satu provinsi yang sama. Misalnya, kota Banjar Rp1,6 juta dan Karawang Rp4,2 juta, padahal keduanya dalam provinsi yang sama yaitu Jawa Barat. HKHKI khawatir jika UMK dihapus, dan acuannya hanya UMP maka memicu keresahan di kalangan pekerja.

 

Kedua, outsourcing, Ike mengingatkan ketentuan mengenai outsourcing saat ini diatur dalam beberapa regulasi antara lain pasal 64-66 UU No.13 Tahun 2003. Menurutnya ketentuan ini belum cukup baik mengatur outsourcing, apalagi ada putusan MK terkait outsourcing yang perlu ditindaklanjuti pemerintah dan DPR lewat aturan setingkat UU. Untuk membenahi ketentuan yang mengatur outsourcing, HKHKI mengusulkan pemerintah dan DPR untuk membuat UU khusus tentang outsourcing.

 

Ketiga, mengenai TKA, Ike menghitung sedikitnya ada dua regulasi yang mengatur TKA yaitu Peraturan Presiden No.20 Tahun 2018 dan Permenaker No.10 Tahun 2018. Dalam praktik kedua aturan ini dirasa sudah cukup tapi secara formal bertentangan dengan pasal 42 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003. Begitu juga aturan PKWT untuk TKA harus diperjelas karena TKA tidak tunduk pasal 59 ayat (7).

 

“Dalam ayat tersebut dijelaskan jika PKWT tidak memenuhi seluruh persyaratan maka demi hukum maka PKWT harus menjadi PKWTT. Padahal jelas TKA tidak boleh menjadi PKWTT,” ujar Ike.

 

Keempat, pesangon, Ike mengatakan tujuan pesangon sebagaimana diatur pasal 156 UU Ketenagakerjaan antara lain untuk melindungi pekerja yang kehilangan pekerjaan agar dia bisa memenuhi kebutuhan hidup selama mencari pekerjaan.

 

Praktiknya di Indonesia, pesangon menjadi tanggungjawab pengusaha. Jika pemerintah berencana menghapus pesangon, maka dana pesangon ini harus berasal dari pemerintah, bukan dari pengusaha atau pekerja. Mekanismenya bisa dilakukan melalui skema jaminan sosial.

 

Tags:

Berita Terkait